Konflik Israel-Palestina, yang bermula sejak 1948, hingga kini masih belum menunjukan tanda-tanda akan reda dan menemui titik akhir. Sebaliknya, konflik antara kedua negara tersebut kian memanas.
Baru-baru ini, konflik Israel-Palestina kembali mencuat menjadi isu panas setelah Hamas, yang menduduki wilayah Gaza, melakukan serangan ke wilayah Israel. Israel, sebagai aksi balasan, melakukan serangan balik. Aksi saling serang tersebut menimbulkan ribuan korban jiwa dari kedua belah pihak.
Konflik Israel-Palestina, seperti biasa, menyita perhatian dunia internasional. Indonesia pun tidak ketinggalan menanggapi konflik tersebut. Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia kompak menyuarakan dukungan terhadap Palestina dan memberikan bantuan sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan mereka melawan zionisme Israel.
Media pun tidak ketinggalan menyuarakan dukungan mereka. Keberadaan media Indonesia, baik cetak maupun daring, turut berperan dalam membangun opini publik.
Beberapa kelompok masyarakat menilai media Indonesia terkesan sangat subjektif dalam memberitakan konflik Israel-Palestina. Benarkah demikian?
Aktivis pro-Israel, Monique Rijkers, menilai bahwa media Indonesia tidak presisi dan berat sebelah dalam memberitakan konflik Israel-Palestina. Dilansir melalui situs BBC, ia mengatakan bahwa terjadi misinformasi terkait konflik Israel-Palestina, yang membuat Israel diposisikan sebagai pihak penjajah.
Indra Prawira dkk. dalam artikel berjudul Obyektifitas Tiga Media Siber Indonesia: Studi Konten Berita Konflik Israel-Palestina, menemukan fakta bahwa pemberitaan media Indonesia memang menunjukkan keberpihakan. Mereka, melalui pemberitaan yang diterbitkan, mengikuti suara mayoritas publik, yakni mendukung Palestina. Mereka tidak menerapkan objektifitas profesional, seperti yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik, dalam menulis dan menerbitkan berita.
Menurut hemat saya, apa yang dilakukan media Indonesia merupakan sebuah praktik jurnalisme advokasi. Sebagaimana diketahui, jurnalisme advokasi bertujuan untuk membela dan menyuarakan kelompok atau pihak yang dianggap termarjinalkan.
Dalam kasus konflik Israel-Palestina, Palestina diposisikan sebagai pihak yang menjadi korban dari ketidakmanusiawian dan sikap semena-mena zionisme Israel. Pemberitaan media Indonesia yang terkesan subjektif dan pro-Palestina merupakan bentuk suara kemanusiaan untuk mendukung manusia yang kehilanga hak azasi mereka.
Lantas, apakah hanya media Indonesia yang memiliki bias atau tendensi sehingga mengesampingkan obyektifitas? Jika kita mengalihkan pandangan sejenak dan melihat masalah ini secara komprehensif, pemberitaan beberapa media negara barat, terutama Amerika Serikat, juga sama subyektif dan cenderung berpihak mendukung Israel.
Baik Indonesia maupun Amerika Serikat sama-sama berat sebelah dalam memandang konflik tersebut. Hanya cara mereka menempatkan posisi “pahlawan” dan “penjahat” saja yang menjadi pembeda.
Bagaimanapun, untuk menyajikan sebuah pemberitaan yang objektif dan tidak memihak, sesuai Kode Etik Jurnalistik, berbagai kepentingan pribadi atau kelompok perlu disisihkan. Obyektivitas perlu menjadi landasan utama dalam melihat konflik Israel-Palestina, agar tidak mempengaruhi persepsi masyarakat dan membuat mereka menjadi semakin terjebak dalam perangkap informasi yang simpang siur ketika melihat konflik tersebut.