History is a bunk, dalam bahasa Indonesia dapat dimaknai sebagai “sejarah adalah omong kosong” merupakan ungkapan nyeleneh seorang Henry Ford, pendiri Ford Motor Company, dan dianggap sebagai orang yang menciptakan kelas menengah di Amerika Serikat. Kutipan tersebut tertuang dalam harian “Chicago Tribune” pada 1916. Ford menyatakan bahwa sejarah hanya sebuah tradisi, dan menyatakan bahwa dirinya ingin hidup pada masa kini. Baginya, sejarah hanya dapat dibuat pada masa sekarang.
Pernyataan Ford memicu reaksi berbagai kalangan. Sebagian kalangan memaknai pandangan Ford sebagai upaya untuk menghindari perdebatan. Sebagian lagi beranggapan bahwa ia mencoba mengajak masyarakat untuk fokus pada kehidupan masa kini dan tidak terjebak dalam belenggu masa lalu. Tetapi, tidak sedikit yang memandang pernyataan Ford sebagai sebuah sikap abai terhadap sejarah.
Tiga tahun kemudian, Ford menggugat Chicago Tribune dengan tuduhan pencemaran nama baik atas pemuatan kutipan “History is a Bunk”. Dalam proses persidangan, ia menampilkan berbagai argumen dan bantahan terhadap pernyataan yang diterbitkan harian tersebut. Ia mengakui bahwa sejarah lebih besar dari berbagai inovasi yang berkembang masa tersebut, awal abad ke-20. Alih-alih membersihkan namanya, pengakuan Fort tetap membuatnya dituduh sebagai seorang ikonoklastik yang meremehkan nilai penting sejarah.
Lantas, apakah sejarah masih relevan untuk dipelajari? Masih perlukah kita belajar sejarah? Menurut hemat saya, belajar sejarah merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia sepanjang zaman. Pada hakekatnya, sejarah tidak hanya mempelajari hal-hal yang ada pada masa lampau saja. Sejarah adalah sebuah proses memaknai masa lampau untuk kepentingan manusia pada masa kini dan masa mendatang.
Disayangkan, sebagian besar masyarakat kita masih melihat sejarah hanya sebagai masa lalu, bukan sebagai pemaknaan atas masa lalu. Kondisi ini membuat sejarah ditampilkan sebagai sarana untuk menikmati masa-masa romantis semata. Alih-alih belajar, masyarakat melihat sejarah hanya sebatas mengetahui kumpulan fakta yang berurutan.
Terakhir, bagaimana cara mengubah pola pikir masyarakat kita agar mempunyai pandangan yang benar terhadap sejarah? Juga, bagaimana merubah sistem pendidikan sejarah agar sesuai dengan peredaran zaman? Tentunya, hal tersebut tidak dapat diselesaikan satu pihak saja. Para pemangku jabatan, sejarawan, baik profesional maupun amatir, hingga penjaja konten sejarah di internet harus saling bekerja sama untuk menemukan solusinya.