Pada pertengahan Maret 2024, dunia maya dibuat terkejut oleh video yang diunggah seorang warganet. Video yang diketahui berlokasi di Desa Jomblang, Kecamatan Candisari, Semarang, Jawa Tengah, tersebut membuat banyak warganet terkejut, karena menampilkan beberapa nisan Tionghoa (bongpay) digunakan sebagai penutup got.
Menurut Henry Nur Cahyo, Lurah Jomblang, mengatakan bahwa nisan-nisan yang menjadi penutup got tersebut sudah ada sejak lama. Warga sekitar tidak mengetahui asal muasal nisan tersebut.
Pascatemuan nisan Tionghoa tersebut, pihak terkait segera membongkar penutup got tersebut sesuai arahan Wali Kota Semarang, untuk kemudian diserahkan kepada Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI).
Video temuan nisan Tionghoa yang digunakan sebagai penutup got juga memantik kontroversi, terutama dalam masalah toleransi dan tindakan yang tidak terpuji. Jika kita mengacu pada pernyataan Henry Nur Cahyo, sudut pandang historis dapat dikatakan masuk akal, mengingat aksi penjarahan, okupasi, hingga pencurian sangat lumrah di kawasan urban.
Dalam tulisan ini, saya ingin menguraikan pandangan pribati terhadap aksi serta reaksi yang dilakukan warga Jomblang pascakejadian. Tulisan ini akan sedikit nyejarah abiesz, dilihat dengan kacamata sejarah.
Pengalaman Saya di Tengah Dunia Urban
Sebagai bagian dari masyarakat rantau, saya merasa syok bukan main setiap saya melewati kompleks pemakaman umum di dekat daerah indekos saya. Kejadian yang membuat saya syok tersebut adalah ketika melihat seseorang mandi secara terbuka di kompleks pemakaman tersebut. Tak hanya itu, terlihat pula beberapa anak yang sedang bermain layang-layang di kompleks pemakaman. Seolah-olah, makam sudah tidak ada harga dirinya sama sekali.
Seiring waktu, terutama saat saya belajar sejarah perkotaan di semester empat, saya akhirnya menemukan jawaban soal fenomena yang bikin saya syok tersebut. Ya, jawaban tersebut, saya temukan dari buku dosen saya, Purnawan Basundoro.
Dalam buku Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an, Purnawan Basundoro menyebutkan bahwa masyarakat miskin kota lebih takut dengan kondisi ekonominya, terutama urusan sandang, pangan, dan papan, ketimbang takut kepada larangan Tuhan. Bagaimana tidak, mereka adalah kalangan yang terhimpit keadaan sehingga segala cara harus dilakukan. Dalam urusan terhimpit dengan ruang kota dan biaya hidupnya yang mahal, salah satu cara yang dilakukan adalah menggunakan makam untuk aktivitas sehari-hari, termasuk menyulap lahan pemakaman menjadi lahan permukiman.
Dalam konteks Surabaya, kondisi semacam ini terjadi dalam rentang waktu kolonial hingga pascakemerdekaan. Sasaran yang sering dituju oleh masyarakat miskin kota di kota tersebut adalah kompleks pemakaman orang Tionghoa atau bong Cina. Mengapa yang menjadi sasaran lagi-lagi orang Tionghoa?
Masyarakat Tionghoa Selalu Menjadi Korban
Dalam kasus di atas, saya teringat lagi dengan sosok Kwee Thiam Tjing alias Tjamboek Berdoeri. Ia adalah saksi mata tragedi brutal era revolusi di Malang, yaitu tragedi Mergosono 1947. Tragedi tersebut memakan setidaknya lebih dari 20 orang Tionghoa. Tragedi tersebut terjadi karena banyak orang bumiputra, dengan mata gelap dan nasionalisme sempit, menuduh warga Tionghoa sebagai terduga mata-mata Belanda.
