Memecahkan Misteri Pembunuhan di Kingfisher Hill Estate dalam The Killing at Kingfisher Hill

Judul BukuThe Killing at Kingfisher Hill
PenulisSophie Hannah
PenerbitGramedia Pustaka Utama
Kota TerbitJakarta
Tahun Terbit2020
Halaman336 halaman
ISBN978-602-064-955-9

“Kunci yang sangat kecil akan membuka pintu yang sangat besar.”

Sophie Hannah

Mungkin, dewasa ini, lebih banyak tampil para pecinta novel bertema romansa dibandingkan tema misteri dan pembunuhan. Tema misteri dan pembunuhan masih dicintai para pembacanya, terutama mereka yang benar-benar menyukai tema tersebut.

Terdapat beberapa novel bertemakan misteri dan pembunuhan yang beredar di publik. Pertama, adalah seri Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle. Kedua, adalah seri Hercule Poirot yang dikembangkan oleh Agatha Christie. Dalam resensi kali ini, kita akan menyelami salah satu karya kontemporer mengenai sosok Poirot, yakni novel The Killing At The Kingfisher Hill yang ditulis oleh Sophie Hannah.

Shopie Hannah merupakan penggemar berat Agatha Christie, sang “Ratu Kriminal” yang terkenal karena berbagai novel misteri dan pembunuhan dengan dua tokoh fiksi populernya, Hercule Poirot dan Jean Marple. Sebelumnya Sophie telah menghidupkan kembali Hercule Poirot dalam novel The Monogram Murders, dan dalam novel The Killing At The Kingfisher Hill, sosok Poirot kembali dihidupkan untuk pembaca kontemporer.

Teka-Teki Pembunuhan Frank Devonport

Novel ini berkisah tentang perjalanan Hercule Poirot dan sahabatnya, Catchpoll, menaiki bus mewah dari London menuju Kingfisher Hill Estate yang eksklusif. Richard Devonport, sang pemilik estate, meminta bantuan Poirot untuk membuktikan bahwa tunangannya, Hellen, tidak bersalah atas kasus pembunuhan kakaknya, Frank Devonport. Namun, Richard meminta agar Poirot merahasiakan alasan kunjungannya ke Kingfisher Hill dari anggota keluarga Devonport yang lain.

Di dalam bus, ada seorang wanita bernama Joan Blythe yang melompat berdiri dan meminta bus berhenti. Ia bersikeras bahwa dirinya akan dibunuh apabila ia duduk di kursinya. Pergantian tempat duduk pun dilakukan, dan sisa perjalanan berlanjut tanpa masalah. Dari sini, Poirot mulai merasakan firasat buruk.

Baca Juga  Teknologi, Pemantik Tak Terduga Semangat Nasionalisme di Hindia Belanda

Sesampainya di rumah keluarga Devonport, sudah semakin banyak pertanyaan mengenai teka-teki pembunuhan Frank. Saat makan malam bersama, Daisy Devonport tiba-tiba membuat pengakuan bahwa ialah yang membunuh Frank, bukan Helen. Setelah mengatakan itu, ia jatuh terhuyung dari kursinya, lalu berteriak seperti hewan liar yang sedang mencabik mangsanya.

Karena sudah semakin penasaran, Poirot kemudian mendatangi penjara tempat ditahannya Helen. Setibanya di sana, Poirot mendapati bahwa Helen mengaku bahwa ialah yang membunuh Frank. Hal itu membuat Poirot dan Catchpool frustasi.

Semakin lama Poirot berada di Kingfisher Hill, semakin banyak potongan-potongan puzzle teka-teki dan kejanggalan aneh yang ia temukan untuk memecahkan kasus ini. Mulai dari cincin batu delima pemberian Frank yang diberikan kepada Helen hingga penemuan mayat Joan Blythe di Kingfisher Hill yang membuat semua orang terkejut.

Bagian wajah mayat Joan saat itu sudah tidak berbentuk karena ditusuk oleh besi. Situasi semakin tegang ketika dokter Niemietz menemukan kertas yang bertuliskan, “[k]au sudah duduk di kursi yang seharusnya tidak kau duduki, sekarang inilah penusuk perapian yang akan menghancurkan topimu. Hanya Poirot dan Catchpool yang mengerti isi dari pesan tersebut.

Setelah itu, Poirot mendatangi Kingfisher’s View untuk bertemu dengan bibi Hester. Ia ingin menyelesaikan kasus pembunuhan Frank Devonport dengan menyelidiki bibi Hester sebagai salah satu saksi. Ada beberapa jawaban yang berguna dari bibi Hester untuk membantu Poirot mengungkap kasus pembunuhan Frank.

Setelah melakukan banyak penyelidikan dengan beberapa orang, akhirnya terungkap bahwa pengakuan Daisy jika ia yang membunuh Frank, kakaknya, itu adalah pengakuan palsu yang ia buat untuk melindungi Helen. Ia percaya bahwa Helen bukanlah pelaku sebenarnya.

Baca Juga  Napas Islam dalam Historiografi Indonesia

Selain itu, terungkap pula bahwa nama asli dari mayat di Kingfisher Hill itu bukan Joan Blythe, melainkan Wennie Lord. Pembunuh Wennie Lord adalah Oliver Prowd, dengan motif ingin melindungi Daisy, tunangan yang amat ia cintai. Semua itu dilakukan karena Wennie memberitahu Oliver bahwa Daisy adalah orang yang membunuh Frank, kakaknya sendiri, dan hendak menghubungi polisi untuk melaporkan Daisy.

Sedangkan, pembunuh Frank yang sebenarnya memanglah Helen, tunangannya sendiri. Untuk motifnya, Poirot tidak menjelaskan soal itu kepada keluarga Devonport.

Kekuatan Pada Penggambaran Sosok Hercule Poirot

Saya sangat menyukai buku ini. Sejak pertama kali melihatnya di salah satu rak toko buku favorit saya, mata saya langsung tertuju pada buku ini. Warna biru yang elegan serta gambar bus hitam yang misterius membuat saya tertarik untuk membacanya.

Sophie sangat handal dalam membuat alur cerita pembunuhan. Ia dapat mendeskripsikan setiap kejadian dengan sangat rinci hingga membuat pembaca seakan-akan ikut berada di tempat kejadian perkara (TKP) untuk menyaksikannya. Kejadian-kejadian sepele yang ia tuliskan dalam novel ini ternyata sangat mempengaruhi jalan cerita untuk menyelesaikan kasus. Ini membuat kita ikut terjebak dalam menebak alur dan pelaku kasus tersebut. Dapat dikatakan, buku ini benar-benar membuat pembacanya untuk berpikir kritis, logis, teliti, dan cerdas.

Saya pribadi menyukai gaya tulisan Shopie, karena ia lebih banyak menuliskan narasi dibandingkan dialog antar tokoh pada novel yang ia tulis. Sophie dapat mengemas cerita ini dengan sangat rapi. Terlebih, dalam menuliskan ending dan penyelesaian kasus, ia membuat pembaca tidak menyangka jika kasus akan berakhir seperti itu.

Tentu saja, saya sangat menyukai bagaimana Agatha Christie menciptakan karakter Hercule Poirot yang mampu berpikir kritis dan cerdas. Hercule Poirot, sebagai seorang detektif keturunan Belgia yang tinggal di Inggris, diceritakan dengan detail.

Baca Juga  Hakikat Tuhan dalam Pandangan Epikureanisme dan Stoikisme

Poirot digambarkan sangat lihai dalam memecahkan kasus yang ada, membuat saya, sebagai pembaca, mendambakan seorang detektif seperti itu juga di negara kita. Minimal satu orang saja Poirot ada di Indonesia, mungkin banyak kasus-kasus yang telah cold dapat dipecahkan di negeri ini.

Di Balik Kekuatan, Terdapat Kelemahan

Dari kelebihan-kelebihan di atas, terdapat beberapa kelemahan dalam novel The Killing at Kingfishie Hill ini. Pada bagian awal, saya menulis bahwa Hercule Poirot, yang mampu berpikir kritis, menjadi salah satu kekuatan. Namun, di sisi lain, cara berpikir Hercule Poirot yang rumit dapat membuat para pembaca sedikit kebingungan. Sophie menjelaskan pemikiran Poirot terlalu rinci, sehingga membuat pembaca perlahan merasa bosan ketika membacanya.

Cara Sophie dalam menuliskan narasi juga membuat para pembaca harus memahaminya sedikit lebih lama. Menurut saya, Sophie menggunakan bahasa yang sedikit bertele-tele dan kurang efektif.

Selain itu, dalam novel ini, terdapat beberapa dialog maupun narasi yang menggunakan bahasa Prancis tanpa disertakan artinya, sehingga membuat para pembaca, yang tidak mengerti artinya,  akan sedikit kebingungan.

Bagaimanapun, untuk sebuah cerita detektif, menurut saya novel The Killing at Kingfisher Hill merupakan novel yang cukup ringan. Hanya sajam penjabaran dan alurnya ditulis sedikit berputar-putas oleh Shopie, membuat pembaca harus lebih cermat saat membacanya. Ini juga memaksa pembaca untuk tidak menyepelekan tiap kata yang ia tulis.

Bagi para remaja yang menyukai buku misteri yang dipenuhi teka-teki, buku ini sangat asik untuk dibaca. Ia dapat menjadi media untuk mengasah cara berpikir pembaca agar lebih kritis dan cerdas. Juga, untuk kalian para pecinta novel kriminal, pembunuhan, dan misteri, buku ini sangat asik untuk dibaca, dan mungkin akan secara otomatis masuk ke dalam daftar novel favorit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *