Judul buku | We Have Never Been Modern |
Penulis | Bruno Latour |
Penerbit | Harvard University Press |
Kota terbit | Cambridge |
Tahun terbit | 1993 |
Terjemahan | Catherine Porter |
Halaman | ix + 157 halaman |
“Jadilah orang modern dengan mengikuti web 3.0!” begitulah jargon seorang pelaku aset kripto kawakan yang aktif mempromosikan kecanggihan teknologi kripto kepada penggemarnya. Menurutnya, modernisasi, terutama untuk masyarakat Indonesia yang ia anggap masih belum modern, hanya bisa tercapai jika mereka telah menjadi global dan menguasai segala kecanggihan teknologi. Tanpanya, masyarakat Indonesia akan selamanya gaptek (gagap teknologi) dan tidak modern.
Apakah menjadi modern harus melulu mengikuti teknologi? Menurut Bruno Latour, filsuf Prancis, dalam buku We Have Never Been Modern, modernisasi tidak akan bisa dicapai dengan cara apapun. Bahkan, dan ini dinyatakan dengan tegas dalam buku tersebut, bahwa tidak ada masyarakat dunia yang modern.
Latour melihat bahwa tesis modern berada pada pemisahan antara “Alam” (Nature) dan “Budaya” (Culture). Ilmu pengetahuan yang mereka ciptakan diharapkan dapat memisahkan dengan tegas antara pengaruh manusia (“Budaya”) dengan kekuatan-kekuatan non-manusia (“Alam”). Ilmu pengetahuan, pada akhirnya, terpecah dalam berbagai sekat yang membedakan antara mereka dan ilmu-ilmu lainnya.
Tesis ini tidak dapat dipertahankan, karena seberapa jauh ilmu pengetahuan (atau ilmuwan) memisahkan antara “Alam” dan “Budaya”, mereka akan tetap bertemu, menghasilkan hybrids. Hybrids ini, yang banyak dianut oleh masyarakat pramodern, diabaikan oleh ilmuwan, ilmu pengetahuan, dan berikutnya, oleh orang-orang modern.
Menurut Latour, ilmu pengetahuan memiliki dua bagian “Konstitusi” (Constitution), yakni “Alam” dan “Budaya” memiliki kekuatan mereka masing-masing, dan pada saat yang bersamaan, bertemu untuk menciptakan hybrid.
Proses pertemuan tersebut, yang digambarkan melalui perdebatan antara Thomas Hobbes dan Robert Boyle pada abad ke-17 Inggris, menunjukkan bahwa kedua tokoh tersebut, meski melawan dan mempertentangkan opini lawan, pada akhirnya berbicara mengenai hal yang sama. Hobbes, melalui Leviathan, tidak hanya berbicara mengenai kehidupan sosial-politik Inggris, tetapi juga berbicara mengenai bagaimana pengujian laboraturium dilakukan. Sementara Boyle, melalui uji coba laboraturium yang ia lakukan, juga berbicara mengenai kehidupan masyarakat dan kerajaan Inggris pada masa itu.
Modernitas, bersama orang-orang modern yang mengusungnya, pada akhirnya dilihat sebagai sesuatu yang berbahaya oleh Latour. Mereka, yang mulai memisahkan antara “kami” (us) dan “mereka” (them), antara “Barat” (Western) dan “lainnya” (the rest), melihat bahwa modernisasi (atau menjadi modern) hanya bisa dilakukan dengan mengikuti cara-cara Barat. Menjadi ter-Barat-kan (westernized), ter-canggih-kan, ter-global-kan, maupun ter-maju-kan, harus dilihat dengan pendekatan Barat.
Modernitas seperti ini, pada akhirnya, mengabaikan pengetahuan masyarakat-masyarakat lokal. Mereka hanya dilihat sebagai pinggiran, yang baru diperhitungkan keberadaannya ketika mereka telah menggunakan jeans ataupun mendengarkan lagu hip-hop. Selama mereka masih mengikuti kehidupan nenek moyang, dengan menggabungkan antara “Budaya” dan “Alam”, selamanya mereka akan dilihat sebagai masyarakat pramodern.
Latour, pada bagian akhir buku ini, menarik sebuah benang merah, bahwa “Konstitusi” harus dibaca secara utuh, tidak boleh mengadopsi satu poin dan mengabaikan poin lainnya. Dari orang-orang modern, kita mengadopsi cara berpikir keilmuan mereka, dan kemampuan mereka memisahkan “Alam” dan “Budaya”. Melalui orang-orang pramodern, kita mengadopsi cara mereka mempertahankan lokalitas serta menyatukan “Alam” dan “Budaya”. Kedua hal ini, pada akhirnya, membuat manusia menjadi non-modern.
Sebagai seorang non-modern, orang yang tidak memiliki pemisah antara pramodern, modern, dan posmodern, waktu dipandang sebagai suatu kesinambungan tanpa adanya pemisah, melihat ilmu pengetahuan sesuai dengan “Konstitusi”. Latour menyarankan untuk mulai mengadopsi “Konstitusi” tersebut dalam bentuk “revolusi” (revolution). Tetapi, revolusi yang dimaksudkan Latour bukan turun ke jalan seperti Revolusi Prancis maupun Revolusi Rusia, tetapi menciptakan “Parlemen Benda-Benda” (Parliament of Things), yang memungkinkan siapapun untuk berbicara sesuai dengan kemampuan mereka, dan berbicara untuk mempertemukan “Alam” dan “Budaya”.
Sebagai buku filsafat, saya terkejut dan tidak menyadari bahwa buku We Have Never Been Modern, yang sangat tipis ini, merupakan sebuah buku filsafat. Pada awalnya, saya menduga buku tersebut merupakan buku non-fiksi populer. Setelah melakukan penelusuran, dan membaca buku ini lebih dalam, saya dapat memahami beberapa poin yang ditekankan (dan terus diulangi) oleh Latour.
Meski buku We Have Never Been Modern merupakan buku filsafat, bahasa yang digunakan Latour dalam buku ini cukup ringan dan mudah dipahami. Meski, pada satu atau dua bagian, terdapat kata yang terdengar asing oleh pembaca awam, sehingga membutuhkan penelusuran Google untuk mencari artinya lebih lanjut.
Buku We Have Never Been Modern dapat menjadi bacaan bagi siapapun yang ingin mempelajari (atau mengkritik) posmodern. Juga, buku ini dapat menjadi bacaan bagi mereka yang sudah gerah dengan pernyataan negara maupun media mengenai arti “modern” dan “modernitas”.
Dear Historical Meaning,
Terima kasih banyak atas tulisan resensi yang sangat menggugah ini. Terus terang saya belum pernah membaca bukunya, tapi saya sangat tertarik untuk mendiskusikan ini lebih dalam. Singkat cerita, saya menonton sebuah film dari Ceko berjudul “Úsvit”, yang ternyata memiliki judul Inggris diadaptasi dari buku ini. Akan sangat menyenangkan dan menjadi suatu kehormatan bagi saya jika Anda berkenan untuk bertukar pikiran dengan saya—anda dengan buku tulisan Latour dan saya dengan film untuk mengelaborasikannya lebih lanjut.
Salam,
Iva
Dear Iva
Saya baru pertama mendengar ada film yang diadaptasi dari buku Latour ini. Menurut artikel Wiki, film tersebut, untuk versi Inggris, menggunakan judul buku Latour sebagai title, alih2 seperti yang saya bayangkan sebelumnya, mengadaptasinya dalam bentuk film. Ini diperkuat dari plot film, yang lebih banyak berceerita tentang masalah crime drama, bukan perdebatan antara Boyle dan Hobbes yang mendasari pendekatan Latour mengenai modernitas.
Resensi ini, bisa dikatakan, merupakan kelanjutan dari tulisan awal saya di Monster Journal. Dalam tulisan tersebut, saya mengatakan bahwa modernitas tidak harus selalu dimaknai sebagai “teknologi” atau “hi-tech stuffs”. Banyak hal2 yang sekarang dicap “tradisional” dapat menjadi pemantik manusia untuk menjadi modern.
Disayangkan, masyarakat Indonesia saat ini sebagian besar masih melihat modernitas hanya sebagai “new things”, yang terkait dengan “better things” (new = better). Padahal, tidak serta merta demikian, jika dikaitkan dengan tesis Latour.
Mungkin itu sedikit pandangan saya mengenai film “Usvit” ini. Kita bisa berdiskusi lebih lanjut mengenai ini, karena ini menarik sekali jika dibedah lebih dalam lagi.
Salam,
Prima Cahyadi
Tulisan saya yang dimaksud:
https://monsterjournal.com/menjadi-modern-tidak-hanya-sekadar-menjadi-hi-tech/