Mengapa Masyarakat Indonesia Alergi terhadap Filsafat?

Bagi masyarakat Indonesia, filsafat adalah sesuatu yang masih asing. Hanya sedikit orang yang benar-benar mengenal dan mempelajarinya. Padahal, filsafat justru menuntut kita untuk berpikir jernih dan mendalam, merenungkan apa yang ada di sekeliling kita dan mempertanyakan kembali sesuatu yang selama ini diterima begitu saja dan dianggap sudah semestinya begitu.

Sepertinya, masyarakat Indonesia alergi terhadap filsafat. Mereka seakan-akan melihat bahwa filsafat adalah bakteri yang membuat “pikiran gatal-gatal”. Jika benar-benar mendalami filsafat, mereka akan sadar bahwa filsafat adalah sebuah obat yang mampu menghilangkan sensasi gatal pada pikiran yang disebabkan oleh bakteri kebodohan.

Beberapa teman saya seringkali berpikir bahwa mempelajari filsafat dapat membuat saya menjadi sesat. Padahal, mereka sendiri belum paham betul apa itu filsafat dan hanya ikut-ikutan alergi dan mengekor apa kata orang.

Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), salah satu filsuf barat terpopuler, courtesy of DW

Lantas, apa yang menyebabkan masyarakat Indonesia alergi terhadap filsafat? Saya pikir, terdapat 3 faktor yang menyebabkan hal tersebut.

Pertama, filsafat dianggap sebagai ilmu yang tidak berguna. Hal ini sudah menjadi pandangan umum dalam masyarakat kita, bahwa filsafat adalah ilmu yang tidak ada manfaatnya. Mereka melihat bahwa filsafat tidak memiliki relevansi praktis dengan kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, filsafat dianggap sebagai ilmu yang terlalu teoretis dan tidak bisa diimplementasikan ke dunia realitas.

Agaknya anggapan ini mulai memudar secara perlahan-lahan seiring dengan hidupnya Stoisisme, sebuah mazhab filsafat yang kini digandrungi generasi muda karena dianggap relevan dengan kehidupan mereka.

Kedua, filsafat dianggap sebagai ilmu yang terlalu tinggi. Harus diakui, filsafat memang bukanlah ilmu yang mudah dipahami. Banyak buku filsafat yang memang menggunakan bahasa yang terlalu mengawang-ngawang (ndakik-ndakik), sehingga orang awam kesulitan untuk memahaminya. Terlebih, bagi mereka yang masih pemula dalam mempelajari filsafat, membaca karya-karya Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, ataupun Hegel sama seperti menyiksa pikiran.

Baca Juga  Mengembalikan Marwah Kaum Ibu

Ketiga, filsafat dianggap sebagai ilmu yang berbahaya. Pandangan inilah yang paling sering kita temui di dalam masyarakat, bahwa filsafat adalah ilmu yang berbahaya, yang menyebabkan seseorang menjadi ateis.

Benarkah demikian? Kita sering melihat orang yang awalnya religius, tiba-tiba berubah drastis 180 derajat dan tidak mempercayai eksistensi Tuhan setelah mempelajari filsafat.

Fahruddin Faiz (lahir 1975), sosok yang mempopulerkan filsafat kepada masyarakat melalui “Ngaji Filsafat”, courtesy of Pikiran Rakyat Mataram

Tentu saja, kita tidak bisa melakukan generalisasi bahwa semua orang yang mempelajari filsafat akan menjadi ateis. Jika filsafat benar menimbulkan ateisme, sudah barang tentu filsuf seperti Franz Magnis Suseno, A. Setyo Wibowo, atau Fahruddin Faiz akan menjadi ateis pula. Namun, faktanya, mereka justru tetap memeluk erat keyakinan agamanya. Bahkan, beberapa dari mereka menjadi pemuka agama.

Lantas, mengapa banyak orang yang murtad setelah mempelajari filsafat? Sebenarnya, hal itu disebabkan oleh proses pengunyahan filsafat yang terburu-buru. Seperti yang diungkapkan oleh Austin O’Malley, melalui Muhammad Nuruddin dalam buku Logical Fallacy, ateisme adalah penyakit pikiran yang disebabkan oleh makan filsafat yang belum matang.

Filsafat adalah ilmu yang berguna jika digunakan dengan tepat, layaknya sebuah pisau. Pisau bisa bermanfaat jika digunakan untuk memotong apel, dan berbahaya jika ditusukkan ke tangan kita, menimbulkan luka.

Dapat dikatakan, anggapan bahwa filsafat adalah ilmu yang tidak berguna, terlalu tinggi dan berbahaya hanyalah kesalahpahaman orang-oramg yamg belum mengenal filsafat lebih dekat. Filsafat justru berperan besar bagi peradaban manusia selama berabad-abad. Banyak filsuf hidup dan melahirkan gagasan yang cemerlang sebagai sumbangsih bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Paradigma masyarakat terhadap filsafat harus berubah. Filsafat seyogyanya tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang horror dan menimbulkan semacam alergi. Ia justru merupakan hal yang menyadarkan dan membangunkan kita dari kemandekan berpikir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *