Gen Z Indonesia Memilih Pemimpin Nihil Gagasan? Tanggapan atas Opini Indra Nanda Awalludin

Pemilu serentak 2024 telah berjalan dengan lancar. Masyarakat Indonesia sudah memilih calon pemimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan. Semua suara sudah direkapitulasi, yang dapat diakses melalui situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Meski telah berakhir, berita terkait dengan Pemilu 2024 belum sepenuhnya padam. Pemberitaan mengenai calon wakil presiden yang dianggap bermasalah, pelanggaran yang dilakukan Presiden, hingga adanya dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM), masih disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

Salah satu tulisan yang masih membahas isu Pemilu 2024 diterbitkan oleh situs Historical Meaning (HM). Tulisan tersebut, yang terbit dalam rubrik Opini HM, bertajuk Pemilu 2024 dan Virus FOMO Politik di Kalangan Gen Z. Tulisan yang ditulis oleh Indra Nanda Awalludin, salah satu penulis tetap HM, menarik untuk dibedah. Maka, melalui tulisan ini, izinkan saya untuk membedah tulisan tersebut.

Pada paragraf ketiga tulisan tersebut, Indra menulis seperti ini:

“[s]ayangnya, antusiasme [generasi Z] itu tidak dibarengi dengan sikap kritis. Rata-rata Gen Z memilih calon pemimpin yang dianggap relate dengan kehidupan mereka, meskipun gagasannya nol besar. Ada juga yang memilih karena sekadar ikut-ikutan. Mereka memilih kandidat mengikuti suara mayoritas, meski mereka tidak tahu apa visi misi kandidita yang mereka dukung.”

Untuk mengetahui kesalahan paragraf tersebut, kita perlu mengetahui propisisi di dalamnya. Menurut M. Rakhmat dalam buku Pengantar Logika Dasar, proposisi adalah suatu pernyataan yang dapat bernilai benar (B) atau salah (S). Simbol-simbol, seperti P dan Q, menunjukkan proposisi.  Dua atau lebih proposisi dapat digabungkan dengan menggunakan operator logika. Dengan menggunakan operator konjungsi (and), mengkombinasikan dua buah proposisi, akan diperoleh hasil benar jika kedua proposis bernilai benar, dan bernilah salah jika kedua proposis bernilai salah.

Baca Juga  Menggugat Pancasila sebagai Sebuah Ideologi

Terkait dengan paragraf yang saya kutip di atas, operator konjungsi yang muncul adalah sebagai berikut:

P:Rata-rata Gen Z memilih calon pemimpin yang dianggap relate dengan kehidupan mereka
Q:Meskipun gagasannya nol besar
P∧Q:Rata-rata Gen Z memilih calon pemimpin yang dianggap relate dengan kehidupan mereka, dan meskipun gagasannya nol besar (tidak punya gagasan)

Dari proposisi di atas, muncul pertanyaan, 1) apakah calon pemimpin yang dipilih Gen Z adalah mereka yang gagasannya nol besar (tidak punya gagasan)?; 2) ari banyaknya calon pemimpin yang dipilih Gen Z pada Pemilu 2024 (dari DPR, DPRD, DPD, dan presiden/wakil presiden); 3) apakah semua calon pemimpin tidak mempunyai gagasan?, dan; 4) apakah Gen Z memilih capres/cawapres yang tidak punya gagasan? Bagaimana cara membuktikan bahwa Gen Z memilih capres/cawapres yang tidak mempunyai gagasan?

Baliho kampanye Mia Andhara, yang tampil dengan cosplay March 7th, karakter dalam gim Honkai: Star Rail, courtesy of HoYoLab

Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentunya, kita tidak bisa melakukan generalisasi, mengatakan bahwa semua calon pemimpin yang berkontestasi pada Pemilu 2024 gagasannya nol besar. Melihat ketiga capres/cawapres yang bertarung, misakan, mereka memiliki gagasan yang jelas, yang dapat kita saksikan dalam lima ajang debat yang resmi diselenggarakan KPU.

Kalaupun ditemukan ada calon pemimpin yang gagasannya nol besar, alias tidak punya gagasan, Indra tidak menyebutkan nama secara spesifik, dan jika kata “calon pemimpin” kita beri generalisasi, maka proposis pada paragraf yang saya kutip bernilai salah (S), karena secara fakta, semua calon pemimpin yang bertarung dalam Pemilu 2024 mempunyai gagasan.

Kesalahan logika tersebut, mengutip Bo Bennet dalam buku Kitab Anti Bodoh : Terampil Berpikir Benar Terhindar Dari Cacat Logika & Sesat Pikir, dikenal sebagai “cacat logika begitu saja” (a dicto simpliciter ad dictum secundum quid). Cacat logika ini berarti bahwa Indra berusaha menerapkan aturan umum dalam segala keadaan, meski secara jelas, terdapat pengecualian bagi aturan tersebut.

Ardiansyah Komeng, lebih dikenal sebagai Komeng, berhasil memenangkan pemilu dengan mengandalkan foto tersebut, membuatnya viral dan meraup banyak suara, courtesy of ANTARA News Bangka Belitung

Kembali merujuk kepada paragraf ketiga tulisan Indra, yang menyatakan bahwa “rata-rata Gen Z memilih calon pemimpin yang dianggap relate dengan kehidupan mereka,” apa yang dimaksud dengan relate ini? Apakah mereka memilih karena calon pemimpin tersebut tampil sebagai sosok yang gemoy, memiliki badan atletis, artis yang terkenal, berparas seperti bintang K-Pop, atau karena mengikuti tren jejepangan?

Tidak ada survei yang menunjukkan berapa banyak Gen Z yang memilih pemimpin karena faktor relate tersebut. Alih-alih menyalahkan Gen Z, apakah generasi sebelumnya bisa lepas dari faktor relate di atas? Hal tersebut seharusnya tidak berlaku hanya bagi Gen Z saja, tetapi juga bagi generasi sebelumnya, yang juga melibatkan pilihan mereka berdasarkan faktor-faktor di atas, alias tidak sepenuhnya rasional.

Baca Juga  Mencari Pemimpin Indonesia Pro Pembangunan Mental-Spiritual

Mengutip survei yang dilakukan Litbang Kompas, sebanyak 27% Gen Z memilih pilihannya karena dipengaruhi oleh ayah mereka, dan 20% memilih karena pengaruh pilihan ibu mereka. Pengaruh pilihan dari sahabat, senior, hingga teman satu hobi, secara berturut-turut menyumbang angka sekitar 13%, 6%, dan 6%. Berikutnya, pilihan istri atau suami mempengaruhi Gen Z sebanyak 9%.

Prabowo dan Gibran dalam balutan “gemoy”. Menurut opini yang ditulis Indra Nanda Awalludin di Historical Meaning, ini menjadi salah satu alasan mengapa pasangan ini memenangkan pemilihan umum, karena berhasil tampil relate dengan Gen Z, courtesy of Harian Haluan

Bagi saya, opini yang disampaikan Indra mengenai FOMO politik Gen Z merupakan hal yang wajar, mengingat Pemilu 2024 merupakan pemilihan umum pertama bagi mereka. Tentu saja, mereka akan sangat aktif membicarakan urusan politik melalui internet, terutama media sosial, membuat mereka tidak kritis dalam menentukan pilihan. Tentu saja, kita perlu pertanyakan juga generasi yang lebih tua, apakah mereka juga lebih kritis dibandingkan Gen Z?

Lalu, apakah bisa semua orang benar-benar rasional dan kritis dalam memilih pemimpin mereka? Menjawab pertanyaan tersebut, saya dapat katakan bahwa hal tersebut sulit dilakukan, karena manusia rasionalitas manusia masih dibatasi (bounded rationality). Mengutip artikel Kompas, sebagian pemilih muda memilih pemimpin mereka dari tingkah polah para capres-cawapres, yang dapat merangkul mereka, atau yang memang dirasa memiliki integritas. Namun, pertimbangan tersebut, pada akhirnya, masih didorong oleh emosi. Ini berarti, proses pemilihan pemimpin yang dilakukan Gen Z masih melibatkan unsur emosi, selain rasonalitas.

Pada bagian akhir tulisan Indra tersebut, mengenai imbauan kepada Gen Z untuk mendalami latar belakang serta visi misi sang calon pemimpin, saya sependapat dengannya. Namun, imbauan tersebut seharusnya ditujukan tidak hanya kepada Gen Z, tetapi juga kepada seluruh generasi Indonesia yang terlibat, atau yang akan terlibat, dalam pemilihan umum dan proses perpolitikan di negara ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *