Judul Buku | Penghancuran Buku dari Masa ke Masa |
Penulis | Fernando Báez |
Penerbit | Marjin Kiri |
Kota Terbit | Serpong |
Tahun Terbit | 2013 |
Halaman | xviii + 373 halaman |
Penerjemah | Lita Soerjadinata |
Hanya orang bodoh yang menghancurkan buku, pikir banyak orang di Indonesia ketika berbicara mengenai fenomena penghancuran buku. Mereka, yang tidak terdidik secara literasi, melakukan penghancuran buku sebagai simbol kebodohan dan keengganan mereka untuk belajar dari buku-buku yang mereka hancurkan.
Tetapi, bagi Fernando Báez, fakta yang ada tidaklah demikian. Dalam perjalanan sejarah manusia, justru kaum terdidik menjadi penghancur nomor satu buku-buku di dunia. Mereka, melalui pengetahuan literasi mereka, berusaha mencegah orang lain untuk membaca buku-buku yang dipandang sesat maupun berbahaya untuk dibaca dan diketahui.
Buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa tidak hanya menggambarkan bagaimana buku, sebagai sumber literasi, dihancurkan dari periode sejarah ke periode sejarah lainnya. Ia juga memberikan pengetahuan mengenai kekayaan literatur dunia, yang diwujudkan dalam perpustakaan pribadi yang menampung berbagai jenis literatur.
Perpustakaan digambarkan oleh Báez dengan memikat dan memantik batin para pembacanya. Ia tidak hanya menjadi tempat untuk menyimpan literatur, tetapi juga sebagai saksi bagaimana manusia pada masa silam mengumpulkan ilmu pengetahuan untuk kepentingan masa depan.
Disayangkan, saat ini, tidak banyak yang tersisa dari perpustakaan tersebut. Yang tersisa darinya hanyalah puing-puing reruntuhan beserta kepingan-kepingan buku yang masih dapat diselamatkan. Selebihnya, hilang ditelan api kemurkaan, bencana, atau faktor lainnya.
Bagi Báez, api tidak hanya simbol pemusnah literatur. Ia merupakan simbol penyucian batin sebuah bangsa. Melalui pembakaran buku, sebuah bangsa beralih dari masa silam yang kelam menuju masa depan yang gemilang.
Mengenai pembakaran buku di Indonesia, menurut catatan Báez, pernah melakukan pembakaran buku. Kisah paling anyar, setidak-tidaknya dalam catatan Báez, adalah pembakaran buku ajar SMP dan SMA pada 2005-2007. Hanya karena tidak mencantumkan PKI dalam kisah mengenai G30S, buku-buku tersebut harus dibakar di depan umum.
Banyak LSM yang menentang aksi pembakaran tersebut. Tetapi, aksi tersebut terus berlangsung dan menyebar hingga ke daerah-daerah.
Kisah lainnya, yang terjadi di Bali pada 2021, adalah pemburuan atau sensor terhadap Bhagawadgita versi Hare Krishna. Hanya karena masalah kepercayaan terhadap Tuhan yang dipandang berbeda, kelompok Hare Krishna dipersekusi. Berbagai buku-buku terbitan mereka diburu oleh masyarakat Bali, untuk kemudian dimusnahkan.
Apakah kisah pembakaran buku pada 2005-2007 dan di Bali pada 2021 dilakukan oleh orang-orang bodoh? Tidak, aksi tersebut dilakukan oleh golongan terpelajar. Hanya karena kebutaan pandangan mereka terhadap nilai penting sebuah buku, membuat mereka harus memusnahkan literatur dalam api kebencian.
Mengapa mereka harus menghancurkan buku? Dalam kasus pembakaran buku ajar sejarah SMP dan SMA pada 2005-2007, mereka melakukannya hanya karena perkara nama untuk peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Nama tersebut, yang benar secara historis, dipandang salah oleh masyarakat yang masih belum dapat move on dari sejarah versi Orde Baru, yang menempatkan PKI sebagai dalang utama peristiwa berdarah tersebut. G30S harus ditulis sebagai G30S/PKI.
Dalam kasus sensor dan pembakaran buku Bhagawadgita versi Hare Krishna di Bali pada 2021, buku tersebut diduga mengandung penyimpangan-penyimpangan tertentu, sehingga harus dimusnahkan. Meski ia merupakan kitab suci, Weda kelima menurut umat Hindu, nilai-nilai sekte Waisnawa yang ditanamkan Hare Krishna dalam Bhagawadgita versi mereka dipandang sebagai nilai yang mencemari esensi asli Bhagawadgita.
Apa yang bisa ditarik dalam kedua kasus tersebut? Satu benang merah, yakni buku-buku dibakar dan dimusnahkan karena dipandang mengandung penyimpangan. Jiwa zaman suatu masyarakat menolak suatu buku karena dipandang mengandung nilai yang dapat mencemari generasi penerus. Dalam kasus pembakaran buku ajar sejarah, penghapusan kata “PKI” dalam penulisan peristiwa G30S dapat mengaburkan sejarah 1965 yang telah ditulis dengan kokoh oleh Orde Baru. Dalam kasus sensor terhadap Bhagawadgita, adanya nilai-nilai religius yang dipadang bertentangan dengan nilai umum di masyarakat dipandang sebagai alasan untuk menghancurkan buku.
Membaca buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, bagi mereka yang mencintai literatur, akan membuat dada sesak dan pedih, membayangkan berbagai literatur yang tidak dapat kita nikmati dan warisi karena dimusnahkan oleh golongan terpelajar yang dibutakan kebencian. Benar apa yang diungkapkan Noam Chomsky dalam sampul depan buku ini, bahwa buku ini sangat “mengesankan,” selain juga menggetarkan batin para pecinta literasi.
Buku ini dapat menjadi literatur awal untuk mendalami perkembangan literasi di dunia, baik kekayaan literatur dari masa ke masa, maupun pemusnahannya dari periode ke periode. Buku ini, dengan sampul yang dikemas layaknya buku yang sedang terbakar, menjadi buku wajib bagi siapapun yang mencintai buku-buku mereka.
Jangan sampai, sejarah kembali terulang, menjadikan para kaum terdidik menjadi tokoh utama dalam penghancuran buku pada masa berikutnya.