Judul Buku | Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 |
Penulis | M. Adnan Amal |
Penerbit | Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2010 |
Halaman | xxi + 506 halaman |
Sebagai sebuah wilayah, provinsi Maluku Utara masih berupa terra incognita dalam sejarah Indonesia. Dalam enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia (1975), wilayah ini hanya muncul dalam sejarah Indonesia ketika berbicara mengenai Kepulauan Rempah. Selebihnya, wilayah ini menghilang dalam catatan sejarah.
Kondisi ini meresahkan batin M. Adnan Amal, putra asli Maluku. Melalui buku Kepulauan Rempah-rempah, ia mencurahkan keresahannya, menulis sejarah Maluku Utara sejak abad ke-13 sampai tahun 1950.
Kisah mengenai Maluku Utara (atau Maluku sebelum menjadi wilayah sendiri) dimulai dengan kemunculan empat kerajaan besar di wilayah tersebut, yakni Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan. Dikisahkan, hidup seorang lelaki bernama Jafar Sadek. Ia, yang berlayar dari Jawa, terpaksa berlabuh di Maluku karena mengalami kerusakan pada kapalnya.
Dari pernikahan antara Jafar Sadek dengan seorang putri dari kahyangan, lahirlah empat orang lelaki, yang kemudian menjadi cikal bakal empat kerajaan utama di Maluku Utara. Mereka adalah: 1) Said Muhammad Bakir, yang menjadi raja Bacan; 2) Said Ahmad Sani, menjadi raja Jailolo; 3) Said Muhammad Nukil, menjadi raja Tidore; dan 4) Said Muhammad Nurussafar, menjadi penguasa Ternate.
Keempat kerajaan tersebut hidup damai. Bahkan, pada abad ke-14, keempat kerajaan bertemu dan membuat persekutukan. Persekutukan tersebut dikenal sebagai “Persekutuan Moti” (Moti Verbond).
Meski bersatu, persatuan yang terjalin antara empat kerajaan awal ini tidak berlangsung lama. Ternate, yang memiliki ambisi memperluas wilayah dan pengaruhnya, menduduki kerajaan Jailolo. Kerajaan Jailolo, sebagai kerajaan tertua dari “empat saudara”, dirubah menjadi wilayah kecil yang ditaklukan Ternate. Ambisi Ternate tersebut juga membuat ia harus berselisih dengan Tidore dan Bacan.
Ketika Spanyol dan Portugis berkunjung ke Maluku Utara, mereka menemukan persaingan antara Ternate dan Tidore. Persaingan kedua kerajaan lokal tersebut bertemu dengan persaingan dua kerajaan Eropa untuk memperebutkan dan menguasai Kepulauan Rempah, berbuah persekutuan. Portugis bersama Ternate, sementara Tidore didukung oleh Spanyol. Perang di antara mereka tak dapat terelakkan.
Meski Ternate dan Tidore, yang masing-masing didukung Portugis dan Spanyol, menjalin hubungan politik dan ekonomi, konflik di antara mereka tidak lantas menghilang begitu saja. Perbedaan agama, yang menjadi perbedaan mendasar antara dua kerajaan lokal Maluku Utara dengan dua kerajaan yang berasal dari negeri Eropa yang jauh, membuat perselisihan di antara mereka berkecamuk. Terlebih, upaya Portugis dan Spanyol untuk mengkristenkan masyarakat kafir (heathen) dan penduduk Islam ditentang, baik oleh Ternate dan Tidore.
Perselisihan Portugis dan Spanyol di Maluku Utara pada abad ke-16, pada masa berikutnya digantikan dengan kekuasaan VOC. Pada bagian ini, Adnan Amal tidak banyak bercerita mengenai pemerintahan VOC (dan Belanda pada masa berikutnya) di wilayah ini. Ia hanya bercerita secara sekilas, terutama mengenai pemerintahan gubernur VOC di Maluku (sebelum pindah ke Batavia).
Alih-alih menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat Maluku Utara, mereka justru mengalami penderitaan ketika Belanda berkuasa. Berdasarkan data sekolah, fasilitas kesehatan, dan lainnya, Adnan Amal menarik kesimpulan bahwa masyarakat Maluku Utara masih jauh dari sejahtera. Kondisi mereka tidak banyak berubah dibandingkan ketika Purtogis dan Spanyol berkuasa.
Mengenai sejarah Maluku Utara pada paruh pertama abad ke-20, Adnan Amal tidak banyak bercerita. Dengan menarik hubungan antara peristiwa yang terjadi di Jawa ke Maluku Utara, dapat dikatakan bahwa kondisi Maluku Utara pada masa pergerakan nasional, masa Jepang dan revolusi, serta pada masa kekuasaan NIT, serupa dengan kondisi di Jawa. Terjadi suara-suara pergerakan ke arah kemunculan nasionalisme di Maluku Utara, tetapi, hanya dikisahkan sepintas lalu.
Hal tersebut menjadi kelemahan mendasar buku Kepulauan Rempah-rempah. Adnan Amal, dengan kondisi data yang lebih banyak berfokus pada masa Spanyol dan Portugis, kehilangan detail ketika harus bercerita periode setelahnya. Alih-alih memberikan informasi yang luas mengenai Maluku Utara, ia justru masih menempatkan wilayah ini dalam terra incognita.
Juga, sebagai sebauh kronik, buku Kepulauan Rempah-rempah lebih memfokuskan diri menyajikan sejarah Maluku Utara dalam ranah politik. Sejarah sosial, ekonomi, agama, dan lainnya, tidak mendapat tempat yang cukup. Mereka masih dibayangi sejarah mengenai perang, pemberontakan, perjanjian politik, dan hal-hal sejenis. Bagi pembaca yang berharap dapat mengetahui sejarah Maluku Utara dengan lebih komprehensif, buku ini mungkin akan mengecewakan mereka.
Kedua kondisi ini tidak bisa dihindari. Sebagai sebuah buku rintisan mengenai sejarah Maluku Utara, yang ditulis oleh orang asli Maluku, buku Kepulauan Rempah-rempah diharapkan dapat mendorong lebih banyak kajian mengenai wilayah ini. Sebagai buku rintisan, buku ini berhasil menyajikan kisah Maluku Utara secara ringkas dan mudah dicerna.
Sebagai buku sejarah, buku Kepulauan Rempah-rempah, buku awal yang mengkaji sejarah Maluku Utara secara luas, masih jauh dari selesai. Tetapi, sebagai buku rintisan, buku yang mendorong orang lain untuk melakukan kajian lebih mendalam atas Maluku Utara, buku ini berhasil menciptakan iklim penelitian bagi Maluku Utara.
Buku Kepulauan Rempah-rempah, seperti yang diharapkan oleh A. B. Lapian dalam kata pengantar, dapat mendorong munculnya “sebuah kisah yang komprehensif” mengenai Maluku Utara, wilayah, yang seperti wilayah lainnya di luar Jawa dalam historiografi Indonesia, masih berupa terra incognita.