Pemilu 2024 adalah pemilu perdana bagi generasi Z (Gen Z), termasuk saya. Berdasarkan data yang diterbitkan Republika, jumlah pemilih Gen Z termasuk salah satu yang dominan, yakni menyumbang sekitar 22,85 persen dari jumlah seluruh pemilih.
Tidak heran kalau capres ataupun caleg, berbondong-bondong menjual gimmick demi menarik perhatian Gen Z, yang menjadi salah satu basis suara terbesar ini. Kalangan Gen Z pun sangat antuasias untuk menyalurkan hak pilihnya di Pemilu 2024 lalu.
Sayangnya, antusiasme itu tidak dibarengi dengan sikap kritis. Rata-rata Gen Z memilih calon pemimpin yang dianggap relate dengan kehidupan mereka, meskipun gagasannya nol besar. Ada juga yang memilih karena sekadar ikut-ikutan. Mereka memilih kandidat mengkuti suara mayoritas, meski mereka tidak tahu apa visi misi kandidat yang mereka dukung.
Melihat fenomena ini, sepertinya Gen Z sedang terkena virus fear of missing out alias FOMO politik. Mengutip Brain Academy, istilah FOMO diperkenalkan oleh Patrick McGinnis pada tahun 2003. Istilah ini berarti rasa takut ketinggalan momen dan informasi.
Saya sebut ia sebagai “virus” karena FOMO politik bersifat menular dari satu orang ke orang lainnya. Orang yang tadinya masa bodo dengan politik, tiba-tiba jadi tertarik membicarakan politik. Mereka melakukan ini didasari mengikuti orang lain, alih-alih atas inisiatif sendiri.
Disetir Algoritma TikTok
Menurut penelusuran pribadi, media sosial terutama TikTok punya andil besar dalam memberikan pengaruh pada Gen Z di Pemilu 2024 ini. Ini penting, mengingat pengguna TikTok juga didominasi oleh kalangan Gen Z.
Namun, alih-alih mencari informasi dari sumber yang terpercaya, Gen Z malah menyandarkan sumber informasi kepada TikTok semata. Mereka seringkali memandang konten TikTok, yang banyak berisi hoaks dan misinformasi, sebagai informasi yang kebenarannya dapat dipercaya. Mereka tidak bisa membedakan mana video yang sudah dipotong-potong, dan video yang sesungguhnya. Cukup membuat narasi yang tampak meyakinkan, mereka akan percaya begitu saja kalau konten tersebut memang benar adanya.
Sebagai contoh, sebuah video TikTok memuat sosok capres nomor urut 01, Anies Baswedan, dengan narasi yang menyebutkan bahwa dirinya sudah pindah agama, dan mengganti namanya menjadi Yohanes. Berdasarkan laman Turn Back Hoax, diketahui bahwa video itu diambil pada tahun 2022, saat Anies masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Anies tengah menghadiri peresmian Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Jordan Gading Griya di Cilincing, Jakarta Utara.
Hoaks dan ujaran kebencian seperti ini tidak hanya terjadi sebelum pemilu, tetapi juga pascapemilu. Hingga hari ini, konten seperti ini masih sangat gencar tumbuh, menyasar para kontestan pemilu.
Dari sini, dapat dilihat dilihat bahwa TikTok memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang-orang yang masih berpikiran labil sangat labil. TikTok, lama-kelamaan, bisa menyetir pikiran orang tersebut sehingga tidak lagi bisa melakukan penilaian obyektif.
Sebetulnya, TikTok bisa memiliki dampak positif jika diisi konten-konten yang memuat tenttang edukasi politik. Disayangkan, konten-konten sensasional dan hoaks lebih digemari, dan ujung-ujungnya menjadi ajang pembodohan massal.
Minimnya Wawasan Politik
Alasan berikutnya mengapa Gen Z sangat mudah dipengaruhi dan diarahkan, adalah karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki wawasan politik yang memadai. Wawasan politik, yang didapatkan dari membaca dan melakukan penelusuran, masih enggan tumbuh dalam diri mereka. Mereka masih enggan untuk membudayakan kultur membaca, sehingga menghambat tumbuhnya wawasan politik. Akibatnya, mereka tidak punya pikiran kritis untuk menentukan kapasitas dan kapabilitas seorang calon pemimpin. Mereka hanya memilih berdasarkan rasa suka atau tidak suka.
Memang, dalam iklim demokrasi, siapa pun bebas memilih dengan alasan apa pun. Baik memilih pemimpin karena ia tampil sebagai sosok yang gemoy, memiliki badan atletis, artis yang terkenal, memiliki wajah mirip bintang K-Pop, ataupun karena mengikuti tren jejepangan, merupakan alasan yang sahih. Namun, jika Gen Z ingin memiliki pemimpin yang berkualitas, mereka harus memilih berdasarkan rekam jejak dan gagasan yang ia tawarkan.
Idealnya, untuk menambah wawasan politik, Gen Z diharapkan untuk mempelajari ilmu politik. Mereka dapat memperoleh pengetahuan mengenai hal tersebut dengan mempelajari tokoh-tokoh seperti Aristoteles, John Locke, Thomas Hobbes, dan yang lainnya. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, Gen Z diharapkan untuk mendalami latar belakang serta visi misi sang calon pemimpin. Hal ini perlu dilakukan, jika Gen Z tak ingin sekadar ikut-ikutan dalam pemilihan umum.
Minim Edukasi dari Pemerintah dan Partai Politik
Melihat situasi FOMO politik di kalangan Gen Z, pemerintah dan partai politik harusnya ikut andil dalam memberikan edukasi politik. Disayangkan, mereka justru ikut menikmati keuntungan FOMO politik yang menjalar dalam diri Gen Z.
Sebagai contoh, sebuah akun resmi salah satu partai politik di Indonesia, menyebarkan virus FOMO politik pada generasi muda melalui konten TikTok. Akun partai politik tersebut sering membuat narasi-narasi provokatif mengenai politik. Akun tersebut juga sering membuat narasi yang melecehkan rival politiknya, membuat kondisi pascapemilu menjadi tetap panas. Contoh tersebut menjadi sebuah ironi besar, mengingat salah satu fungsi partai politik adalah menciptakan iklim yang kondusif dan memberikan edukasi politik terhadap masyarakat luas, seperti yang tertera dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 11 Tentang Partai Politik.
Dari contoh di atas, masih terlihat bahwa partai politik belum menjalankan fungsinya dengan baik sebagai sarana edukasi politik. Alih-alih memberikan kesadaran berpolitik kepada masyarakat, terutama Gen Z, mereka justru sibuk memikirkan bagaimana caranya mendongkrak elektabilitas.
Barangkali, pemerintah dan partai politik di Indonesia sengaja membiarkan Gen Z menjadi generasi yang FOMO politik. Dengan begitu, mereka hanya perlu menyajikan gimmick untuk menjaga suara dan dukungan terhadap mereka. Mereka membayangkan, jika Gen Z telah melek politik, gimmick yang biasa mereka sajikan di publik tidak akan laku lagi. Bagi pemerintah dan partai politik, masyarakat yang tidak terdidik dan dan masih belum melek politik akan lebih mudah untuk diatur dan diarahkan sesuai kepentingan mereka.
Pada akhirnya, semuanya kembali lagi pada Gen Z, apakah mereka mau terus-menerus disebut sebagai generasi FOMO politik, atau menjadi generasi yang melek politik. Jika mereka ingin serius terbebas dari “virus” tersebut, mereka harus segera melakukan vaksinasi, melalui literasi politik. Ini perlu dilakukan, agar “virus” FOMO politik tidak lagi menjangkiti generasi-generasi selanjutnya.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Netral News (netralnews.com) pada 27 Maret 2024 dengan judul Menelisik Virus FOMO Politik di Kalangan Gen Z