Konflik global yang melanda Bumi menegaskan satu hal kepada kita: senjata yang digunakan oleh angkatan militer telah mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi persenjataan. Dalam invasi Rusia atas Ukrania, misalkan, Rusia meluncurkan 188 pesawat tanpa awak (drone) untuk menghancurkan infrastruktur Ukrania di daerah perkotaan (Christiatuti, 2024). Penggunaan pesawat tanpa awak menunjukkan bahwa teknologi di bidang persenjataan semakin mumpuni dan efektif dalam peperangan.
Pesawat tanpa awak tidak melibatkan manusia dalam proses pengendaliannya. Tanpa awak, setidak-tidaknya dapat meminimalkan jumlah korban jiwa, khususnya para pilot dan infanteri. Pasukan tidak perlu secara frontal menyerang daerah-daerah lawan, yang berujung kepada penekanan konsumsi atas alat-alat utilitas lain, seperti makanan, obat-obatan, dan amunisi.

Teknologi persenjataan yang melaju cepat sepanjang waktu, mendorong tumbuhnya harga persenjataan. Sebagai contoh, ketika operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), satu pucuk senjata dijual sekitar Rp30.000.000 hingga Rp40.000.000, atau sekitar US$1.800 hingga US$2.400 (Nainggolan, 2011).
Senjata tersebut dilengkap dengan berbagai fitur dan aksesoris, seperti cahaya laser, scope, peluncur granat, dan lainnya. Harganya terkadang lebih tinggi dibandingkan harga senjata utama. Contohnya, fitur advanced combat optical sight merk Trijicon dapat menyentuh harga US$3.392, atau sekitar Rp54.000.000 (Anonim, tt.).
Kisah harga persenjataan modern, jika kita mundur ke belakang, memiliki pola serupa dengan kisah persenjataan pada Abad Pertengahan. Meski kita sering membayangkan bahwa senjata pada masa tersebut lebih sederhana dibandingkan senjata modern masa kini, ia tidak jauh berbeda secara pola. Apa benar demikian?
Perjalanan Senjata hingga Abad Pertengahan
Pada awalnya, senjata merupakan peralatan yang digunakan manusia praaksara, yang bertujuan untuk berburu atau mengumpulkan makanan. Senjata pada masa itu menggunakan material yang sederhana, yakni kayu dan batu. Kedua material ini memberikan kontribusi signifikan dalam pembuatan senjata, seperti kapak genggam, kapak perimbas, tonbak berduri, dan berbagai persenjataan lainnya (Ben-Dor & Barkai, 2023).
Sekitar 500 SM, senjata mulai berkembang ssecara material, yakni dari batu dan kayu ke perunggu. Masa ini, yang dikenal sebagai Zaman Perundagian atau Zaman Perunggu, manusia mulai beralih menggunakan perunggu karena ia lebih tahan lama dan efektif dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Menurut Richard A. Gabriel dan Karen S. Metz (1992), masa ini menghasilkan produk berupa kapak, helm pelindung, baju zirah, dan busur komposit.

Persenjataan tersebut juga melahirkan berbagai taktik dan strategi militer yang inovatif, seperti formasi phalanx. Ia juga mendorong terjadinya peningkatan mobilitas, struktur pangkat, dan lainnya. Zaman Perundagian, bisa dikatakan, menjadi pionir senjata modern yang digunakan saat ini.
Senjata-senjata yang digunakan ini juga melahirkan berbagai taktik atau strategi militer yang inovatif, seperti formasi phalanx, peningkatan mobilitas, struktur pangkat, dan lain-lain. Dengan adanya zaman perundagian ini menjadi penggerak atau pionir senjata modern yang digunakan saat ini.
Memasuki masa keemasan peradaban Yunani Kuno dan Romawi di Eropa, senjata mulai berevolusi menjadi lebih efektif dalam peperangan. Ia mulai diproduksi dengan material yang lebih tajam, efisien, efektif, ringan, dan tahan lama dengan kondisi lingkungan.

Selain itu, produk persenjataan yang digunakan juga semakin bervariasi dan memiliki fungsi tertentu. Sebagai contoh, pasukan legiun Romawi memiliki baju zirah yang terbuat dari besi, digunakan untuk memiliki perlindungan. Mereka juga memiliki perisai untuk menghalau serangan jarak jauh dan dekat, tombak besi untuk melawan musuh, dan pisau belati untuk kebutuhan individual atau bela diri.
Menyentuh Abad Pertengahan, seiring dengan runtuhnya Kekaisaran Roma Barat, senjata yang digunakan mengikuti perkembangan dan menjadi semakin kompleks. Ini didorong oleh kelahiran kelas ksatria dan bangsawan, yang melahirkan peningkatan produksi senjata serta pengembangan taktik untuk infanteri, kavaleri, dan pemanah.
Pada abad ke-14 dan ke-15, bubuk mesiu membuat kelas sosial yang berlaku mulai tidak berlaku. Material ini menjadi pionir lahirnya produk senjata api, seperti arquebus, matchlock, dan meriam. Senjata tersebut mengubah dunia, seiring dengan geliat penjelajah Eropa menemukan Dunia Baru.
Tiga Divisi Senjata Abad Pertengahan
Senjata abad pertengahan dapat dibagi berdasarkan tiga divisi, yakni infanteri, kavaleri, dan penembak. Infanteri merupakan ratu dari segala perang, dan berperan sebagai garda depan atau pertarungan jarak dekat. Untuk itu, infanteri umumnya menggunakan pedang, tombak, perisak, baju zirah, dan berbagai senjata lainnya.
Menurut Kelly DeVries dan Robert D. Smith dalam buku Medieval Weapons: An Illustrated History of Their Impact (2007), pedang yang digunakan pada Abad Pertengahan Eropa umumnya memiliki ujung pedang bermata dua, meruncing, memiliki gagang dengan pelindung silang, dan menggunakan besi berkualitas tinggi.
Selain itu, tombak yang digunakan masih berbentuk daun pada bagian ujung tombak, dengan pegangan menggunakan material seperti kayu atau besi. Seiring berjalannya waktu, bentuk tombak yang digunakan mengalami modifikasi, utamanya untuk melawan pasukan kavaleri. Salah satu bentuk modifikasi yang terkenal adalah swiss halberd, yang berciri khas mempunyai kapak pada bagian bawah tombak dengan tombak pada bagian atas. Senjata tersebut digunakan pertama kali oleh Konfederasi Swiss Lama saat Pertempuran Morganten pada 1315 (Meier, 2007).

Terkait perisai, ia umumnya memiliki berbagai bentuk selama Abad Pertengahan. Material yang digunakan terdiri dari dua jenis, yakni kayu dan besi.
Perisai kayu mempunyai satu fungsi pertahanan yang unik, yaitu dapat membuat senjaata lawan, missal kapak atau pedang, tertancap di dalamnya. Akibatnya, lawan kesulitan untuk melepas senjatanya saat pertempuran. Perisai jenis ini sering digunakan oleh pasukan milisi (militia) atau pasukan Viking dalam pertempuran.
Dibandingkan perisai kayu, prisai besi menggunakan bahan besi atau baja. Kelebihannya adalah ia memberikan proteksi terhadap serangan senjata api masa itu. Karena berbahan besi atau baja, senjata lawan akan terpantul begitu saja, dan dapat digunakan kembali oleh mereka.

