Beberapa hari yang lalu, ketika saya sedang menyaksikan selingan iklan di televisi, saya menonton iklan kampanye seorang capres-capres. Dalam iklan tersebut, tersemat pesan bahwa jika ia terpilih nanti, ia akan melanjutkan program-program baik yang telah dicanangkan (dan berhasil dilaksanakan) Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menonton iklan tersebut, selain mengingatkan saya bahwa masa kampanye telah dimulai, juga memantik pertanyaan dalam pikiran saya. Memasuki masa kampanye, masing-masing capres-cawapres tebar pesona, menyampaikan gagasan mereka mengenai pembangunan. Dengan sedikit pemanis di bibirnya, mereka berjanji bahwa pembangunan, baik yang bersifat perubahan maupun berkelanjutan, akan terlaksana jika mereka terpilih sebagai pemimpin.
Bagi calon pemimpin, kata “pembangunan” merupakan kata yang wajib disematkan dalam setiap pidato, obrolan, hingga omongan di depan publik. Kata ini, yang digemakan sejak paruh kedua 1960-an oleh kekuasaan Orde Baru, menjadi senjata untuk menciptakan rust en orde serta kesejahteraan masyarakat. Bahkan, dalam perumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), kata “pembangunan” selalu mendapatkan penekanan khusus.
Setidak-tidaknya, terutama dari tulisan masa Orde Baru yang pernah saya baca dan salin ke dalam bentuk digital, pembangunan pada masa Orde Baru dapat dibagi menjadi dua aspek.
Pertama, pembangunan fisik-material. Dalam pembangunan jenis ini, wujud pembangunan merupakan benda-benda fisik (jasmani) yang dapat disaksikan dan dinikmati oleh kelima indra. Beberapa contoh pembangunan jenis ini antara lain menciptakan kesejahteraan ekonomi melalui intensifikasi pertanian, pembangunan bangunan penunjang transportasi dan distribusi, serta pembangunan gedung-gedung serta pabrik-pabrik penunjang sosial-ekonomi masyarakat.
Kedua, pembangunan mental-spiritual. Pembangunan jenis ini, wujud pembangunan lebih diarahkan berwujud nonfisik (rohani), yang hanya dapat disaksikan oleh kalbu seseorang. Beberapa contoh yang bersifat mental-spiritual, antara lain pemberdayaan kerukunan beragama (yang diwujudkan oleh tri kerukunan umat beragama), mendorong pemberdayaan mentalitas Pancasila melalui P4 dan PMP, dll.
Kedua jenis pembangunan ini, yakni pembangunan fisik-material dan mental-spiritual, merupakan soko guru jalannya Orde Baru. Tanpanya, mungkin pemerintahan Orde Baru yang dinakhodai Suharto tidak akan dapat berlangsung demikian lama.
Lalu, bagaimana dengan pembangunan yang ditinggalkan pemimpin-pemimpin pasca-Suharto? Setidak-tidaknya, selama beberapa pemimpin, dari Habibie hingga Jokowi, pembangunan yang dibicarakan masih berupa pembangunan fisik-material semata. Pembangunan mental-spiritual, hampir-hampir, jarang sekali disentuh.
Penonjolan terhadap pembangunan fisik-material terlihat nyata ketika kita melihat 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Sebelum Jokowi memenangkan pilpres pertamanya pada 2014, suara yang digemakan buzzer politik Jokowi adalah berbagai wujud pembangunan fisik-mateiral. yang ditinggalkan Jokowi di Solo dan Jakarta. Buzz yang mereka hasilkan, hampir semua didominasi hasil-hasil pembangunan fisik-material, mengabaikan pembangunan mental-spiritual.
Mengenai pembangunan mental-spiritual, Jokowi pernah berkampanye mengenai Revolusi Mental. Program ini, yang kemudian dikomandoi oleh Puan Maharani, diharapkan dapat menciptakan manusia Indonesia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Output program ini, secara kasar, adalah menghasilkan manusia Indonesia yang merdeka.
Lalu, apa hasil 10 tahun Revolusi Mental Jokowi? Sebuah situs internet seharga 200 juta rupiah dan beberapa tulisan sporadis yang dihasilkan lembaga negara di internet. Alih-alih menghasilkan wujud nyata, ia hanya meninggalkan jejak-jejak penuh kekosongan pembangunan mental-spiritual selama Jokowi berkuasa. Bahkan, kata Revolusi Mental hanya menjadi pemanis bibir para politisi dan lembaga negara, yang diwujudkan dalam bahasa-bahasa penuh retorika.
Sebagai sebuah harapan, siapa pun calon pemimpin Indonesia, mereka perlu merumuskan kembali ide pembangunan yang ingin mereka ciptakan ketika mereka memimpin negara ini. Mereka tidak boleh hanya berbicara mengenai pembangunan fisik-material semata. Pembangunan mental-spiritual, yang bersifat lebih utama, perlu dirumuskan, jika para pemimpin bangsa benar-benar ingin menciptakan manusia Indonesia yang merdeka.
Pembangunan fisik-material sudah pasti akan dilakukan para pemimpin Indonesia masa depan, terlepas wujud seperti apa yang akan mereka lakukan. Tetapi, maukah mereka melirik pembangunan mental-spiritual yang masih terabaikan di pojok sepi?
*Tulisan pernah diterbitkan di NNC Hype dengan judul yang sama. Tautan
Nice response in return of this issue with real arguments and telling all concerning that.
I have read so many articles or reviews regarding the blogger lovers however this paragraph
is truly a nice article, keep it up.