Menempatkan Pemberontakan dalam Perspektif Multidimensional

Judul BukuPemberontakan Petani Banten 1888
PenulisSartono Kartodirdjo
PenerbitKomunitas Bambu
Kota TerbitDepok
Tahun Terbit2015
Halamanxxviii + 422 halaman
PenerjemahHasan Basari

Bagi banyak orang, pemberontakan dipahami sebagai sebuah gerakan protes secara besar-besaran yang dilakukan sekelompok orang terhadap suatu hal, dalam hal ini pemerintahan. Dasar pemberontakan dapat bermacam-macam. Ia bisa tercipta karena kekecewaan ekonomi, kegelisahan politik, maupun dilandasi oleh sentimen religius. Untuk menggelorakan pemberontakan, dibutuhkan tokoh pemimpin yang mampu menyatukan masyarakat agar mau memberontakan.

Berbicara mengenai pemberontakan, Indonesia terkenal dengan beberapa kisah pemberontakan. Sejak masa klasik, sejarah Indonesia dihiasi dengan pemberontakan. Kisah pemberontakan menjadi semakin masif pada masa penjajahan Belanda, tepatnya di Jawa pada abad ke-19.

Namun, kisah mengenai kemunculan pemberontakan tersebut muncul tidak pernah diungkap secara mendalam. Menurut pemerintah kolonial saat itu, pemberontakan merupakan sebuah peristiwa yang muncul tiba-tiba, tanpa akar yang jelas. Mereka hanya memfokuskan diri dalam penelusuran alur dan penumpasan pemberontakan, alih-alih menyelidiki secara mendalam mengapa pemberontakan bisa terjad. Alhasil, kisah mengenai pemberontakan pada masa itu hanya dipahami sebagai gejolak biasa.

Pandangan pemerintah kolonial, oleh Sartono Kartodirdjo, sesepuh sejarah Indonesia, tidak dapat diterima begitu saja. Menurutnya, terdapat alasan sosial, ekonomi, dan budaya mengapa sebuah pemberontakan bisa terjadi di tanah Jawa pada abad ke-19. Hal tersebut, oleh Sartono, diungkapkan dalam buku klasik Pemberontakan Petani Banten 1888.

Buku yang berasal dari disertasi Sartono ini, secara teknis, dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menitikberatkan kondisi sosial, ekonomi, dan kultural Banten pada abad ke-19. Dalam bagian ini, dengan mengandalkan berbagai teori yang berasal dari ilmu sosial, ia menyelidiki lebih dalam kehidupan masyarakat Banten sebelum munculnya pemberontakan pada Juli 1888.

Baca Juga  Melihat Riwayat Kehidupan Masyarakat Manusia secara Geografis (dan Menyenangkan)

Menurut Sartono, pemberontakan yang terjadi pada Juli 1888 tidak muncul dalam ruang hampa. Ia merupakan kulminasi dari kondisi sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat Banten. Kondisi sosial, sebagai contoh, digambarkan bahwa masyarakat Banten mengalami penderitaan hebat karena penetrasi ekonomi kolonial.

Penghapusan kesultanan Banten menghapus sistem pertanahan yang telah berlaku selama berabad-abad. Sebagai gantinya, masyarakat Banten dibebani berbagai pajak dan beban kerja yang menambah beban mereka. Mengutip Ong Hok Ham dalam buku Madiun dalam Kemelut Sejarah, kondisi ini membuat masyarakat Banten bekerja untuk “membeli uang” alih-alih untuk menghasilkan uang.

Kondisi ekonomi yang serba sulit menimbulkan kebencian masyarakat Banten terhadap pemerintah kolonial. Meski begitu, mengingat pemerintah kolonial memerintah secara tidak langsung, kebencian disalurkan kepada para birokrat lokal yang menjabat. Mereka, mulai dari bupati, demang, juru tulis, mantri, hingga kepala desa, dipandang sebagai kepanjangan tangan kolonial. Mereka menjadi pelaku utama yang membebani masyarakat pedesaan Banten dengan pajak tanah, pajak kepala, dan beban kerja yang tinggi.

Kebencian masyarakat Banten semakin menguat seiring dengan adanya kebangkitan Islam di Banten. Masyarakat Banten tradisional memandang para alim ulama, mulai dari kiai pesantren, pemimpin tarekat, hingga mereka yang telah berhaji, sebagai figur yang disucikan. Mereka selalu mendoakan perjalanan mereka, sembari berharap berkah dan jimat untuk kekebalan. Kondisi ini, ditambah dengan keberadaan alim ulama yang terpinggirkan dalam birokrasi kolonial, membuat mereka mengobarkan semangat Perang Sabil kepada masyarakat.

Bagian kedua buku ini, mulai dari Bab VI hingga Bab IX, mengisahkan perjalanan pemberontakan Banten pada Juli 1888. Menurut Sartono, keberadaan tokoh seperti Haji Abdul Karim dan Kiai Haji Tubagus Ismail menyatukan semangat rakyat Banten untuk mengadakan pemberontakan. Mereka, yang telah dibebani pajak yang memberatkan, merasa tersiksa diperintah oleh pemerintahan kafir, dan telah terpengaruh semangat Perang Sabil, menuruti segala petunjuk kedua tokoh tersebut. Meski kedua tokoh di atas tidak terlibat dalam pemberontakan, karena mereka pergi ke Mekkah untk berhaji, semangat untuk memberontak tetap membara.

Baca Juga  Polemik Ilmu Pengetahuan dalam Kerangka F. A. Hayek

Haji Wasid, pemimpin pemberontakan, mulai merumuskan siasat untuk membunuh seluruh orang Eropa di Banten. Melalui jejaring ulama yang ada, ia menyebarkan pesan kepada rekan sesama alim ulama untuk ikut mendukung pemberontakan. Meski, pada akhirnya, hanya sedikit dari alim ulama yang mengirimkan bantuan, Haji Wasid tetap optimis pemberontakan dapat dilakukan pada Juli 1888, sebelum ia dipanggil ke pengadilan atas suatu tuntutan hukum.

Selama pemberontakan berlangsung, pemerintah kolonial terlihat kelabakan. Mereka baru dapat meredam api pemberontakan beberapa hari kemudian, setelah bantuan dari Batavia tiba di Banten. Seiring dengan ditangkap atau dibunuhnya pemimpin pemberontakan, termask Haji Wasid, jiwa memberontak masyarakat mulai menurun. Pada akhirnya, pemberontakan berhasil ditumpas.

Buku Pemberontakan Petani Banten 1888, yang diterbitkan kembali oleh Komunitas Bambu, berhasil menyajikan beragam aspek sebuah pemberontakan. Ia tidak hanya peristiwa gejolak masyarakat yang kosong semata. Melalui pendekatan ilmu sosial yang digunakan Sartono, yang kemudian dikenal sebagai pendekatan multidimensional, sebuah pemberontakan berhasil ditempatkan dalam garis ruang dan waktu yang luas dan dalam.

Membaca buku ini, mengingatkan saya akan buku The Feudal Society yang ditulis oleh Marc Bloch, salah satu tokoh mazhab Annales. Mungkin saja, Sartono sedikit banyak terpengaruh mazhab tersebut, sehingga pandangan Annales yang menempatkan masyarakat dan sosial ekonomi dalam sejarah muncul dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888. Dapat dikatakan, buku Pemberontakan Petani Banten 1888 merupakan penerapan mazhab Annales dalam historiografi Indonesia.

Hanya ada satu catatan yang perlu digarisbawahi dalam buku ini. Disayangkan, buku ini minim gambar dan ilustrasi. Keberadaan gambar dan ilustrasi, bagi pembaca awam, dapat mendukung imajinasi mereka, sehingga membuat pembacaan buku menjadi lebih menyenangkan. Komunitas Bambu, dalam penerbitan berikutnya buku ini, dapat menambahkan beberapa gambar pendukung, sehingga magnum opus Sartono Kartodirdjo ini dapat tampil lebih menarik.

Baca Juga  Problematika Pengajaran Sejarah di Amerika Serikat dan Indonesia

Akhir kata, buku Pemberontakan Petani Banten 1888 menjadi bacaan wajib, yang perlu dibaca seluruh masyarakat Indonesia. Saya katakan seluruh dalam arti segenap lapisan masyarakat, tidak hanya mahasiswa sejarah atau mereka yang mencintai sejarah.

Mengapa demikian? Karena buku ini dapat membantu mereka untuk berpikir lebih kritis dalam melihat sebuah peristiwa, terutama peristiwa sejarah. Diharapkan, melalui karya klasik Sartono Kartodirjdo ini, masyarakat Indonesia mampu menempatkan sebuah fenomena tidak dalam konteks historis saja, tetapi juga dalam konteks sosial, ekonomi, dan kultural. Singkat kata, menempatkannya dalam perspektif multidimensional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *