Hari Ibu, yang diperingati setiap 22 Desember di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dengan penghormatan terhadap kaum ibu sebagai pelindung keluarga. Setiap tahun, peringatan Hari Ibu identik dengan pemberdayaan ibu sebagai pelopor wacana pembangunan bangsa dan pemberdayaan masyarakat.
Dewasa ini, posisi kaum ibu tak dapat dilepaskan dengan urusan domestik. Mereka disibukkan dengan urusan mengatur dan mengelola rumah tangga, sehingga berbagai kondisi sosial-ekonomi-politik yang terjadi di luar luput dari perhatian mereka. Kampanye yang dilakukan pemerintah, terutama sejak Orde Baru, membuat posisi mereka semakin terdomestifikasi, semakin “jinak”.
Kondisi ini membuat, sebagian besar kaum ibu Indonesia menghabiskan waktu mereka dengan urusan rumah tangga, terutama membahagiakan suami dan anak-anak. Luput dalam perhatian mereka, apakah bangsa telah memposisikan perempuan setara dengan laki-laki, apakah suara kaum perempuan sudah didengar negara, serta apakah hak hidup perempuan sudah dijamin negara.
Jika kita mundur jauh ke belakang, kaum ibu menjadi salah satu kelompok yang sangat aktif menyuarakan pendapat dan perhatian terhadap pembangunan dan pemberdayaan sesama kaum ibu. Melalui organisasi politik dan organisasi sosial, mereka mencurahkan pandangan mereka, berpendapat, dan berusaha meningkatkan posisi kaum ibu lainnya, yang tidak seberuntung mereka. Bahkan, sebagai wujud untuk mengupayakan hal tersebut, kaum ibu mengadakan kongres bertajuk Kongres Perempuan Indonesia pada 1928.
Pada dekade 1930-an, ketika depresi ekonomi melanda, kondisi kaum perempuan bumiputera di Hindia Belanda sangatlah buruk. Sebagaimana diungkapkan dalam beberapa tulisan dalam majalah Pedoman Isteri, mayoritas kaum perempuan bekerja sebagai buruh, menerima upah yang sangat memprihatinkan. Kerapkali, mereka mengalami kekerasan fisik. Sebagian lainnya terpaksa menjual diri dan anak-anak mereka, agar dapat bertahan hidup.
Di tengah kondisi yang serba sulit tersebut, kaum perempuan terdidik bumiputera tetap bersemangat memberdayakan sesama perempuan bumiputera. Melalui majalah Pedoman Isteri, mereka menyiarkan informasi, penerangan, dan petunjuk, mengenai bagaimana menjadi perempuan yang lebih terdidik dan cerdas. Diharapkan, kondisi sosial dan ekonomi perempuan bumiputera dapat terangkat menjadi lebih baik. Mereka mendapatkan pendidikan mengenai bagaimana menjadi ibu yang baik, menjadi perempuan terdidik, dan menjadi agen perubahan.
Melihat kondisi dewasa ini, kondisi perempuan Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi pada 1930-an. Buruh perempuan masih mendapatkan intimidasi dan kekerasan. Melansir data yang diterbitkan Komnas Perempuan, tercatat angka kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus sepanjang 2022.
Hal ini sangat memprihatinkan. Perempuan masih diperlakukan semena-mena seperti benda mati, bahkan di zaman yang menjunjung suara kesetaraan bagi perempuan.
Meski diharapkan sebagai agen perubahan, kaum perempuan masih belum mendapat tempat yang layak untuk memberdayakan sesama mereka. Masih ada kaum perempuan yang dicegah untuk menempuh pendidikan tinggi. Sebagai contoh, di tempat saya di Majalengka, sebagian kaum perempuan berpandangan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, karena “ujung-ujungnya kembali ke dapur.” Beberapa perempuan merasa cukup hanya dengan menjadi ibu rumah tangga, menjadi seorang ibu, menjadi seseorang yang hanya mengurus urusan rumah tangga, dan abai terhadap kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di sekitar mereka.
Kondisi ini membuat kaum ibu menjadi semakin pasif. Alih-alih menjadi agen perubahan, seperti yang dilakukan generasi sebelum mereka pada 1930-an, serta seperti yang diharapkan negara, mereka betah dengan hanya mengurusi diri mereka sendiri. Tidak ada inisiatif dari negara untuk memantik semangat kaum ibu ke arah tersebut. Domestifikasi kaum ibu yang dilakukan Orde Baru masih terasa hingga kini.
Peringatan Hari Ibu tidak hanya perlu menghormati kaum perempuan sebagai ibu, sebagai pemimpin bahtera rumah tangga bersama suami mereka. Hari Ibu seharusnya memantik semangat kaum ibu untuk bergerak memberdayakan sesama mereka. Tidak perlu melalui organisasi sosial maupun politik berskala nasional seperti pada masa Pergerakan Nasional. Pembedayaan dapat dilakukan dimulai dari tingkat terkecil, keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar.
Peringatan Hari Ibu, jika negara memberikan pemaknaan dengan benar dan berakar historis yang kuat, diharapkan dapat mengembalikan marwah kaum ibu, dan kaum perempuan pada umumnya, sebagai agen perubahan bangsa.