Seratus tahun lalu, para pekerja kereta api di Semarang yang tergabung dalam VSTP (Vereeniging van Spoorweg en Tram Personen) melakukan pemogokan secara serentak untuk menuntut adanya kenaikan upah untuk mereka. Kisah ini tidak banyak dikisahkan dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Jika dilihat secara historiografi, peristiwa ini tidak ditulis, baik dalam buku “Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita” karya Imam Subarkah ataupun buku “Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014” tulisan Ibnu Murti Hariyadi.
Diduga, unsur komunisme yang memotori pergerakan ini membuat kisah ini luput dalam perhatian sejarawan di Indonesia. Dalam historiografi kita, komunisme cenderung digeneralisasi sebagai gerakan yang melawan negara akibat peristiwa yang terjadi pada 1948 dan 1965. Akan tetapi, jika dilihat dalam konteks sejarah pergerakan nasional, pergerakan yang dimotori oleh komunisme justru menjadi sebuah gerakan yang cenderung menginginkan kemerdekaan untuk Indonesia. Bagaimana kisahnya?
Tuntut Kenaikan Upah dan Kesetaraan
Pemogokan ini dilakukan oleh anggota VSTP yang bekerja di NIS, SJS, dan SCS. Ketiga perusahaan kereta api yang cukup besar di wilayah Semarang. Pemogokan ini dilakukan oleh upah yang diberikan kepada para pekerja dari perusahaan-perusahaan tersebut dirasa terlalu kurang. Pada 1922, tuntutan kenaikan upah ini mulai muncul karena para pekerja merasa upah yang diberikan tidak seimbang dengan beban kerja mereka, yaitu 12 jam sehari.
Para pekerja yang melakukan protes kebanyakan berasal dari pekerja pelaksana seperti juru rem, pengatur wesel, juru api, dan kuli-kuli yang menjadi pelaksana di garda depan yang sebagian besar merupakan masyarakat Bumiputera. Selain karena kurangnya upah, pemogokan yang terjadi pada bulan Ramadhan ini juga disebabkan oleh diskriminasi yang diterima para pekerja Bumiputera yang merasa tidak memiliki hak yang sama dengan pekerja Eropa ataupun Indo lainnya sehingga mereka menuntut kesetaraan pada waktu itu (Ingleson 1981).
VSTP dan Sosialisme
Sebagai sebuah organisasi pekerja yang besar, VSTP tentunya tidak bisa terlepas dari pengaruh Sosialisme. Pada saat itu, paham sosialisme yang dipromosikan ISDV melalui Semaun memberikan “jalan” untuk melancarkan pemogokan besar-besaran ini. VSTP dan Sosialisme bak sebuah hal yang tidak bisa terpisahkan. Sebagai sebuah organisasi yang memberikan advokasi terhadap kesejahteraan pekerja, sosialisme sangat mudah diterima di dalam organisasi ini (McVey 1965). Pada bulan Mei 1923, Semaun akhirnya mendeklarasikan pemogokan para pekerja yang bergabung pada VSTP tersebut. Para pekerja perkeretaapian di tiga perusahaan, NIS, SCS, dan SJS secara serentak melakukan permogokan di beberapa tempat, utamanya di Semarang (Bataviaasch Nieuwsblad, 7 Mei 1923).
Pemogokan ini merugikan tiga perusahaan tersebut selama beberapa hari. Akan tetapi, pemogokan ini tidak berjalan lama, karena semangat para pekerja yang semakin luntur dan lebih memilih untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing karena merasa pemogokan ini tidak memberikan dampak dan penyelesaian yang jelas terhadap nasib mereka. Semaun kemudian dibuang ke Boven Digoel pada bulan Agustus 1923 atas tindakannya yang mengacaukan ekonomi dan usahanya dalam melawan pemerintah melalui paham Sosialisme (Soerabaiasch Handelsblad, 8 Agustus 1923).
Pada dasarnya, pemogokan ini merupakan aksi nyata dalam perlawanan terhadap kapitalisme secara khusus, dan kolonialisme secara umum. Sayangnya, pemogokan tersebut tidak diceritakan dalam historiografi perkeretaapian karena dianggap terlalu “kiri” sehingga peristiwa ini seperti tidak pernah terjadi, yang terjadi di zaman kolonial hanyalah pembangunan masif jaringan kereta api di Jawa dan Sumatera dengan narasi yang mengagungkan kolonial seakan-akan kolonial saja-lah yang paling berjasa dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Absennya Gerakan Kiri dalam Historiografi Indonesia
Sejarah pergerakan kaum kiri dalam historiografi Indonesia cenderung sedikit dikisahkan. Dalam historiografi Indonesia, gerakan kiri cenderung digambarkan sebagai sebuah gerakan “melawan negara” atau “gerakan yang jahat”. Pandangan post-factum ini tentunya tidak sepenuhnya benar.
Pergerakan kaum kiri pada masa kolonial terkenal progresif dan berani, karena pada waktu itu, mereka menjadi salah satu golongan radikal yang menginginkan kemerdekaan, secara terang-terangan menginginkan kemerdekaan Indonesia. Pergerakan kaum kiri di Indonesia cenderung tidak tertulis dalam beberapa karya penting, seperti dalam “Pengantar Sejarah Indonesia Baru” karangan Sartono, “Sejarah Nasional Indonesia” enam jilid, hingga “Indonesia dalam Arus Sejarah” yang disunting Taufik Abdullah.
Hilangnya kisah tentang pergerakan kiri di Indonesia ini cukup masuk akal, karena sampai saat ini, pergerakan kiri dianggap sebagai gerakan terlarang oleh pemerintah kita. Apalagi kedua buku pertama yang disebutkan di atas merupakan buku yang terbit pertama kali pada masa Orde Baru, dengan pandangan sejarah pergerakan kiri digeneralisasi sebagai gerakan yang jahat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah.
Walaupun dianggap sebagai pergerakan yang terlarang di dalam historiografi Indonesia, pergerakan kaum kiri memiliki peran penting, terutama mengenai pergerakan mereka pada masa kolonial yang menuntut kemerdekaan dengan cara mereka sendiri. Diakui atau tidak, pergerakan golongan kiri juga menjadi fakta dalam sejarah Pergerakan Nasional di Indonesia, terlepas dari prasangka-prasangka yang melekat pada gerakan tersebut hingga masa kini.
Referensi
Buku dan Artikel
[1] Ibnu Murti Hariyadi. 2015. Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867 – 2014. Bandung: PT Kereta Api Indonesia.
[2] Ingleson, John. 1981. “‘Bound Hand and Foot’: Railway Workers and the 1923 Strike in Java” dalam Indonesia. No. 31.
[3] McVey, Ruth. T. 1965. The Rise of Indonesian Communism. Jakarta : Equinox Publisher.
[4] Sartono Kartodirdjo. 2018. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Yogyakarta : Ombak.
[5] Imam Subarkah. 1992. 125 Tahun Perkeretaapian Kita. Bandung: PT Kereta Api Indonesia.
Surat Kabar
[1] Bataviaasch Nieuwsblad, 7 Mei 1923
[2] Soerabaiasch Handelsblad, 8 Agustus 1923.