Dalam perjalanannya, historiografi Indonesia memiliki beberapa sosok penting yang aktif berpendapat mengenai sejarah. Kita mengenal “dua serangkai” sejarah sosial dan pedesaan Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo, pioner mazhab Bulaksumur. Tetapi, di ruang yang berbeda, terdapat sosok yang tidak kalah pentingnya dalam historiografi Indonesia. Sosok tersebut ialah Nugroho Notosusanto.
Nugroho Notosusanto lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1930 dari pasangan bernama R. P. Notosusanto, seorang ahli hukum, dan Tini, putri seorang jaksa di Rembang. Ia merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ia menikahi seorang perempuan bernama Irma Savitri Ramelan pada 12 Desember 1960, dan dari hasil pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak.
Pada 1944, Nugroho menapaki pendidikannya yang pertama di Europese Lagere School (ELS). Ia melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP di Pati dan SMA di Yogyakarta.
Setelah lulus SMA, Nugroho sempat bimbang apakah dirinya akan masuk ke dunia militer, mengingat ia pernah aktif sebagai anggota Tentara Pelajar, atau melanjutkan menimba ilmu ke “menara gading”. Ia memutuskan untuk masuk ke Jurusan Sejarah Universitas Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa, Nugroho terbilang sebagai mahasiswa yang aktif. Ini terbukti dengan posisinya sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI, Ketua Serikat Pers Mahasiswa Indonesia, dan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Jakarta.
Juga selama menjadi mahasiswa, Nugroho memiliki ketertarikan terhadap sastra. Ia menulis banyak cerpen. Namun, setelah lulus kuliah pada tahun 1960, ketertarikannya pada sastra mulai berkurang, dan teralihkan untuk fokus mendalami sejarah. Selang dua tahun setelahnya, ia mengemban pendidikan di bidang sejarah dan filsafat. Pada 1977, ia pun berhasil mendapatkan gelar doktor.
Pada awal perjalanan karirnya, Nugroho mengabdikan dirinya sebagai dosen di FSUI; ia juga pernah mengajar aktivis Soe Hok Gie. Kemudian, ia diangkat menjadi Kepala Lektor FSUI. Nugroho juga kembali aktif di dunia militer dan memegang jabatan sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, dan menjadi pengajar di LEMHANAS. Karirnya semakin menanjak seiring, hingga pada tahun 1982, ia dikukuhkan sebagai Rektor UI, dan pada 1984, ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Dibalik prestasinya, sosok Nugroho Notosusanto memiliki beberapa kontroversi. Ketika menjabat sebagai Mendikbud, ia membuat kebijakan untuk memisahkan sejarah dari mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pada jenjang SMA, terdapat mata pelajaran Sejarah Nasional Indonesia (SNID) dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang sangat bermuatan politis. Tujuan kebijakan ini adalah karena ia ingin menekankan aspek-aspek humaniora dalam sejarah.
Nugroho Notosusanto juga terlibat dalam proyek penulisan “buku babon” sejarah Indonesia bersama dengan Marwati Djoened Poesponegoro dan Sartono Kartodirjo. Pada 1975, buku “Sejarah Nasional Indonesia” (SNI) sebanyak enam jilid lahir. Hanya saja, pada jilid VI, Nugroho terlalu melebih-lebihkan peran militer, yang sarat dengan propaganda Orde Baru.
Tidak hanya dalam penyusunan buku SNI, Nugroho juga memegang peranan penting sebagai produser film “Pengkhianatan G30S/PKI”, film yang menjadi tontonan wajib masyarakat sipil setiap tanggal 30 September. Film yang digarap pemerintah itu memiliki pengaruh besar dalam membangun paradigma masyarakat terhadap komunisme sebagai bahaya laten. Ini berdampak hingga kini, dengan adanya ketakutan berlebihan terhadap “hantu PKI”.
Boleh dikatakan, Nugroho Notosusanto hidup sebagai pembentuk dasar historis kekuasaan Orde Baru. Ia hidup dalam bayang-bayang kuasa, menulis sejarah sesuai “pesanan” sang penguasa. Kondisi ini menghalangi dirinya untuk memaparkan sejarah secara obyektif dan faktual, sebagai seorang sejarawan sejati.
Di era reformasi seperti sekarang ini, pengaruh historiografi yang ia rancang kian terasa. Pengajaran sejarah di bangku sekolah masih menggunakan konstruksi yang disusun Nugroho puluhan tahun silam. Pengaruh Nugroho Notosusanto atas sejarah masih tertancap dengan kuat, meski Orde Baru telah runtuh 25 tahun silam.
Referensi:
[1] Anonim. 2022. “Nugroho Notosusanto”. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3335/nugroho-notosusanto. Diakses pada 22 Mei 2023.
[2] Firda Ardiana. 2020. “Mengulas Perjalanan Sejarah Indonesia Lewat Tulisan Hidup Nugroho Notosusanto”. https://kumparan.com/firdaardiana08/mengulas-perjalanan-sejarah-indonesia-lewat-tulisan-hidup-nugroho-notosusanto-1ufZxRW8ZCa. Diakses pada 22 Mei 2023.
[3] Wira Syafutra. 2016. “Implementasi Kebijakan Nugroho Notosusanto dalam Pengajaran Sejarah di SMA” dalam Istoria. Volume 12. Nomor 2.
*Tulisan ini merupakan hasil kerja sama antara Historical Meaning dengan Ruang Klasik. Diterbitkan kembali dengan sedikit penyesuaian.