Pemilu Sistem Proposional Terbuka dan Perbaikan Demokrasi di Indonesia pada Era Reformasi

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah tinggal hitungan bulan. Meski begitu, pesta demokrasi lima tahun sekali di Indonesia digugat. Pada 23 November 2022 lalu, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menuntut pengubahan pelaksanaan Pemilu 2024 kembali menggunakan proporsional tertutup.

Dilansir Tempo pada 6 Maret 2023, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan dukungan pelaksanaan Pemilu 2024 dengan sistem proposional tertutup, dengan alasan untuk “menjaga kualitas kader dan peran partai.” Hasto menilai bahwa kualitas dan kinerja legislatif akan lebih baik jika anggotanya dipilih oleh partai alih-alih oleh masyarakat.

Merunut sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, sistem proposional tertutup sudah dijalankan sejak pemilu 1955. Sistem tersebut berlangsung hingga akhir 1990-an.

Hasto Kristiyanto (lahir 1966), sekjen PDIP yang menyuarakan protes terhadap sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia, courtesy of Detiknews

Ketika Orde Baru menjalankan sistem proporsional tertutup, jumlah jumlah wakil rakyat yang duduk dalam badan legislatif ditetapkan dari hasil pemungutan suara yang diperoleh partai. Dalam sistem ini, pemilih hanya perlu memilih logo partai. Setelah hasil pemungutan suara terbit, partai akan memilih kader terbaiknya untuk menempati kursi parlemen. Meski sistem ini menjamin setiap partai politik kursi di parlemen, sistem ini digugat publik ketika kuasa Orde Baru runtuh pada 1998.

Memasuki milenium ketiga, masyarakat tampak menuntut perubahan sistem pemilu.  Salah satu Hanum Rais mencatat hampir 50 partai baru muncul dalam periode 1998-1999. Selain munculnya partai-partai baru, tuntutan terhadap perubahan pemilihan kursi legislatif juga digugat.

Melalui Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Dalam putusan tersebut, pemilu diharapkan dapat melibatkan “partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

Baliho calon legislatif (caleg). Menyambut putusan MK mengenai perubahan sistem pemilu 2009, mereka aktif memasang baliho dan spanduk untuk mempromosikan dirinya, courtesy of Kompas.id

Dalam sistem yang baru ini, pemilih tidak hanya memilih partai. Pemilih memilih nama kader yang mereka sukai dan harapkan dapat meneruskan aspirasi mereka di parlemen.

Baca Juga  Listrik Mandiri Untuk Tanah Raja

Merespon putusan MK, politisi mulai berkampanye. Suasana kampanye pada 2009 sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kampanye yang awalnya hanya melibatkan bendera partai politik, sekarang dihiasi foto serta nama calon legislatif (caleg) yang bertanding. Kampanye menjadi ajang adu kreativitas bagi mereka, melalui moto dan jargon yang mereka suarakan.

Praktek kampanye para caleg menjadi gairah bagi pertumbuhan budaya demokrasi di Indonesia. Setelah sekian lama, pemilih dapat memilih caleg mana yang layak menjadi wakil mereka di parlemen. Rakyat benar-benar dilibatkan dalam proses demokrasi di Indonesia.

Perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menuju proporsional terbuka menjadi perbaikan yang krusial dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Setidak-tidaknya, ada satu poin yang dapat diambil dari peristiwa tersebut, yaitu peningkatan nilai demokrasi di Indonesia dengan mulai terhapusnya politik identitas dan kepentingan pribadi dalam partai.

Referensi:
[1]  “PDIP Ngotot Dukung Pemilu Sistem Proporsional Tertutup, Hasto: Demi Jaga Marwah Partai”. https://nasional.tempo.co/read/1699297/pdip-ngotot-dukung-pemilu-sistem-proporsional-tertutup-hasto-demi-jaga-marwah-partai, diakses 20 Juli 2023.
[2] Abu Rokhmad. 2008. “Kampanye Parpol dan Keindahan Kota” dalam Kompas. 11 November.
[3] Aminah. 2012. “Analisis Penerapan Sistem Proporsional dan Sistem Distrik dalam Pemilihan Umum Untuk Penyederhanaan Sistem Kepartaian di Indonesia Ditinjau dari Asas Negara Hukum” dalam Yustisia, Volume 1. Nomor 2. Mei–Agustus.
[4] Bachararuddin Jusuf Habibie. 2006. Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
[5] Nurida Maulidia Rahma. 2002. “Review Buku Sebuah Pembelajaran Untuk Pemilu Yang Akan Datang” dalam Jurnal Penelitian Politik. Volume 19. Nomor 1. Juni.
[6] Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
[7] Seputar Indonesia, 16 Januari 2009.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *