Mengunyah Sejarah, Menyerap Budaya

Jejak Rasa Nusantara
Judul BukuJejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia
PenulisFadly Rahman
PenerbitGramedia Pustaka Utama
Kota TerbitJakarta
Tahun Terbit2016
Halamanxxii + 395 halaman
ISBN978-602-03-3521-6

Sejarah panjang bangsa Indonesia menyediakan ruang untuk kajian kuliner yang sangat penting dan perlu untuk diteliti secara mendalam. Makanan massal di Indonesia, yang saat ini familier dengan lidah kita, tidak begitu saja ada tanpa melalui proses historis yang sangat panjang.

Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia merupakan buku sejarah tentang perkembangan makanan di Indonesia. Mungkin, jumlah sejarawan kuliner berlatar belakang sejarah akademik di Indonesia masih sangat langka.

Buku ini mulanya merupakan karya tulis ilmiah dari tugas akhir studi Fadly Rahman di program studi S2 Sejarah Universitas Gadjah Mada dari tahun 2012-2014, berupa tesis yang ia berhasil pertahankan. Fadly cukup ambisius untuk melakukan penelitian tentang eksistensi makanan di Indonesia ini.

Ia memulai narasi sejarah makanan ini mulai dari abad ke-10 hingga pertengahan paruh kedua dekade 1960-an, yakni ketika diterbitkannya buku masakan nasional Indonesia berjudul Mustika Rasa.

Jejak Sejarah dalam Piring Nusantara

Buku ini mengungkapkan bahwa pada umumnya, pangan di Nusantara merupakan olahan pangan yang berasal dari beras, ikan asin yang dikeringkan, dan jenis-jenis minuman fermentasi. Laporan Ma Huan, yang merupakan juru tulis perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho), menegaskan hal tersebut (hlm. 25). Selain itu, dalam naskah kuno Sunda, semisal Sanghyang Siksakandang Karesian (1518 M), dicantumkan penyiratan rupa-rupa rasa yang ada dalam makanan pribumi seperti rasa asin, pedas, pahit, masam, gurih, dan manis.

Datangnya para muslim, yang sekaligus juga menyebarkan ajaran Islam di Nusantara sepanjang abad ke-13 hingga ke-15, memengaruhi pula pangan masyarakat pada waktu itu. Pengharaman makan daging babi merupakan syarat utama ketika seseorang melakukan konversi kepercayaan kepada Islam.

Baca Juga  Bali dalam Memori Putu Setia

Proses islamisasi makanan ini tidak serta merta disambut dengan baik oleh masyarakat pribumi. Di Makassar misalnya, penguasa setempat berjanji tidak akan masuk Islam, sebelum semua babi di kawasan hutan Bulo-bulo lenyap. Anehnya, pada suatu malam, tiba-tiba semua babi di hutan itu lenyap. Sang penguasa pun menepati janjinya untuk masuk Islam diikuti oleh para pengikutnya.

Sepanjang masa kuno dimulai dari abad ke-10 hingga ke-17, penulisan resep-resep masakan dalam sumber tradisional sangat minim. Kalaupun ada, itu hanya menyiratkan berbagai macam olahan pangan yang sudah jadi. Beberapa makanan dari masa kuno itu, hingga kini, bahkan masih ada, seperti pecel dan rawon.

Masyarakat pribumi pada waktu itu belum menyadari betul akan pentingnya perekaman sesuatu melalui tulisan. Baru di abad ke-18, muncullah sebuah buku tentang bagaimana cara membudidayakan, mengolah, serta mengonsumsi pangan yang ada di Nusantara.

Reformasi Cita Rasa

Di paruh pertama abad ke-19 usaha-usaha untuk mereformasi selera makan masyarakat pribumi semakin menggeliat. Mulai dari kebijakan sewa tanah Raffles hingga penuturan sastrawan Melayu, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang menyatakan bahwa “… tiadalah mereka itu gemar memakan daging dan minyak sapi, melainkan ikan dan sayur dan perkara2 yang busuk2, seperti tempoyak dan pekasam dan petai dan sebagainya.”

Munsyi menganggap selera makan pribumi harus diubah. Para misionaris pun tak luput dari usaha untuk mereformasi selera makanan pribumi, hingga muncul istilah yang disebut “kuliner teologi.”

Menariknya, pencatatan cita rasa ini tak hanya berwujud dalam sebuah buku, tetapi juga dalam catatan harian (diary). Seperti misalnya Ietje Go Pheek Thoo, yang sudah rajin menuliskan berbagai resep makanan semenjak tahun 1930-an.

Baca Juga  Kebajikan Selalu Menang Melawan Kebatilan

Resep makanan yang ditulisnya beragam, mulai dari olahan makanan khas Tionghoa, Belanda, sampai pribumi (hal. 168). Cara Ietje mengumpulkan resep-resep itupun menarik. Caranya, yakni saling mengutip resep dengan teman-temannya dan sebaliknya.

Praktik penulisan resep makanan dengan cara saling kutip itu lebih didasarkan pada selera makanan yang paling disukai banyak orang. Rendang menjadi salah satu contohnya. Penulisan resep rendang tulisan tangan Ietje menjadi salah satu bukti bahwa makanan, menurut penulis buku, bisa menerabas ruang-ruang geografis.

Gastronomi sebagai Cermin Peradaban

Dalam buku ini, rasanya Fadly Rahman memang lebih banyak berusaha menggali catatan-catatan yang ada di masa Hindia Belanda ketimbang di masa kemerdekaan.

Beberapa hal yang diulas oleh Fadly adalah tentang bagaimana Republik Indonesia berusaha berdiri dengan kakinya sendiri dalam hal kedaulatan pangan. Berbagai kebijakan diambil penguasa untuk membentuk identitas gastronomi Indonesia, seperti peran Poerwosoedarmo untuk memperbaiki nutrisi dengan jargon 4 sehat 5 sempurna.

Selain itu, ada pula upaya ambisius Soekarno untuk mencatatkan masakan-masakan Indonesia dari Sabang hingga Merauke demi menyingkirkan makanan-makanan eropa yang dianggapnya makanan yang membuat bangsa ini minder. Upaya ambisius tersebut diwujudkan dalam bentuk buku resep Mustika Rasa dengan ketebalan 1.100-an halaman. Buku tersebut akhirnya menjadi ironi, karena buku tersebut baru berhasil diterbitkan pada 8 Februari 1967, dua minggu sebelum Soeharto naik takhta dan memulai orde baru.

Hal lain yang disayangkan dari buku ini adalah di bagian akhir. Seperti pada umumnya buku penelitian, buku ini masih secara literal menyajikan kesimpulan secara subjektif, dengan bab tersendiri dan poin-poin singkat yang menyimpulkan pandangan Fadly sebagai peneliti. Akibatnya, kesimpulan yang disampaikan terkesan terlalu kaku.

Dalam kesimpulannya, Fadly Rahman kemudian menjelaskan bahwa sejarah gastronomi nyatanya dapat dilacak dari berbagai sumber literatur, termasuk di dalamnya adalah resep masakan yang kadang disepelekan. Menurutnya, dengan membaca tren buku-buku masak yang beredar dan juga perbincangan yang disampaikan oleh media tentang masakan adalah sumber-sumber berharga yang dapat memetakan bagaimana perkembangan gastronomi sebuah bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *