Pada Rabu, 2 Agustus 2023, atau tepatnya pada Budha Kliwon Dungulan dalam kalender Bali, umat Hindu Dharma di Indonesia akan merayakan hari raya Galungan. Hari raya untuk memperingati kemenangan kebajikan (dharma) atas kejahatan (adharma) tersebut diperingati dengan suka cita. Terlebih, pada peringatan Galungankali ini, merupakan Galungan Nadi, karena bertepatan dengan purnama (bulan terang).
Terdapat beberapa kisah mengenai sejarah perayaan Galungan. Dengan merujuk naskah lontar Usana Bali, I Gusti Bagus Sugriwa berpendapat bahwa perayaan Galungan terkait dengan kisah raja Mayadanawa. Dikisahkan, Mayadanawa merupakan seorang raja yang ganas dan penuh angkara murka. Ia melarang seluruh penduduk Bali untuk melaksanakan yadnya (korban suci), dan hanya boleh menyembahnya. Tidak ada yang berani membantah sabdanya.
Merespon penderitaan penduduk Bali, pasukan bangsa Arya pergi ke Bali untuk memerangi raja Mayadanawa. Setelah berperang dengan sengit, Mayadanawa dapat dikalahkan. Untuk merayakan kemenangan atas raja yang kejam tersebut, mereka mengadakan perayaan besar pada Budha Kliwon Dungulan, yang dikenal sebagai Ngagalung atau Galungan.
Mitos lainnya, kali ini berdasarkan naskah Lontar Sri Jayakusunu, mengisahkan pertapaan raja Jayakasunu untuk menuntaskan pendritaan rakyat Bali. Bhatari Durga, yang turun merespon tapa Jayakasunu, memberikan pawisik (bisikan gaib) untuk mengadakan pecaruan mabyakala serta menancapkan penjor pada Selasa Wage wuku Dungulan, yang sekarang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan. Setelah melaksanakan pawisik tersebut, penderitaan rakyat Bali menghilang; rakyat tidak lagi cendek tuwuh (berumur singkat) dan terbebas dari rajamarana (berbaga jenis hama dan penyakit).
Mengenai penjor, tidak semua umat Hindu di Bali memasangnya di depan rumah sebelum 1984. Penjor hanya dipasang ketika Galungan Nadi, sesuai dresta (kebiasaan) masyarakat Bali. Setelah adanya Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu X pada 1984, dan seruan yang diterbitkan Parisada Hindu Dharma Pusat pada 22 Juni pada tahun yang sama, umat Hindu mulai memasang penjor setiap perayaan Galungan.
Pada Galungan Nadi yang berlangsung Rabu (2/8) mendatang, mengutip Ni Putu Tirtawati, penjor yang ditancapkan juga dihiasi dengan krincingan (alat bunyi-bunyian), menghasilkan suara yang indah dan ramai. Selain itu, pada sanggar penjor, lamak yang dipasang akan diberi warna, menambah kemeriahan.
Sebagai hari raya, Galungan telah diperingati umat Hindu Dharma, baik di Bali maupun di luar Bali, sejak ratusan tahun silam. Meski mengalami beberapa perubahan, serta variasi sesuai dengan desa-kala-patra (tempat, waktu, dan keadaan), esensi Galungan sebagai hari memperingati kemenangan kebajikan atas kejahatan masih tetap langgeng hingga kini.
Referensi:
[1] Anonim. 1987. “Galungan dan memenjor” dalam Bali Post. 11 Mei.
[2] I Gde Sudibia. 1988. “Sistem Makna dalam Perayaan Galungan” dalam Bali Post. 13 Juli.
[3] I Gst. Bgs. Sugriwa. 1951a. “Hari Raja Galungan (I)” dalam Suara Indonesia. 3 September.
[4] I Gst. Bgs. Sugriwa. 1951b. “Hari Raja Galungan (II)” dalam Suara Indonesia. 4 September.
[5] I Gst. Bgs Sugriwa. 1951c. “Hari Raja Galungan (III)” dalam Suara Indonesia. 5 September.
[6] Ni Putu Tirtawati. 1987. “Merayakan Galungan, Memenangkan Dharma” dalam Bali Post. 6 Mei.
[7] Ngurah Oka Supartha. 1984. “Menyongsong Hari Raya Galungan (I); Ngagalung dan Mamenjor” dalam Bali Post. 25 Juni.
[8] Bali Post. 22 Juni 1984.