Bagi saya, tragedi tersebut bukanlah ironi sebenarnya. Yang lebih menjadi ironi adalah menerima fakta bahwa sekitar lima belas tahun sebelum kejadian Mergosono 1947, sekumpulan orang Tionghoa mendeklarasikan sebuah partai bernama Partai Tionghoa Indonesia atau PTI.
Dalam pendirian PTI, menurut buku Menjadi Tjamboek Berdoeri: Memoar Kwee Thiam Tjing, sosok Kwee Thiam Tjing turut hadir dan memberikan pidato. Salah satu penggalan pidatonya yang membuat ironi ini semakin memuncak, berbunyi:
[s]aja dengan djelas terangkan bahwa saja ini orang Indonesia keturunan Tionghoa. Sudah tudjuh turunan keluarga saja disini, lahir disini, djadi dewasa, anak beranak, tua, mati, dan dikubur di sini djuga… Kalau mondok sampai tudjuh turunan, itu sudah tidak bisa dibilang mondok lagi, bukan?
Ini adalah sebuah ironi. Sebuah keterbukaan pemikiran akan nasionalisme sebuah bangsa tidak pernah bisa mengakhiri kekejaman politik identitas. Begitu pula dengan urusan makam, orang-orang Tionghoa tetap menjadi korban.
Kalau di Surabaya, kita bisa mengenali banyak makam Tionghoa yang mulai tergerus atau bahkan hilang jejaknya sama sekali. Kompleks pemakaman Tionghoa di Kembang Kuning, sebagai contoh, kini mulai tergerus. Nasib berbeda dialami pemakaman Tionghoa di Ketanda atau Embong Malang, yang sudah tidak ada jejaknya sama sekali.
Menurut Sarkawi B. Husain dalam artikel berjudul Chinese Cemeteries as a Symbol of Sacred Space Control, Conflict, and Negotiation in Surabaya, Indonesia (dimuat dalam Cars, Conduit, and Kampong: The Modernization of The Indonesian City, 1920-1960) menyebutkan bahwa kompleks pemakaman Tionghoa mulai terdesak pascakemerdekaan, karena posisinya yang strategis di tengah kota. Kompleks pemakaman Tionghoa mendapatkan dua jenis ancaman, yaitu kompleks pemakaman menjadi pemukiman, atau ditutup untuk keperluan pemerintah kota menyoal “keindahan kota.”
Siapa yang Salah?
Saya tidak bisa menilai hal tersebut secara semestinya, karena kaum miskin kota yang melakukan aksi squatting di lahan-lahan pemakaman Tionghoa juga dilandasi faktor ekonomi mereka. Mereka pun tidak pernah kepikiran soal politik identitas, sebab politik semacam ini sudah tumbuh dalam bawah sadar mereka.
Jika misalnya tindakan menggunakan lahan-lahan pemakaman Tionghoa terebut berlandaskan politik identitas, kenapa ini tidak terjadi di daerah rural? Hal ini patut untuk dipertanyakan.
Dalam hal ini, saya pula tidak bisa membenarkan kaum miskin kota dari masa ke masa, karena memang mereka melakukan aksi squatting secara sporadis dan berlandaskan individual. Atau mungkin, memang tidak adanya kesadaran dalam diri mereka mengenai pemakaman sebagai hal yang sakral, mengingat makam-makam tersebut tidak pernah dikunjungi keluarganya atau tidak dirawat.
Maka dari itu, saya sendiri bingung untuk berpihak kepada siapa. Pada akhirnya, saya menarik suatu pemikiran, bahwa daripada membela suatu kelompok, saya lebih baik mendukung reaksi-reaksi positif yang diberikan. Seperti pihak PSMTI Jawa Tengah yang berupaya untuk membuatkan tutup selokan sebagai pengganti batu nisan yang pernah dijadikan tutup selokan dan tempat pembuangan sampah tersebut. Setidaknya, reaksi positif mereka harus ditiru oleh masyarakat luas, terutama menyoal tentang menghargai warisan leluhur, termasuk leluhur yang tidak kita kenal.