Selain infanteri, kavaleri merupakan pasukan berkuda, yang bertujuan menyerang musuh dengan bantuan kekuatan para kuda. Pada Abad Pertengahan, pasukan jenis ini sering digunakan oleh para ksatria atau raja saat melakukan ekspedisi atau pertempuran. Secara fungsi, kavaleri dapat dibagi menjad dia jenis, yakni kavaleri petarung jarak dekat (melee cavalry) dan kavaleri penyerbu (charging cavalry).
Kedua jenis kavaleri menggunakan senjata yang berbeda. Kavaleri petarung jarak dekat umumnya menggunakan pedang dan perisai, berguna untuk menyerang sekaligus menghalau serangan lawan. Di sisi lain, kavaleri penyerbu umumnya menggunakan tombak, yang dikenal sebagai jousting lance. Senjata ini berkarateristik mempunyai ujung lancip, dan umumnya memiliki pegangan terbuat dari kayu atau besi. Ujungnya terkadang berbentuk seperti tombak,trisula, atau terompet terbalik.
Kelas terakhir, penembak atau ranged army merupakan bagian dari formasi inti, yang berfungsi memberikan serangan jarak jauh. Mereka juga berfungsi sebagai support system bagi infanteri dan kavaleri. Umumnya mereka dibagi menjadi dua, yakni penembak infanteri dan penembak berkuda.
Senjata yang mereka gunakan bervariasi, tergantung kondisi yang ada. Mereka umumnya menggunakan busur (bow), busur silang (crossbow), atau senapan api.
Harga Sebuah Senjata: Perbandingan dengan Harga Sapi
Dibandingkan dengan era modern, senjata pada Abad Pertengahan memiliki harga yang relatif. Namun, satu hal, meski menggunakan material dan bentuk yang sederhana, harganya jjuga memiliki nilai yang mahal.
Mungkin Anda membayangkan, bagaimana bisa senjata pada Abad Pertengahan bisa bernilai mahal? Anda mesti mengingat, bahwa jika diukur berdasarkan inflasi ekonomi, senjata Abad Pertengahan tergolong mahal pada masa tersebut. Untuk memudahkan Anda untuk membayangkan hal ini, saya akan menggunakan perbandingan menggunakan harga seekor sapi pada 2024.

Melansir artikel yang diterbitkan Liputan6, harga seekor sapi super berkisar Rp70.000.000, atau US$4.343,02. Mengutip J. J. Juserand dalam buku English Wayfaring Life in the Middle Ages (XIVth Century), serta artikel Royal Mint Museum, setelah kemenangan William sang Penakluk dalam Pertempuran Hastings pada 1066, harga 1 pound (L) setara dengan 20 shillings (s), atau juga sekitar 240 pence (d). Seekor sapi pada 1285-1290 adalah 6 shilling. Dengan demikian, harga 1 shilling pada tahun tersebut kira-kira adalah Rp12.000.000, atau US$742,08.
Merujuk artikel What Would a Penny Buy You in Medievan England? yang diterbitkan oleh History Hit, senjata otentik abad pertengahan Inggris, busur panjang (longbow), berharga 12 pence atau sekitar Rp12.000.000. Harga tersebut belum termasuk mata panah, tarkas (quiver) dan proteksi ddiri seperti baju zirah berantai (sekitar 78 pence atau Rp7.800.000/US$482,33) atau kulit (seharga 60 pence atau Rp6.000.000 atau US$371,02).
Untuk kelas ksatria, senjata yang digunakan tentu akan lebih lengkap dan berat. Perlengkapan yang umum mereka gunakan adalah perang dan sarung pedang, pakaian lengkap dengan baju zirah, dan kuda.
Menurut A. V. B. Norman dan Don Pottinger dalam buku English Weapons and Warfare, 449-1660 (1985) dan Christopher Dyer dalam buku Standards of Living in the Later Middle Ages, untuk pedang berkualitas tinggi, harga satu pedang dengan sarung kulit sekitar 7 pence, atau Rp1.000.000 (US$61,76). Selain itu, harga baju zirah bertipe Milan 16 senilai 16 pound 6 shillings 8 pence, sekitar Rp3.920.000.000 (US$242.453,48). Ini tak termasuk kuda berkualitas tinggi, yang bisa berharga 10 pound, atau sekitar Rp2.400.000.000 (US$148.440,91).

Melihat perbandingan tersebut, dapat dikatakan bahwa harga persenjataan pada Abad Pertengahan juga sama mahalnya dengan harga senjata era modern. Tentu ini membuat kelas bangsawan dan ksatria rela merogoh dana besar untuk mendapatkan senjata kualitas terbaik. Hal tersebut, merujuk kondisi era modern, serupa dengan negara-negara dunia berlomba mendapatkan senjata terbaik untuk melindungi negaranya dengan harga yang luar biasa mahal.