Penciptaan Mitos “Masyarakat Primitif”

Judul bukuThe Reinvention of Primitive Society: Transformations of a Myth
PenulisAdam Kuper
PenerbitRoutledge
Kota terbitLondon dan New York
Tahun terbit2005 [1988 sebagai The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion]
Halamanxii + 272 halaman

Ketika berbicara mengenai masyarakat primitif, apa yang pertama kali terlintas dalam benak? Mungkin, yang pertama terlintas adalah kelompok masyarakat yang masih berburu dan meramu, masih jauh dari mekanisasi dan teknologi.

Jika pemikiran tersebut yang terlintas, Anda tidak sendirian. Adam Kuper, antropolog Afrika Selatan, mengatakan bahwa pandangan diskriminatif terhadap masyarakat primitif yang kita miliki saat ini sudah berasal sejak ratusan tahun lampau. Melalui buku The Reinvention of Primitive Society: Transformations of a Myth, Kuper melihat sejarah perjalanan ilmu antropologi sejak abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.

Dalam buku ini, yang merupakan penambahan dari buku sebelumnya, The Invention of Primitive Society, Kuper melihat bahwa penciptaan ide mengenai masyarakat primitif tidak dapat dipisahkan dengan ide us (“kami”) dan them (“mereka”). Masyarakat Yunani Kuno (atau lebih tepat penduduk kota Athena) menyebut masyarakat Persia, Mesir, dan Lydia sebagai “barbarian”. Istilah serupa juga digunakan oleh penduduk Roma untuk menyebut mereka yang tinggal di luar tembok kerajaan Romawi.

Ide mengenai us dan them tersebut terbawa hingga abad ke-19. Dimulai dari beberapa kelompok advokat Inggris, ketertarikan mereka melihat kehidupan masyarakat di luar Eropa menghasilkan ilmu antropologi. Dengan landasan white man’s burden (beban orang-orang kulit putih), mereka menjelaskan kehidupan masyarakat primitif dengan harapan dapat menjelaskan (dan juga mengarahkan mereka) keberadaan masyarakat yang lebih modern.

Dengan didasarkan filsafat Charles Darwin dalam The Origin of Species, yang menyatakan bahwa keberadaan makhluk hidup di dunia berawal dari sesuatu yang sederhana menuju kondisi yang lebih kompleks, atau dikenal dengan evolusi, antropolog awal seperti Henry Maine dan Lewis Henry Morgan menyatakan bahwa masyarakat primitif adalah kelompok yang muncul paling awal di dunia ini.

Baca Juga  Buku Ajar Sejarah dan “Abuse” Negara di Baliknya

Mereka, masyarakat primitif, memiliki kehidupan yang menitikberatkan peran wanita atau matrilineal, memiliki totem atau pola kepercayaan yang mengarah kepada alam, dan kepemilikan tanah yang bersifat komunal. Seiring berjalannya waktu, kehidupan mereka menjadi lebih kompleks, dan berubah menjadi kelompok yang memposisikan laki-laki sebagai kelompok dominan, menggantungkan kepercayaan atas Tuhan, dan memiliki kehidupan ekonomi kapitalis.

Pandangan evolusioner seperti ini, menurut Kuper, menghasilkan cara pandang yang diskriminatif terhadap masyarakat primitif. Selama mereka masih percaya akan alam, melakukan pernikahan sepupu (cross-cousin), maupun menitikberatkan peran wanita dalam kelompok mereka, mereka dianggap primitif ataupun “liar” (savage).

Cara pandang seperti ini, pada awal abad ke-20, dikritik habis-habisan oleh Franz Boas. Menurut kajiannya terhadap kehidupan masyarakat Kwakiutl menunjukkan bahwa masyarakat primitif tidak dapat dipolakan dalam sebuah pola universal dan evolutif. Mereka perlu dipandang sesuai dengan lokalitas dan sejarah mereka, melihat mereka sebagai masyarakat yang “kompleks”.

Meski serangan Franz Boas terhadap kelompok antropologi evolusi tumbuh, kondisi tersebut berubah ketika generasi baru antropolog tampil ke permukaan. Sosok seperti Pitt Rivers, A. R. Radcliff-Brown, dan Claude Lévi-Strauss, menghidupkan kembali teori evolusi dalam ilmu antropologi.

Sebagai tambahan atas buku The Invention of Primitive Society, Kuper juga melihat bagaimana ide masyarakat primitif dipahami oleh masyarakat dan lembaga dunia pada masa kontemporer. Dalam bab The return of the native, Kuper melihat bahwa pandangan antropolog evolusi masih bertahan hingga saat ini. Meski Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan hak hidup bagi kelompok primitif (atau lebih dikenal di Indonesia sebagai masyarakat adat), cara pandang PBB masih sama seperti abad ke-19, yakni mereka-mereka yang mempertahankan pola hidup berburu dan meramu, serta memiliki pola kepemilikan lahan yang berbeda dengan masyarakat berkultur pertanian.

Baca Juga  Belajar Hidup dari Kematian Seorang Sokrates

Kondisi ini menjadi polemik di beberapa negara. Bagaimana memberikan hak hidup, seperti hak penguasaan atas tanah dan wilayah kepada masyarakat primitif, jika tak memiliki pemahaman akan kepemilikan tanah? Bagaimana juga memberikan mereka hak untuk berburu di tanah leluhur mereka, ketika 1) perburuan sudah semakin dibatasi, dan 2) cara mereka mengakui tanah leluhur tersebut masih menggunakan tradisi lisan yang muncul dalam berbagai versi dan kisah? Kondisi tersebut, menurut Kuper, menyebabkan kelompok dan organisasi masyarakat yang menyatakan dukungan mereka terhadap hak masyarakat primitif bermasalah.

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Mungkin lebih tepat jika mengisahkan kondisi ini dengan contoh historis. Pada 1971 hingga 1972, pemerintah Orde Baru melakukan Operasi Koteka di Papua. Operasi tersebut, yang dilakukan pada masa pemerintahan gubernur Frans Kaisiepo, menyasar lelaki Papua yang masih menggunakan koteka sebagai alat untuk menutupi kelamin mereka. Pemerintah Orde Baru memandang koteka sebagai simbol keterbelakangan, dan untuk menjadi modern, mereka perlu memakai baju dan celana.

Meski Operasi Koteka, menurut Larry L. Naylor dalam majalah The Economist sebagai kegagalan, ia masih membekas dalam mentalitas masyarakat Papua (dan juga orang luar Papua). Kini, hanya mereka yang masih hidup dalam kelompok-kelompok kesukuan di dalam hutan yang masih menggunakan koteka, sementara sebagian besar masyarakat Papua, terutama yang telah terintegrasi dengan kota dan masyarakat pendatang, mereka memilih untuk menggunakan baju dan celana.

Dan, meski sebagian besar masyarakat Papua telah menggunakan pakaian seperti saudara mereka di pulau Jawa, Sumatra, dan pulau lainnya, mereka masih dipandang sebagai “kera”maupun “primitif” oleh masyarakat luar. Pandangan seperti ini, pada 2018-2019, menghasilkan konflik ras yang memusingkan Presiden Joko Widodo. Berangkat dari tesis Kuper, bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia belum bisa lepas dari cara pandang evolusioner dalam melihat masyarakatadat.

Baca Juga  Bali dalam Memori Putu Setia

Buku The Reinvention of Primitive Society dapat menjadi referensi bagi siapapun yang ingin menyelami lebih dalam ilmu antropologi. Buku ini disajikan dengan bahasa Inggris yang ringan dan mudah untuk dipahami. Meski begitu, terdapat banyak terminologi (istilah) khas dunia antropologi, seperti “kinship”, “clan”, “totemism”, “cross-cousin marriage”, dll., yang digunakan dalam buku ini, yang akan membuat pembaca dengan penguasaan ilmu antropologi yang minim pusing dan harus membuka Google.

Juga, bagi pembaca awam, terutama bagi mereka yang tidak memiliki dasar-dasar ilmu antropologi, buku ini akan terasa berat dan memusingkan. Pembaca buku ini, setidak-tidaknya, perlu membaca (atau mengenali) beberapa karya besar dalam dunia antropologi, sebelum mulai membaca buku ini. Pemahaman dasar tersebut dapat mempermudah pembaca untuk mencerna isi buku ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *