Kadipaten Mangkunegaran, sebagai salah satu kerajaan di wilayah Vorstenlanden, yang meliputi Yogyakarta dan Surakarta, pernah mencatatkan sebuah sejarah yang gemilang. Sejarah tersebut adalah membangun sebuah pembangkit listrik, dan mendorong akses listrik di tanah Jawa.
Hal tersebut didorong ketika sebuah perusahaan listrik swasta, Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM), yang merupakan anak perusahaan dari Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM), membuka pabrik listrik di Surakarta. Keluarga Mangkunegaran, bersama dengan Kasunanan Surakarta, menyambut baik pabrik listrik tersebut. Kedua keraton tersebut saling bersinergi untuk mewujudkan penerangan listrik di Surakarta. Sinergi ini membuahkan hasil, ketika pada 19 April 1902, listrik mengaliri Surakarta.
Keberadaan listrik di Surakarta berdampak positif terhadap kehidupan warganya. Selain bermanfaat untuk penerangan jalan dan rumah penduduk, listrik telah berjasa melahirkan budaya perkotaan. Ia mendukung keberlangsungan tempat hiburan, seerti bioskop dan pertunjukan teater wayang orang di Taman Sriwedari. Kemunculan stasiun radio Solosche Radio (SRV) juga merupakan dampak dari terjamahnya wilayah Surakarta dengan listrik.
Kehadiran listrik di Surakarta membuat kota tersebut bertransformasi menjadi kota yang maju layaknya Batavia. Kehidupan masyarakatnya kian bergeliat, dengan aktivitas yang berlangsung hingga malam hari. Fenomena kota yang tetap berdenyut meski matahari sudah terbenam menjadikan Surakarta sebagai kota yang memikat bagi para pendatang.
Berbagai hal di atas, pada akhirnya, mendorong Kadipaten Mangkunegara untuk membangun sebuah pembangkit listrik di wilayahnya pada 1930-an. Bagaimana kisahnya?
Berawal dari Bengkaknya Tagihan Listrik
Listrik mulai tersambung ke wilayah Mangkunegaran setelah KGPAA Mangkunegara VI setuju untuk memberikan dukungan kepada SEM untuk menangani kelistrikan di Surarakat. Saat SEM berdiri pada 12 Maret 1901, Mangkunegara VI memberikan mandat kepada J. A. C. De Kock van Leuwen, seorang Belanda yang menjabat sebagai pengawas pabrik gula Mangkunegaran, sebagai salah satu komisaris SEM.
Kerjasama lebih serius kembali berlangsung antara Kadipaten Mangkunegaran dengan SEM. Mangkunegara VI memercayakan SEM untuk mengerjakan instalasi listrik di Mangkunegaran. SEM dipercaya untuk menangani perencanaan, pengadaan, pemasangan, perawatan, hingga pemeliharaan instalasi kelistrikan.
Pascakerjasama, SEM mulai menyiapkan dan membangun segala infrastruktur kelistrikan yang dibutuhkan di wilayah Mangkunegaran. Mereka mulai memasang kabel, tiang listrik, transformator, hingga menyediakan genset untuk pemasok listrik di tempat yang disepakati dengan Patih Mangkunegaran. Setelah semua perangkat rampung terpasang, listrik dapat dinikmati di Kadipaten Mangkunegaran.
Suplai listrik tersebut digunakan untuk kebutuhan di beberapa titik sentral kadipaten, antara lain kompleks Pura Mangkunegaran, kediaman kepatihan dan bangsawan Mangkunegara, Masjid Mangkunegaran, dan Pasar Legi Mangkunegaran. Listrik SEM juga digunakan untuk menjalankan mesin-mesin di Pabrik Gula Colomadu dan Pabrik Gula Tasikmadu, dua pabrik besar kebanggaan Mangkunegaran.
Seiring berjalannya waktu, daya pemakaian listrik di Mangkunegaran semakin besar. Konsumsi yang terus meningkat tersebut diikuti dengan tarif yang membengkak. Pada saat bersamaan, Mangkunegaran dihadapkan pada masalah perekonomian, sebagai akibat merosotnya bisnis gula, dan pemborosan lainnya di lingkungan keraton. Kebijakan untuk mengetatkan anggaran mulai dipersiapkan demi mengevaluasi pengeluaran keraton.
Saat tampuk kepemimpinan Mangkunegaran berpindah ke tangan KGPAA Mangkunegara VII, kebijakan pengetatan anggaran tetap dipertahankan demi keberlanjutan efisiensi. Sampai pada akhirnya, sang raja baru memiliki ide dan ambisi besar, yakni menginginkan Kadipaten Mangkunegaran mampu mendirikan perusahaan listrik yang dikelola sendiri oleh keraton. Tujuan terbesar dari gagasan tersebut adalah agar tarif listrik yang dikeluarkan lebih murah dan terjangkau bagi semua rakyat di daerah kekuasaan Mangkunegaran. Mangkunegara VII mendorong agar listrik tidak hanya dinikmati oleh kalangan atas saja, melainkan hingga lapisan masyarakat biasa.
Melirik Tawangmangu
Tak hanya disebabkan oleh melonjaknya tarif listrik SEM, faktor lain yang mendasari gagasan pendirian perusahaan listrik Mangkunegaran adalah pembangkit listrik di Tuntang yang bekerja tidak optimal dalam mengalirkan listrik di wilayah Vorstenlanden. Manajemen SEM mengakui bahwa pembangkit listrik di Tuntang kewalahan melayani kebutuhan listrik di Vorstenlanden. Melihat kenyataan tersebut, ditambah dengan SEM yang menolak permohonan Mangkunegaran1 untuk meningkatkan suplai listrik, membuat Mangkunegara VII semakin bersemangat untuk merealisasikan gagasan pembangunan pembangkit listrik.
Langkah pertama dalam menggarap proyek tersebut dimulai dengan menentukan lokasi yang tepat untuk pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Daerah Tawangmangu, yang dialiri sungai, dipilih sebagai lokasi pembangunan pembangkit listrik.
Pihak kraton mulai berkonsultasi dengan SEM, dan diputuskan akan segera melakukan observasi langsung ke lokasi. Selama proses konsultasi, Patih Mangkunegaran, sebagai perwakilan raja, menerima surat terkait pembangkit listrik air di Tawangmangu, sekaligus data disertai peta lokasi sesuai permintaan Keraton Mangkunegaran.
Keputusan penentuan lokasi untuk PLTA Tawangmangu terjawab setelah Kepala Irigasi Mangkunegaran mengeluarkan surat pada 15 Maret 1932.2 Isi surat tersebut menjelaskan bahwa pembangkit listrik akan ditempatkan di Kali Samin.
Langkah selanjutnya adalah penandatanganan surat perjanjian pendirian PLTA Tawangmangu antara pihak Mangkunegaran, yang diwakili oleh Ir. Sarsito, dengan SEM, yang diwakili oleh Ir. Van Venlthoven. Nominal ongkos pembangunan yang tertera dalam perjanjian tersebut mencapai f 1.100.000. Proses pembangunan PLTA diserahkan kepada manajemen SEM, yang melibatkan tenaga profesional dan berpengalaman dengan bantuan para kuli lokal.3
Ditentang ANIEM Hingga Berakhir Ditutup
Keberhasilan Keraton Mangkunegaran meresmikan PLTA Kali Samin mengundang reaksi negatif dari otorita pemerintah kolonial. Pembangunan pembangkit listrik di wilayah Tawangmangu tersebut dianggap tidak sesuai aturan. Direktur Perdagangan dan Listrik Negara saat itu merasa khawatir jika orang pribumi ikut campur dalam urusan pengelolaan listrik di Hindia Belanda.
Menurut Eko Sulistyo, dalam buku Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957, Tawangmangu merupakan daerah penghasil listrik tenaga air yang potensial selain Tuntang. Keadaan tersebut membuat pemerintah kolonial ingin menguasainya. Namun, upaya tersebut terhalang, lantaran Tawangmangu menjadi daerah kekuasaan Mangkunegaran, yang tak mudah berkompromi dengan Belanda.
Keraton Mangkunegaran sempat melayangkan usulan kepada pemerintah kolonial untuk menerbitkan hak konsesi atau izin mendirikan perusahaan listrik mandiri Mangkunegaran. ANIEM, sebagai perusahaan listrik negara yang juga induk dari SEM, menolak mentah-mentah usulan tersebut.
Masalah tersebut segera ditengahi oleh Direktur Tenaga Air dan Listrik, J. van Buuren. Melalui surat tertanggal 9 September 1936,4 dikatakan bahwa SEM adalah satu-satunya perusahaan yang boleh memonopoli kelistrikan di wilayah Surakarta. Dengan demikian, baik Kasunanan maupun Mangkunegaran tidak boleh mengajukan konsesi untuk mendirikan perusahaan listrik mandiri, karena akan merugikan SEM.
Berita tentang ditutupnya pembangkit listrik Mangkunegaran di Kali Samin sampai ke telinga masyarakat Surakarta. Mereka merasa kecewa, dan menyesalkan keputusan Mangkunegara VII yang memilih untuk menuruti permintaan pemerintah kolonial.
Wujud Kemandirian Bangsa
Meski tidak berumur panjang (hanya beroperasi selama tiga tahun), kehadiran PLTA Kali Samin di Tawangmangu menjadi contoh nyata dari keinginan luhur mendorong kemandirian bangsa. Langkah visioner yang dilakukan Mangkunegara VII berdampak signifikan bagi masyarakat Surakarta. Pembangunan pembangkit listrik bertenaga air dari Kali Samin menjadi upaya untuk memeratakan distribusi listrik ke semua lapisan masyarakat, menghapus kesenjangan.
Mangkunegara VII menyadari bahwa listrik adalah alat untuk meningkatkan kehidupan dan peradaban rakyatnya menuju taraf lebih baik. Ia ingin rakyatnya terbiasa dengan teknologi modern di tengah keseharian mereka, layaknya kaum Eropa.
Walau pada akhirnya mendapat penolakan oleh pemerintah kolonial, dan terpaksa ditutup, gagasan Mangkunegara VII telah melampaui zamannya. Sejarah mengabadikannya sebagai terobosan penguasa pribumi pertama yang melihat listrik sebagai faktor emansipasi. Kadipaten Mangkunegaran, melalui PLTA Kali Samin Tawangmangu, mengajarkan kita tentang usaha mengangkat derajat suatu bangsa, dan mewujudkan kemandirian melawan dominasi kolonial.
Catatan Kaki
- Arsip SEM No. 11403/29 Tanggal 27 Desember 1930 ↩︎
- Arsip SEM No. 324/3 Tanggal 15 Maret 1932 ↩︎
- Rapport betreffende de mogelijkheid tot het opwekken van electriciteit middels waterkrachtweken in het Tawangmangoensche Tanggal 7 November 1932 ↩︎
- Bundel surat dari Direktur Tenaga Air dan Perlistrikan J. van Buuren kepada Mangkunegara VII No. EW 12/7/21 Tanggal 9 September 1936 ↩︎