Memahami Kebenaran Sejarah melalui Jalaluddin Rumi

Pertentangan selalu kita temukan setiap hari. Mulai dari pertentangan antara kelompok teis dengan kelompok ateis, pertentangan antara Saitama (karakter dalam anime “One Punch Man”) dan Goku (karakter dalam anime “Dragon Ball”), hingga pertentangan sesama anggota dalam satu wadah tertentu. Dalam pertentangan yang terjadi, masing-masng pihak menyatakan diri sebagai kelompok yang paling benar, atau setidak-tidaknya, mengusung kebenaran dengan taraf yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain.

Permasalahan di atas telah lama disinggung oleh Jalaluddin Rumi (1207–1273), seorang penyair, cendekiawan Muslim dan seorang Sufi yang hidup pada masa Kekaisaran Khwarezmia. Sebagai seorang pemikir, yang ia ungkapkan dalam bentuk syair, Rumi menyampaikan pesan kepada masyarakat, agar menghindari pertentangan yang hanya menekankan sifat-sifat ke-aku-an.

Kebenaran, sebagai dasar dari segala pertentangan, ibarat sebuah cermin, yang dipegang oleh Tuhan, yang telah pecah berkeping-keping. Setiap manusia memungut sebuah kepingan. Alih-alih berusaha menyatukan berbagai kepingan tersebut menjadi suatu cermin yang utuh, mereka memahami kepingan tersebut sebagai cermin dalam bentuk utuh, yang berujung pada pertentangan mengenai wujud utuh dari cermin tersebut dengan pemegang kepingan lain.

Terkait dengan masalah kesejarahan, analogi Rumi dapat dimaknai secara historiografis. Sering kali, masyarakat, terutama di Indonesia, dihadapkan dengan berbagai narasi sejarah yang menulis kebenaran mengikuti jiwa zaman penulis narasi tersebut. Kebenaran yang dinarasikan tersebut, tentu saja, aka bertentangan satu dengan lainnya. Alih-alih mencoba menyatukan berbagai kebenaran yang ada, masyarakat kita cenderung berpegang teguh dengan kebenaran yang mereka percayai, dan memandang bahwa kebenaran lain sebagai kebohongan sejarah.

Sebagai masyarakat yang ditekankan oleh cendekiawan untuk belajar dari pengalaman masa lalu, sudah seharusnya masyarakat Indonesia melihat kepingan-kepingan sejarah lainnya yang beredar. Hal ini, selain dapat membuka pemahaman masyarakat yang lebih terbuka terhadap sejarah, juga mampu melatih kemampuan berpikir kritis dan historis masyarakat, yang setidak-tidaknya akan melatih masyarakat untuk melihat sebuah fenomena dalam konteks ruang dan waktu.

Baca Juga  Apakah Benar Sejarah Ditulis oleh Pemenang?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *