Mencari pekerjaan di Indonesia terasa semakin sulit. Ini berlaku tidak hanya bagi mereka yang berpendidikan rendah, tetapi juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Banyak di antara mereka yang akhirnya menganggur ketimbang mendapatkan pekerjaan yang tak sesuai dengan keahlian mereka dengan bayaran rendah. Sebagian lainnya terpaksa banting setir, bekerja apa saja meski hal tersebut tidak mereka minati.
Keadaan ini sangatlah ironis. Setelah mengeluarkan biaya untuk menempuh pendidikan, yang tentunya tidak sedikit, mereka berakhir menjadi penganggur atau pekerja dengan bayaran rendah. Meski pemerintah gembar-gembor akan membuka lapangan pekerjaan, angka penganggur di Indonesia tetap tinggi.
Permasalahan Dari Tahun ke Tahun
Penganggur merupakan salah satu permasalahan besar di Indonesia saat ini. Dampak penganggur, jika dibiarkan, sangat berbahaya bagi tatanan kehidupan sosial dan ekonomi negara ini. Mengutip artikel yang diterbitkan situs resmi Universitas Indonesia, penganggur tercipta karena adanya perbedaan antara penawaran dan permintaan, terutama rendahnya permintaan perusahaan terhadap pencari kerja tak sebanding dengan penawaran pencari kerja yang terlampau banyak.
Menurut data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik pada 2014 (melalui Edy Priyono), sekitar 70% penganggur usia muda belum pernah bekerja, sementara 30% penganggur usia lain tidak memiliki pengalaman kerja.
Berdasarkan pendidikan, sekitar 17% penganggur usia muda berpendidikan menengah atau tinggi, dan 9% penganggur usia muda hanya berpendidikan rendah. Menurut data yang diterbitkan BPS tersebut, ini terjadi karena pencari kerja cenderung memilih-milih pekerjaan seiring dengan tingginya pendidikan mereka.
Pada tahun 2015, BPS kembali merilis data mengenai tingkat penganggur terbuka (TPT) yang mengalami peningkatan menjadi 6,18 persen pada Agustus 2015, dibandingkan TPT pada Februari 2015 sebesar 5,81 persen. Melansir pemberitaan Kompas.com, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Suhariyanto, menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan angka penganggur pada tahun itu disebabkan oleh dua faktor, yakni adanya pemutusan hubungan kerja dan daya serap yang menurun karena peningkatan jumlah angkatan kerja.
Kini, angka penganggur pada tahun 2024 berhasil menurun, jika melihat data BPS yang menunjukkan TPT pada Februari 2024 sebesar 4,82 persen. Meski mengalami penurunan, angka pengangguran di Indonesia masih terbilang tinggi.
Berdasarkan laporan dari International Monetary Fund (IMF), yang dikutip melalui CNN Indonesia, tingkat pengangguran di Indonesia menempati posisi tertinggi di ASEAN. Filipina menempati posisi kedua sebesar 5,1 persen, disusul Brunei Darussalam sebesar 4,9 persen, Malaysia 3,52 persen, dan Vietnam 2,1 persen.
Syarat-Syarat Aneh dalam Lowongan Pekerjaan
Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuhnya angka penganggur adalah persyaratan kerja yang terlalu aneh. Dikutip melalui Radar Cikarang, banyak pencari kerja kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, karena banyaknya persyaratan dalam lowongan pekerjaan. Sebagai contoh, batasan usia maksimal 25 tahun membuat pencari kerja berusia di atasnya tak dapat bekerja.
Keputusan perusahaan untuk mencantumkan batasan usia sebagai syarat pekerjaan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain kebugaran kondisi fisik, pengalaman dan keterampilan, usia masa pensiun, regulasi dan kepatuhan, serta perkembangan karier.
Selain batasan usia, persyaratan belum menikah dalam lowongan pekerjaan juga menjadi masalah. Dalam kacamatan perusahaan, batasan tersebut dituliskan karena mereka memandang pencari kerja yang telah menikah akan lebih memprioritaskan keluarganya sehingga urusan pekerjaan akan cenderung terabaikan. Persyaratan ini tidak hanya menyulitkan pencari kerja perempuan, tetapi juga para pekerja kontrak.
Budaya Orang Dalam
Sulitnya pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan mendorong mereka untuk menghalalkan segala cara. Salah satunya adalah dengan uang sogokan, yang dikenal sebagai orang dalam. Menurut data yang diterbitkan situs pencari kerja Zippia, sekitar 85% orang yang mendapatkan pekerjaan dan 70% yang naik jabatan dibantu karena relasi.
Dalam artikel berjudul Menyimak Fenomena Kerja “Pakai Orang Dalam, Yusrin Ahmad Tosepu menjelaskan istilah “orang dalam” mengacu pada seseorang dalam institusi yang memiliki pengaruh kuat, bisa diandalkan, dan bisa dimanfaatkan untuk meloloskan tujuan tertentu. Di dunia kerja, keberadaan orang dalam ini bisa dimanfaatkan bagi pelamar kerja agar lolos seleksi dan bisa bekerja di suatu perusahaan.
Yusrin mengatakan bahwa bekerja lewat orang dalam memang memiliki konotasi negatif, dan kerap dikaitkan dengan nepotisme. Tidak jarang, pelamar kerja yang memang benar-benar kompeten, harus tersingkir oleh pelamar kerja yang punya koneksi dengan orang dalam. Bahkan, masih ada perusahaan yang menerima amplop, sebagai syarat lolos seleksi bekerja.
Taufan Lazuardi dalam tulisan berjudul Nepotisme dalam Proses Rekrutmen dan Seleksi: Potensi dan Kelemahan, menganggap bahwa bekerja melalui jalur orang dalam tidak selalu berkonotasi negatif. Hal itu bisa menjadi positif, jika pelamar yang bersangkutan memang benar-benar kompeten. Selain itu, pengambilan tenaga kerja dari kalangan sendiri juga mengefisiensi waktu dan meningkatkan solidaritas tim.
Meski ada sisi positif dan negatif, tetap saja keberadaan orang dalam membuat mereka yang tidak punya relasi atau uang, tidak punya kesempatan untuk bisa bekerja. Hal ini tentunya menjadi pemicu maraknya penganggur, karena secara tidak langsung orang dalam telah mematikan persaingan yang sehat.
Dapat dikatakan, sulitnya mencari pekerjaan dan meroketnya angka penganggur di Indonesia tidak hanya fenomena masa kini. Ia telah tercipta secara historis, setidak-tidaknya sejak beberapa tahun yang lalu. Ditambah dengan budaya orang dalam dan lowongan kerja yang semakin tidak berotak, membuat pencari kerja kesulitan untuk terserap ke dunia kerja. Kondisi ini, jika terus dibiarkan, dapat menjadi ancaman bagi Indonesia di masa depan.