Agama merupakan sebuah komunitas yang seringkali memiliki penganut sangat loyal, menjadikannya perhatian banyak pihak. Dalam konteks negara, agama memiliki berbagai fungsi, seperti menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah, lambang perdamaian, sumber nilai moral masyarakat, dan lainnya.
Namun, agama juga dapat menjadi ancaman bagi masyarakat dan negara jika ajaran atau pengikutnya menjadi fanatik buta, digunakan secara tidak bijaksana. Oleh karena itu, agama memainkan peran krusial sebagai inti atau elemen fundamental dalam sebuah agama.
Terkait penyalahgunaan agama, Prancis menjadi saksi bagaimana ia digunakan sebagai sarana untuk memertahankan kekuasaan. Sebagai negara dengan sistem monarki absolut pada masa silam, kerajaan sangat bergantung pada peran Gereja untuk memperkuat otoritasnya.
Mengacu pada tulisan The First Estate oleh Jennifer Llewellyn dan Steve Thompson, doktrin agama tidak hanya berfungsi sebagai panduan moral bagi masyarakat, tetapi juga digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan politik. Gereja mendukung konsep hak ilahi raja (divine right of kings), yang menyatakan bahwa kekuasaan raja berasal langsung dari Tuhan, menjadikan raja sebagai sosok yang tidak dapat digugat masyarakat.

Keistimewaan sosial gereja juga sangat mencolok. Secara kolektif, gereja memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan kerajaan. Dalam beberapa kasus, pendeta tingkat atas bahkan memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintah. Secara individu, mereka menikmati status sosial yang tinggi, seringkali setara dengan bangsawan.
Gereja tidak hanya memiliki keistimewaan dalam aspek sosial saja. Mengutip J. H. Shennan dalam buku France Before the Revolution, secara finansial gereja diberikan pembebasan dari pajak-pajak langsung utama, seperti taille (pajak yang harus dibayarkan oleh rakyat biasa).
Selain itu, gereja juga wewenang untuk memungut dime atau pajak persepuluhan dari penduduk, yaitu bagian dari pendapatan atau hasil bumi yang wajib diserahkan kepada gereja. Ini menciptakan ketimpangan sosial yang nyata, ketika rakyat dibebani pajak berat, sementara para pendeta tingkat atas hidup dalam kemewahan.
Penyelewenangan dan berbagai keistimewaan yang dinikmati gereja pada masa Ancien Régime di atas menjadi salah satu pemicu rakyat Prancis melakukan pemberontakan dan melancarkan revolusi. Revolusi tersebut melahirkan kebijakan de-kristen-isasi, yang bertujuan menghapus kekuasaan gereja, menggantikannya dengan kebijakan sekuler. Antara 1793 hingga 1794, pemerintah revolusioner berupaya merebut aset-aset gereja, menghentikan praktik keagamaan, dan menghapus agama dari kehidupan publik.

Sebelum Revolusi Prancis, gereja sering dianggap gagal merealisasikan kebaikan dan kekudusan yang diajarkan Injil. Namun, banyak imam dan biarawati tetap berdedikasi pada doa dan amal, mengorbankan hidup mereka demi iman.
Kehancuran besar terhadap kehidupan spiritual masyarakat Prancis pada masa itu masih terasa hingga sekarang. Kini, negara tersebut sangat tegas terhadap segala hal yang berhubungan dengan agama. Dari sebelumnya mereka tunduk pada gereja, de-kristen-isasi yang terjadi menjadi bentuk kekecewaan mendalam tyang diekspresikan rakyat Prancis terhadap gereja.
Kisah Prancis di atas, setidak-tidaknya dapat menjadi refleksi bagi kita selaku penganut agama Islam dari semua kalangan, baik masyarakat, ustaz, hingga ulama politik, untuk memenuhi amanah agama dengan sebaik-baiknya. Bukan tidak mungkin, Indonesia, sebagai negara yang religius, akan berubah menjadi negara sekler jika para pemuka agama tidak menjalankan nilai luhur agamanya.
Terlebih, melihat data di lapangan, pemuka agama di Indonesia masih terlibat dalam tindakan criminal. Berdasarkan data Komnas Perempuan pada periode 2015-2020, pondok pesantren menjadi tempat kedua terbanyak bagi terjadinya kekerasan seksual, dengan angka mencapai 19 persen.
Kekerasan seksual di tempat ini memiliki karakteristik khusus, missal melalui pemaksaan perkawinan yang dilakukan dengan memanipulasi santri. Manipulasi tersebut mencakup perkawinan bahwa perkawinan sudah terjadi, dengan berbagai alasan, seperti pemindahan ilmu, ancaman azab, tidak lulus, bahkan hilangnya hafalan.

Selain itu, di bidang ekonomi, segala sesuatu yang dibalut dengan label agama seringkali mengalami peningkatan nilai. Contohnya adalah bisnis air doa dan garam rukiah, yang biasanya dipasarkan dengan klaim tertentu tanpa dasar ilmiah. Produk-produk ini, ketika mendapatkan sentuhan agama, harganya bisa melonjak hingga 400% dari harga normal. Bisnis semacam ini sangat menguntungkan, terutama ketika target pasar sudah tersedia dengan mudah.
Tidak hanya di tingkat bawah, beberapa tindakan penggunaan agama di luar tujuan agama juga terjadi di tingkat pemerintahan. Berdasarkan data Pusat Edukasi Anti Korupsi, Kementerian Agama terlibat dalam sejumlah skandal, antara lain penyalahgunaan dana abadi umat dan penyelenggaraan haji. Selain itu, terdapat pula kasus korupsi dalam pengadaan Al-Qur’an dan laboratorium madrasah.
Situasi semacam ini berpotensi menimbulkan masalah besar, terutama karena Islam adalah agama dengan pengikut terbanyak di Indonesia. Jika keyakinan dan kesabaran para pemeluknya terus-menerus tergerus, bukan tidak mungkin mereka sendiri bisa mengembangkan rasa skeptis terhadap agamanya. Kondisi ini, tentu dapat mengancam keuntuhan dan keharmonisan bangsa kita.
Pada akhirnya, sejarah Revolusi Prancis memberikan pelajaran penting kepada kita, bahwa agama, ketika disalahgunakan, dapat menjadi pemicu ketidakadilan dan ketegangan sosial. Dengan tetap berupaya menjadikan agama sebagai pemantik harmoni dan kemajuan, umat Islam di Indonesia dapat tetap memastikan bahwa agama mampu menjadi kekuatna yang menyatukan dan membangun bangsa, alih-alih mendorong terpisahnya kehidupan agama dari kenegaraan.