Mendengar dan berbicara mengenai kemerdekaan, masyarakat Indonesia seringkali memahaminya sebagai keadaan ketika sebuah bangsa terbebas dari hegemoni bangsa lain. Memang, secara de facto maupun de jure, Indonesia sudah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Hanya saja, satu hal yang membuat saya bertanya-tanya, benarkah kita sudah merdeka sepenuhnya? Sulit bagi saya untuk mengatakan Indonesia sudah benar-benar merdeka.
Bagi saya, penjajahan masih belum berakhir. Hal ini didasarkan pada keadaan bangsa kita yang sering mengalami ketidakadilan dan penindasan, yang ironisnya dilakukan oleh orang sebangsa sendiri.
Salah satu bentuk ketidakadilan dan penindasan itu terejawantahkan dalam ndoroisme, yang menjadi mentalitas bangsa kita hingga hari ini. Istilah ndoroisme memang bukan sebuah istilah resmi. Tetapi, istilah tersebut sangat relevan dalam menggambarkan kondisi bangsa kita hari ini. Sebagaimana yang dikatakan Ahmad Syafii Maarif dalam Republika, ndoroisme merupakan warisan feodalisme dan neofeodalisme dari sistem kerajaan di masa lalu yang akarnya dalam sekali.
Menurut Buya Syafii, semangat pergerakan nasional dan revolusi mempertahankan kemerdekaan memiliki dua tujuan, yakni menghalau penjajahan dan menghilangkan feodalisme. Sayang, tujuan kedua masih belum terealisasikan.
Perwujudan ndoroisme, yang merupakan bentuk lain dari feodalisme, dapat dilihat melalui banyaknya orang menjilat atasan, memuji pemimpin partai dengan bertopeng, dan bersikap ABS-AIS (Asal Bapak Senang, Asal Ibu Senang).
Dalam buku Bung Karno dan Revolusi Mental, Sigit Aris Prasetyo mengatakan bahwa Sukarno sangat membenci feodalisme. Bahkan, ia menyamakannya dengan kolonialisme, sebagai eksploitasi yang jauh lebih berbahaya karena dilakukan oleh bangsa sendiri. Sukarno juga melihat bahwa feodalisme pada gilirannya menciptakan penyakit-penyakit seperti ndoroisme dan sendiko dawuhisme.
Sebetulnya, Sukarno adalah seorang bangsawan. Ayah dan ibunya masih memiliki garis keturunan dengan kerajaan Kediri dan Bali. Namun, Sukarno enggan diperlakukan seperti ndoro dan dipanggil Raden. Ia lebih memilih panggilan Bung, yang berarti “Kakak” atau “Abang”.
Sikap anti ndoroisme Soekarno semakin menonjol, ketika ia menolak Indonesia menjadi negara monarki, dengan dirinya sebagai raja. Saran Jepang tersebut ditolaknya mentah-mentah. Ia lebih memilih Indonesia menjadi negara republik, dengan dipimpin oleh seorang presiden.
H.O.S Cokroaminoto, yang merupakan guru Sukarno, juga membenci dan menentang sistem feodalisme. Sosok yang dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota ini enggan disematkan gelar Raden di depan namanya, meski ia memang berasal dari kalangan ningrat. Tindakan Cokroaminoto yang menolak penghormatan tersebut, mendapatkan tentangan dari pihak keluarganya sendiri yang tidak setuju dengan keputusannya.
Dari Sukarno maupun Cokroaminoto, kita dapat melihat bahwa keduanya sama-sama ingin meninggalkan segala sesuatu yang berbau kebangsawanan. Bagi mereka, feodalisme, ndoroisme, sendiko dawuhisme, dan isme-isme lainnya adalah masa lalu. Semua itu sudah tidak relevan lagi dengan Indonesia hari ini yang sudah berbentuk republik dan menganut sistem demokrasi.
Berbeda halnya dengan para pejabat atau pemimpin kita hari ini, yang ingin diperlakukan seperti ndoro, meski bukan keturunan darah biru. Tanpa malu-malu, banyak dari mereka berperilaku aji mumpung dengan memasukkan anak, istri, kerabat dan orang-orang terdekatnya, untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan politik. Mereka berlomba-lomba membangun dinasti politik, karena merasa didukung dan direstui oleh rakyat yang sering memilih pemimpin berdasarkan faktor genealogisnya.
Dalam tulisan bertajuk Ndoroisme di Antara Kita, Syaiful Islam mengatakan bahwa kemerdekaan dalam mentalitas ndoroisme terasa semu atau palsu. Banyak pejabat sekarang yang hanya gagah, petantang-petenteng, merasa hebat dan menunjukkan kuasanya ketika di hadapan wong cilik saja. Namun, ketika berada di hadapan sang ndoro atau majikannya, mereka ciut dan berubah menjadi penjilat.
Rasanya, sulit mengentaskan mentalitas ndoroisme di Indonesia. Terlebih, jika para pemimpin kita justru malah berupaya melestarikannya. Seandainya mereka meniru dua tokoh bangsa di atas, yang rela melepaskan gelar kebangsawanan demi menciptakan kesetaraan, mungkin ndoroisme perlahan-lahan bisa tercerabut dari alam pikiran masyarakat Indonesia.
Pada akhirnya, kemerdekaan yang kita nikmati sekarang baru kemerdekaan kolektif dan terbebas dari belenggu bangsa lain. Tujuan kita sekarang adalah menghasilkan kemerdekaan individu yang dibangun di atas prinsip egaliter. Ketika keduanya sudah tercapai, kita bisa menyambut kemerdekaan yang seutuhnya, baik sebagai bangsa maupun individu.