Sejarah masuknya agama-agama besar ke Nusantara telah menjadi narasi yang akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kisah kedatangan Hindu-Buddha melalui para pedagang India, atau masuknya Islam lewat jalur perdagangan dan dakwah para wali, telah menjadi pengetahuan umum yang diajarkan sejak bangku sekolah.
Kisah-kisah tersebut menjadi pengantar, bagaimana tiga agama besar di Indonesia, yakni Hindu, Buddha, dan Islam, tumbuh dan menyebar di Nusantara. Kisah tersebut pula yang paling mudah diingat, jika berbicara mengenai penyebaran agama besar di negeri ini.
Namun, kisah masuknya agama Kristen di Indonesia masih luput dari perhatian masyarakat. Padahal, jejak kekristenan di Indonesia memiliki akar yang jauh lebih tua dari yang semula diketahui.
Komunitas Kristen Awal di Indonesia
Menurut Syeikh Abu Salih al-Armini, seorang ahli sejarah yang bekerja pada masa pemerintahan Kalifah Fatimiyah, mencatat dalam buku Tadhakur fiha Akhbar min al-Kanals wa-Adyar min Naumhin Miari w’al kytha’nihu bahwa terdapat komunitas Nasara Nasathirah (Nestorian) di Fansur.
Kabar tersebut kemudian ditafsirkan oleh Y. Bakker, yang memaknai Fansur adalah Pancur, sebuah daerah dekat Barus di Tapanuli, Sumatera Utara. Di tempat tersebut, terdapat gereja Bunda Perawan Murni Maria yang didirikan pada tahun 645, mengutip buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia: Umat Katolik perintis ±645-±1500.
Keberadaan komunitas Kristen tersebut diperkuat oleh beberapa sumber lain. Metropolit Gereja Khaldea (1291-1319) melaporkan bahwa sejak abad ke-7, Gereja Khaldea telah memiliki Keuskupan Agung untuk wilayah Dabbhag (Sumatera dan Jawa), Sin dan Masin (Tiongkok).

Juga, Ebedjesus dari Ninihis (1291-1219) juga mencatat Dabbagh sebagai wilayah keuskupan. Pada 1511, Portugis menemukan fondasi gereja Khaldea di Malaka. Sebelumnya, pada 1503, Elias V bahkan mengutus tiga uskup ke Zabagh (Dabbagh) dan wilayah Tioongkok.
Bukti lainnya adalah perjalanan beberapa misionaris Fransiskan ke wilayah Nusantara. Pada 1347, Uskup Marignolli OFM, dalam perjalanannya dari Beijing ke India, menemukan komunitas Kristen di Palembang dan istana Ratu Tribhuwana dari Majapahit.
Penelitian kontemporer juga menemukan tempat bernama Janji Mariah di dekat Barus, yang dapat diartikan sebagai “Janji Maria” atau “janji yang meriah.” Menurut Antonius Tukiran, ini menambah bukti kehadiran Kristen awal di Nusantara.
Kedatangan Misionaris Pertama
Secara besar-besaran, Kristen pertama kali masuk ke Nusantara dibawa oleh bangsa Portugis pada awal abad ke-16. Tepatnya pada tahun 1511, Portugis, yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque, menaklukkan Malaka.
Setelah itu, para misionaris Katolik mulai menjalankan misi penginjilan di wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Wilayah tersebut termasuk Maluku, yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah kala itu.
Menurut Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860 oleh Th. van den End, keberhasilan penyebaran Kristen di berbagai wilayah Indonesia sangat bergantung pada kemampuan para misionaris dalam memahami dan menghormati kearifan lokal.

Mengenai penyebaran Kristen pada masa ini, misionaris pertama yang membawa agama Kristen ke Nusantara adalah Santo Fransiskus Xaverius. Ia adalah seorang misionaris Katolik dari ordo Yesuit yang berasal dari Spanyol.
Franciscus Xaverius menginjak tanah Maluku bukan semata-mata untuk membawa misi penginjilan. Seperti dicatat Xaverius dalam Letters and Instructions of Francis Xavier yang diterjemahkan oleh M. Joseph Costelloe, Franciscus Xaverius membawa visi besar untuk memahami kehidupan masyarakat lokal.
Xaverius mencatat bagaimana penduduk Maluku hidup dalam tradisi yang kaya, utamanya dengan sistem kepercayaan yang kompleks. Selama sembilan bulan keberadaannya di Maluku, Xaverius berhasil membaptis ribuan penduduk lokal.
Menurut Karel Steenbrink dalam Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950, kedatangan Portugis ke Maluku memang tidak dapat dipisahkan dari misi kristenisasi. Para pedagang Portugis yang mencari rempah-rempah secara tidak langsung juga membuka jalan bagi masuknya Kristen ke Nusantara.
Penyebaran ke Berbagai Wilayah
Seturut Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia oleh Jan S. Aritonang, kristenisasi di Indonesia menunjukkan pola yang beragam di setiap wilayah. Di Maluku, kedatangan Portugis membawa pengaruh Katolik yang kuat, sementara di wilayah lain seperti Tanah Batak, perkembangan Kristen Protestan lebih dominan.
Pada abad ke-17, agama Kristen Protestan dikenalkan oleh kompeni Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Agama Protestan berkembang terutama di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda, seperti Jawa, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Periode VOC membawa perubahan dalam penyebaran Kristen di Nusantara. Th. van den End menjelaskan bagaimana VOC mengambil pendekatan yang lebih sistematis dalam penyebaran agama. Mereka mendirikan seminari untuk mendidik pendeta lokal dan membangun gereja-gereja yang megah. Lebih dari itu, VOC juga menerapkan kebijakan yang membatasi penyebaran Katolik, mengingat persaingan mereka dengan Portugis.

Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya menjelaskan bahwa di bawah kekuasaan VOC, Alkitab pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Melchior Leijdecker. Karya besar ini menjadi fondasi penting bagi perkembangan Kristen di Nusantara. Akitab terjemahan bahasa Melayu itu kemudian terbit di Amsterdam pada tahun 1731-1733.
Setelah VOC dibubarkan pada 1799, pemerintah kolonial Belanda mengambil alih administrasi Hindia Belanda. Pada periode ini, misi Kristen semakin aktif. Misionaris dari berbagai organisasi, seperti Nederlandsche Zendelingsgenootschap (NZG) dan Rheinische Missionsgesellschaft, melakukan kegiatan penginjilan di berbagai daerah, termasuk Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Kisah menarik terjadi di tanah Batak, Misionaris asal Jerman, Ludwig Ingwer Nommensen, berhasil melakukan pendekatan yang luar biasa pada 1862. Nommensen mampu memahami adat istiadat Batak dan mengintegrasikannya dengan ajaran Kristen tanpa menghilangkan esensi keduanya.
Di Jawa Barat, khususnya di wilayah Pasundan, penyebaran agama Kristen dimulai pada pertengahan abad ke-19 oleh misionaris Belanda. Meskipun menghadapi tantangan dari budaya lokal dan agama Islam yang dominan, upaya misionaris berhasil mendirikan komunitas Kristen.
Pada tahun 1934, Gereja Kristen Pasundan (GKP) resmi didirikan di Bandung. Hingga kini, GKP memiliki 51 jemaat dengan sekitar 33.000 anggota.
Pendudukan Jepang hingga Pasca Kemerdekaan
Periode pendudukan Jepang (1942-1945) menandai babak kelam sekaligus titik balik penting bagi perkembangan Kristen di Indonesia. Selama masa ini, gereja menghadapi berbagai tekanan dan pembatasan. Kebijakan represif pemerintah militer Jepang, yang dilandasi kecurigaan terhadap afiliasi Barat, telah menciptakan apa yang dapat disebut sebagai “krisis institusional” dalam tubuh gereja.
Misionaris asing ditahan atau dipaksa meninggalkan Indonesia, aset-aset gereja disita, dan kegiatan keagamaan dibatasi ketat. Eksekusi Mgr. Aerts beserta tujuh imam di Langgur menjadi manifestasi ekstrem dari politik kecurigaan ini.
Tetapi, situasi ini justru malah memperkuat kemandirian gereja-gereja lokal. Praktik-praktik keagamaan underground pun muncul sebagai respons dan perlawanan terhadap kebijakan Jepang, tulis Simon Tjahjadi dalam Surviving The “Dai Nippon”: Gereja Katolik Indonesia Masa Pendudukan Jepang (1942-1945).

Pemimpin gereja pribumi, seperti Pendeta Wiranto Probowinoto di Jawa Tengah, dan Pendeta W.J. Rumambi di Sulawesi Utara, tampil sebagai tokoh-tokoh yang memertahankan eksistensi gereja di masa sulit ini. Mereka mengorganisir ibadah secara diam-diam, memberikan bantuan kepada jemaat yang kesulitan, dan mempertahankan administrasi gereja tetap berjalan meski dalam kondisi terbatas.
Transisi menuju kemerdekaan menandai pergeseran dalam posisi komunitas Kristen. Fase ini ditandai oleh dua proses: dekolonisasi institusional dan rekonstruksi identitas nasional. Gereja-gereja yang semula terafiliasi dengan struktur kolonial mengalami proses pengalihan wewenang dari misionaris Eropa kepada pendeta bumiputra.
Transformasi ini terlihat jelas dalam kasus Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB), yang sebelumnya dikenal sebagai Indische Kerk. Posisi kunci, yang semula didominasi pendeta Belanda, secara bertahap dialihkan kepada para pendeta pribumi seperti Pendeta A.Z.R. Wenas dan Pendeta W.J. Rumambi.
Sementara itu, perdebatan tentang dasar negara dan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta menghadirkan arena kontestasi baru. Komunitas Kristen harus menegosiasikan posisinya dalam lanskap politik yang didominasi tegangan antara kelompok nasionalis-sekuler dan Islamis.
Konsolidasi pascakemerdekaan ditandai oleh institusionalisasi gereja nasional melalui pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada 1950, yang kemudian bertransformasi menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Sejalan dengan masa konsolidasi tersebut, ekspansi pelayanan sosial melalui pendirian institusi pendidikan dan kesehatan menjadi strategi adaptif komunitas Kristen dalam ruang publik yang lebih luas.
Perkembangan yang sangat masif terlihat dari pertumbuhan jumlah jemaat. Dari sekitar 1,7 juta Protestan dan 600.000 Katolik pada tahun 1960, jumlah ini terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan gereja di berbagai daerah.
Dapat dikatakan, sejarah masuknya agama Kristen ke Nusantara mengungkap dinamika interaksi antara tradisi lokal dan pengaruh luar, dari komunitas Nestorian abad ke-7 hingga misi Portugis dan VOC yang membawa Katolik dan Protestan. Lebih jauh lagi, penyebaran agama ini tak lain dan tak bukan adalah sebuah proses adaptasi, konflik, dan negosiasi budaya yang berlangsung berabad-abad, menjadikan kekristenan sebagai bagian integral dari mosaik sejarah Indonesia.