Judul buku | The Footnote: a Curious History |
Penulis | Anthony Grafton |
Penerbit | Harvard University Press |
Kota terbit | Cambridge |
Tahun terbit | 1999 |
Halaman | xi + 241 halaman |
Sebuah pertanyaan yang masih mengganjal bagi saya sejak kuliah, mengapa jurusan sejarah masih mempertahankan sitasi dalam bentuk catatan kaki (footnote), ketika jurusan lain (atau bahkan seluruh jurnal di Indonesia), telah menggunakan catatan perut (innote). Apakah jurusan ini enggan berubah, atau ada motif lain yang mendasari penggunaan catatan kaki sebagai bentuk sitasi?
Sejarawan Amerika Serikat, Anthony Grafton, mencoba mengajak pembaca menyelami perjalanan catatan kaki sebagai sebuah sejarah dalam buku The Footnote: A Curious History. Melalui buku ini, Grafton menunjukan bahwa catatan kaki tidak hanya pelengkap dalam sebuah tulisan, tetapi memiliki “kisah menarik” dibaliknya.
Catatan kaki, yang digunakan sebagai bagian dari kajian sejarah kritis, diawali dari sosok Leopold von Ranke, seorang sejarawan Jerman. Dalam beberapa buku yang ia tulis, ia ingin menunjukan kepada pembaca bahwa sejarah harus ditulis dengan mencantumkan sumber yang jelas dan detail. Terlebih, Ranke, sebagai seorang diplomat yang mendapatkan akses langsung ke depo arsip, semakin menegaskan pentingnya sitasi terhadap sumber primer.
Menurut Ranke, sejarah tidak lagi dapat dikisahkan seperti pada masa Eropa Klasik, ketika pengutipan hanya dilakukan sekadarnya dan menghilang seiring waktu. Sejarah yang ditulis oleh orang Eropa pada masa silam penuh bermasalah, penuh dengan pemalsuan sumber serta sitasi yang tidak akurat. Melalui kajian kritis terhadap arsip, dan pengutipan yang kritis atasnya, penulisan sejarah dapat menjadi ilmiah.
Meski begitu, Grafton tidak menempatkan Ranke sebagai pioner dalam penggunaan catatan kaki. Mundur hingga abad ke-17, terdapat Pierre Bayle, penulis berkebangsaan Prancis. Melalui Historical and Critical Dictionary, Bayle menampilkan kepada publik bahwa penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu penuh dengan kesalahan. Cara termudah untuk menampilkan kesalahan berbagai tulisan terdahulu, tegas Bayle, adalah melalui penggunaan catatan kaki yang intensif.
Selain sebagai pembuktian atas kesalahan tulisan-tulisan sebelumnya, Pierre Bayle juga menunjukkan bahwa catatan kaki dapat digunakan untuk berlindung dari persekusi gereja dan negara. Pada abad ke-17 dan abad ke-18, ketika negara dan gereja aktif melakukan persekusi terhadap siapapun yang menentang otoritasnya, catatan kaki dapat menjadi jalan untuk menggugat mereka. Bayle aktif menggunakan catatan kaki ketika menyinggung tokoh maupun kisah yang terkait dengan kerajaan dan gereja, menyampaikan kritik dengan menempatkannya di bawah teks utama. Diharapkan, pembaca yang kritis dapat memilah pendapat yang ada dan menentukan mana yang perlu mereka percayai.
Lalu, apakah ada penggunaan catatan kaki sebelum Bayle? Mundur menuju masa awal Renaisans dan Reformasi gereja, beberapa penulis antikuarian menggunakan catatan kaki untuk memperkuat narasi mereka. Catatan kaki, yang berbentuk kutipan langsung berbagai naskah dalam bahasa asing (terutama Yunani Kuno dan Latin), memenuhi karya beberapa penulis pada masa itu. Meski begitu, menurut Grafton, catatan kaki pada masa itu masih digunakan hanya sebagai penegas atas terjemahan ataupun pembacaan terhadap naskah-naskah klasik, bukan digunakan sebagai cara untuk membuktikan kesalahan penulis-penulis sebelumnya.
Pada bagian epilog, Grafton mengatakan bahwa catatan kaki kini tidak terpisahkan dalam penulisan sejarah di dunia barat. Seiring dengan akses terhadap depo arsip yang semakin terbuka, catatan kaki menjadi semakin penting. Catatan kaki menjadi dasar sejarah sebagai ilmu, dan penciptaan penulisan sejarah modern.
Buku The Footnote: a Curious History disajikan layaknya buku-buku terbitan paruh pertama abad ke-20, penuh dengan catatan kaki dan bentuk asli dari kutipan langsung. Bagi pembaca modern abad ke-21, mereka mungkin tidak akan nyaman membaca buku ini. Bagi saya, penyajian seperti ini merupakan penegas Grafton atas pendapatnya, sekaligus memberikan kesempatan bagi pembaca yang jeli untuk melakukan penelusuran atas berbagai sumber dan kutipan yang ia sematkan.
Buku ini dapat menjadi bacaan ringan bagi siapapun yang ingin memahami historiografi pada masa modern Eropa. Bagi pembaca di Indonesia, buku ini dapat digunakan sebagai dasar pemahaman untuk melihat perubahan pola sitasi dalam berbagai karya akademik di negara ini, melihat bagaimana catatan kaki, yang semula mendominasi dalam publikasi akademik, tergantikan dengan catatan perut, dan berakhir menjadi bagian tak terpisahkan dari jurusan sejarah.