Filsafat dan Agama, Dua Jalan Mencapai Kebenaran

Menurut pandangan masyarakat awam di Indonesia, filsafat dan agama dianggap seperti dua kutub magnet yang tidak dapat dipersatukan. Keduanya dipandang sering terlibat konflik, dan saling mengancam satu sama lain.

Eksistensi filsafat, terutama masyarakat Indonesia, dipandang dapat membuat siapapun yang mempelajarinya tidak percaya dengan Tuhan dan agama, menjadi seorang ateis. Sementara, keberadaan agama dinilai telah membelenggu pikiran manusia, bertolak belakang dengan filsafat yang menekankan pentingnya bersikap kritis dan tidak terikat oleh dogma.

Sebenarnya, filsafat dan agama tidak selalu saling berhadapan. Pada suatu titik, keduanya justru berada saling berdampingan. Frederick Copleston, dalam buku Filsafat Santo Thomas Aquinas, mengatakan bahwa filsafat dan agama dapat meyakini kebenaran yang sama.

Thomas Aquinas (1225-1274), filsuf yang menggabungkan agama dengan filsafat, courtesy of TheCollector

Sebagai contoh, filsafat dan agama sama-sama meyakini eksistensi Tuhan. Namun, cara keduanya dalam mencari jawaban mengenai Tuhan sangatlah berbeda. Agama mendasarkan keyakinannya dengan bantuan wahyu yang tertuang dalam kitab suci. Sementara di sisi lain, filsafat mendasarkan keyakinan pada Tuhan dengan bantuan akal dan kontemplasi filosofis, tanpa sentuhan wahyu.

Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa agama tidak memerlukan bantuan akal. Akal juga dibutuhkan untuk memahami wahyu. Filsuf sekaligus teolog, St. Thomas Aquinas, adalah contoh orang yang mengkompromikan antara filsafat dan agama, akal dengan wahyu.

Argumen Aquinas mengenai lima bukti eksistensi Tuhan menjadikannya orang yang meyakini eksistensi Tuhan dengan wahyu sebagai sumber primer, dan akal sebagai sumber sekunder untuk menguatkan kebenaran wahyu.

Sebuah pertanyaan muncul, apakah kita bisa mencapai pengetahuan tentang Tuhan dengan akal semata, tanpa bantuan wahyu? Tanpa ragu, saya akan memberikan jawaban “iya”.

Salah satu filsuf yang mengemukakan argumentasi tentang eksistensi Tuhan dengan hanya bantuan akal murni ialah Gottfried Leibniz. Seperti yang diungkapkan Bertrand Russell dalam buku Sejarah Filsafat Barat, Leibniz mengemukakan beberapa bukti mengenai eksistensi Tuhan, diantaranya bukti ontologis dan kosmologis.

Gottfried Wilhem Leibniz (1646-1716), filsuf Jerman yang mencetuskan ide bahwa keberadaan Tuhan adalah sebuah hal yang mungkin, courtesy of slate.com

Leibniz, melalui argumentasi ontologis, menyatakan bahwa esensi dan eksistensi Tuhan adalah satu kesatuan dan tidak terpisahkan, berbeda dengan eksistensi makhluk hidup. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa keberadaan Tuhan adalah mungkin. Tidak mungkin ada lebih dari satu kesempurnaan. Hanya ada kesempurnaan tunggal yang menjadi subjek dari seluruh kesempurnaan, dan itu ia sebut sebagai Yang Maha Sempurna.

Baca Juga  Ketika Guru-Guru Indonesia Berhenti Belajar

Berikutnya, melalui argumentasi kosmologis, Leibniz berargumen bahwa segala sesuatu itu kontingen dan berkemungkinaan untuk tidak ada. Harus ada sesuatu yang mengadakan segala sesuatu dan tidak disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya. Leibniz menyebutnya dengan “alasan cukup”, dan “alasan cukup” ini adalah Tuhan.

Terakhir, saya menarik kesimpulan bahwa meski filsafat dan agama menempuh jalan yang berbeda, tetapi mereka sama-sama menuju pada suatu kebenaran. Filsafat dan agama semestinya tidak melulu dipandang mengancam dan saling melakukan serangan destruktif satu sama lain.

Kita bisa beragama sekaligus berfilsafat, ketika kita menyadari bahwa filsafat dan agama ternyata bisa saling menguatkan, karena pada dasarnya mereka berjalan menuju tujuan yang sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *