Membayangkan Diri Hidup Seperti Winston Smith

Judul buku1984
PenulisGeorge Orwell
PenerbitBentang Pustaka
Kota terbitYogyakarta
Tahun terbit2022 [2003]
Halamanvii + 397 halaman
PenerjemahLandung Simatupang

Pernahkan Anda membayangkan hidup dalam negara otoriter yang mengatur segalanya, menguasai segenap masa lalu, masa kini, dan masa depan segenap rakyatnya. Mungkin sulit untuk membayangkan kondisi tersebut, mengingat kita hidup di Indonesia yang memberikan kita kebebasan untuk berpikir mengenai apapun. Tetapi, bagaimana jika kita benar-benar harus hidup dalam negara yang mengontrol apa yang kita pikirkan?

Kondisi tersebut berusaha digambarkan oleh Geroge Orwell, seorang novelis Inggris, melalui novel satir 1984. Novel yang mengambil insprasi negara komunis Uni Soviet dan Nazi Jeman ini merupakan magnum opus Orwell yang sudah dikenal, dan banyak diungkit-ungkit, oleh masyarakat dewasa ini.

Novel 1984 mengisahkan Winston Smith, seorang pegawai Kementerian Kebenaran (Ministry of Truth) yang memiliki beragam pemikiran liar. Ia, yang hidup dalam sebuah negara bernama Oceania yang dipimpin oleh pemimpin otoriter bernama Bung Besar (Big Brother) memiliki pandangan bahwa sejarah ditulis ulang secara terus-menerus dalam bentuk manipulasi yang sistematis oleh Partai (Party). Ketika Oceania tidak berperang melawan Eastasia, misalkan, segala referensi masa silam yang memuat perang dengan Eastasia akan direvisi dan diganti dengan yang baru. Hanya ada masa lalu dalam pikiran rakyat Oceania, yakni masa kini serta kecintaan akan Bung Besar.

Menghadapi kenyataan demikian, ia mencoba menulis buku harian untuk menggambarkan berbagai pikiran yang terlintas dalam benaknya. Meski ia tahu bahwa melakukan hal tersebut akan berbuah ia ditangkap Polisi Pikiran (Thought Police) dan dijebloskan ke Kementerian Cinta Kasih (Ministry of Love), ia tetap melakukan hal tersebut. Hari demi hari, ia menuangkan berbagai pemikirannya mengenai masa lalu yang terus dirubah oleh Partai.

Baca Juga  Melihat Pertemuan Barat dan Timur Melalui Budaya Konsumsi Roti

Bekerja di Kementerian Kebenaran, Winston bertugas mengubah berbagai publikasi masa silam sesuai dengan kepentingan partai, mengikuti bahasa Newspeak (bahasa yang diadaptasi dari bahasa pada masa Nazi Jerman dan Uni Soviet). Pada suatu hari, ia menemukan sebuah foto yang menggambarkan tiga tokoh Partai Inti yang kemudian terlibat dalam konspirasi untuk menggulingkan Bung Besar. Meskipun ia melihat foto tersebut, ia tidak dapat mengatakannya kepada siapa pun, karena akan berbuah penangkapan oleh Polisi Pikiran.

Pada suatu hari, Winston bertemu seorang wanita berambut pendek bernama Julia. Ia mengungkapkan perasaannya kepada Winston. Dengan petunjuk arah yang diberikannya, Winston menemui Julia di suatu tempat, dan menikmati hubungan seksual dengannya. Hubungan tersebut, berbeda dengan kondisi yang diminta Partai, yang mengatur bahwa hubungan seksual tidak boleh menghasilkan kenikmatan, membuat Winston bergairah. Semenjak itu, Winston dan Julia menjalin hubungan asmara gelap. Meski begitu, ia mengetahui bahwa risiko hubungan tersebut adalah hukuman mati oleh Partai.

Setelah menjalani hubungan dengan Julia, Winston meyakinkan dirinya akan adanya kekuatan proletar yang dapat menggulingkan Partai. Bersama Julia, ia berangkat menuju rumah O’Brien, seorang pemimpin Partai Inti. Dalam pertemuan tersebut, ia mengungkapkan segalanya, dan bertanya apakah ada kekuatan yang dapat meruntuhkan tirani Partai atas masa silam. O’Brien mengatakan bahwa kekuatan tersebut ada, dan mereka akan bertemu lagi dalam “sebuah ruangan yang tidak gelap”. Omongan tersebut berbuah kenyataan, karena beberapa hari kemudian, Winston dan Julia ditangkap oleh Polisi Pikiran.

Dalam Kementerian Cinta Kasih, Winston menjalani siksaan yang dilakukan oleh O’Brien. Siksaan tersebut amat sakit, hingga mengubah pemikiran Winston yang semula bebas dan lepas dari kontrol Partai menjadi terikat dengan segala propaganda Partai. Pada akhir kisah, Winston digambarkan menjadi seorang pemuja buta Bung Besar, yang menyaksikan berita peperangan melalui teleskrin. Ia meyakini bahwa 2+2=5, sebuah fakta yang ditanamkan oleh O’Brien dalam penyiksaan.

Baca Juga  Eksil, Kisah Para Korban Sejarah yang Tetap Mencintai Indonesia

Membayangkan bagaimana masyarakat dan pemikirannya dikendalikan oleh sebuah otoritas tunggal, membuat kita bertanya, apakah kondisi tersebut pernah terjadi di Indonesia? Setidak-tidaknya, dalam wujud yang lebih lembut, Indonesia pernah mengalami kondisi serupa pada masa Soekarno dan Soeharto.

Pada masa yang disebut pertama, negara digerakkan untuk mendukung segala kebijakan Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi, dan siapapun yang melawan akan dituduh sebagai kontra revolusioner (kontrev). Sedangkan pada masa yang disebut terakhir, mempertanyakan kepemimpinan Soeharto akan membuat seseorang dipanggil ke markas tentara untuk dimintai keterangan.

1984, dengan anggun dan memantik emosi, menampilkan kondisi negara yang mengontrol penuh segala aspek dalam kehidupan rakyatnya. Ia menampilakn dengan tepat bagaimana masa lalu direvisi terus menerus sesuai dengan kepentingan partai, sehingga seolah-olah, tidak ada masa lalu yang jamak. Hanya ada satu kisah, dan kisah tersebut adalah kisah pemujaan terhadap pemimpin tertinggi.

Buku ini, yang diterjemahkan dengan sangat mengalir dan apik oleh Landung Simatupang, dapat menjadi bacaan wajib bagi siapapun yang ingin menyelami pemikiran Orwell yang dikenal sebagai sosok sosialis, bagaimana negara mengatur kebenaran yang dipercayai rakyatnya, serta bagaimana sejarah terus dimanipulasi demi kepentingan penguasa. Untuk poin terakhir, mengingat saya merupakan lulusan sejarah, kondisi tersebut merupakan mengerikan untuk dibayangkan.

Meski terdapat satu kesalahan ketik dalam novel klasik ini, buku terbitan Bentang Pustaka ini dapat menjadi bacaan ringan yang bermutu tinggi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *