Sejak awal 2024 lalu, dunia perfilman Indonesia diramaikan dengan perilisan berbagai judul film horor. Beberapa film horor tersebut menuai polemik, karena cenderung mengeksploitasi kebudayaan Jawa dan ajaran Islam. Dalam sebuah artikel berjudul Film Horor Indonesia Overdosis Eksploitasi Agama Islam dan Jawa untuk Menakut-nakuti semata Biar Laku, Arsyanisa Zelina menyebut bahwa kecenderungan tersebut menimbulkan stereotip negatif terhadap kebudayaan Jawa, serta menghilangkan kesakralan ajaran Islam.
Jika ditilik kembali, beberapa judul film horor Indonesia, seperti Waktu Maghrib, Makmum, Sewu Dino, Jailangkung, dan lainnya, memang mengadopsi kebudayaan Jawa atau ajaran Islam dalam latar ceritanya. Jujur saja, sebagai penonton film, saya jengah jika hendak menonton film-film tersebut di bioskop. Kebanyakan mereka hanya diproduksi dengan konsep yang hampir mirip.
Di tengah kontroversi tersebut, pada bulan Februari 2024 lalu, sebuah film horor besutan Korea Selatan rilis untuk pasar Indonesia. Film tersebut, yang berjudul Exhuma, langsung ramai dibicarakan warganet di media sosial. Dengan pemeran artis papan atas Korea Selatan, seperti Lee Doo-hyun dan Kim Go-eun, film tersebit semakin melejit namanya.
Film yang ramai dibicarakan warganet ini tidak hanya populer karena aktor atau aktris papan atas yang membintanginya. Ia juga populer karena alur cerita yang dikemas menarik dan menegangkan. Substansi kisah film ini memperlihatkan bagaimana sisi historis antara Korea Selatan dengan Jepang. Bagi saya, sisi yang lebih menarik dari film ini adalah bagaimana hubungan historis tersebut disimbolisasikan melalui satwa.
Sekilas tentang Alur Exhuma
Alur film Exhuma dibuka dengan keluarga Park Ji-yong (Kim Jae-cheol) yang tinggal di Los Angeles (LA), Amerika Serikat. Tinggal di tengah gemerlapnya kota LA tidak menjamin keluarga Park tidak akan terkena gangguan gaib. Anaknya yang baru lahir sampai ikut terkena gangguan makhluk tersebut. Khawatir akan keselamatan keluarganya, Park memanggil dua orang mudang (dukun) dari Korea Selatan bernama Bong-gil (Lee Do-hyun) dan Lee Hwa-rim (Kim Go-eun).
Kedua dukun tersebut meminta bantuan dari seorang ahli feng shui bernama Kim Sang-deok (Choi Min-sik) serta tukang gali kubur bernama Young-geun (Yoo Hae-jin). Usai diselidiki, penyebab gangguan makhluk halus berasal dari kuburan leluhur keluarga Park. Kuburan keluarga Park tidak ditempatkan secara layak, karena berada di bukit terpencil perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara. Akibatnya, leluhur Park marah karena tidak ada keturunan yang peduli dengannya.
Usai diskusi panjang, dilakukan ritual pemindahan kuburan, dengan tujuannya untuk mengusir gangguannya. Singkat cerita, gangguan tersebut dapat teratasi.
Apakah gangguan mereka sebatas itu saja? Ternyata tidak. Gangguan berikutnya lebih mengerikan. Kim Sang-deok, yang datang kembali ke kuburan tersebut, tidak sengaja menemukan sebuah peti kuburan baru yang diletakan secara vertikal di bawah kuburan leluhur Park. Peti itu kemudian dibawa dan disimpan di gudang seorang biksu. Ternyata, peti itu milik seorang jenderal Jepang abad ke-16.
Kenapa bisa ada peti kuburan yang diletakan secara vertikal? Karena di dalam tubuh jenderal Jepang tersebut, disimpan pasak besi oleh Gitsune, seorang biksu dari Jepang. Untuk meletakan pasak besi, memang harus ditempatkan secara vertikal. Tujuan Gitsune menyimpan pasak besi tersebut adalah untuk mengutuk Korea.
Singkat cerita, hantu jenderal Jepang tersebut berhasil dikalahkan Kim Sang-deok melalui ilmu feng shui yang ia miliki, dan pasak besinya berhasil dilenyapkan.
Bagai “Rubah Melukai Pinggang Harimau”
Dalam film tersebut, terdapat dialog menarik tatkala Park dirasuki oleh arwah leluhurnya. Ketika dalam kondisi tersebut, ia sempat mengucapkan dialog “rubah melukai pinggang harimau.”
Ucapan Park di atas, jika diinterpretasikan, memiliki keterkaitan dengan hubungan sejarah antara Korea dengan Jepang. Hubungan historis ini dapat ditarik hingga jauh menuju abad ke-16.
Cerita bermula dari keberhasilan seorang daimyo bernama Toyotomi Hideyoshi. Ia berhasil mempersatukan Jepang pada tahun 1590. Keberhasilan itu, menurut Stephen Turnbull dalam buku The Samurai Invasion of Korea 1592-98, mendorong Hideyoshi untuk melakukan ekspansi ke wilayah lain di luar Jepang, yakni Tiongkok.
Untuk sampai di Tiongkok, pasukan Jepang harus melewati kawasan Korea terlebih dahulu. Kawasan Korea dianggap sebagai batu loncatan Hideyoshi menuju Tiongkok. Oleh karenanya, Hideyoshi mengirimkan beberapa kali utusan ke Korea untuk menjalin kerja sama, serta mengizinkan tentaranya untuk melewati Korea.
Korea, yang ketika itu berada di bawah Dinasti Joseon, menolak tawaran Hideyoshi. Penolakan tersebut membuat Hideyoshi geram dan merencanakan untuk turut menyerang Korea. Akibatnya, pecah perang Korea-Jepang tahun 1592.
Perang ini berjalan sengit, hingga akhirnya Jepang kewalahan karena perang gerilya dan masifnya bantuan Tiongkok ke Korea. Perang ini sempat berhenti pada 1596, tetapi pecah kembali beberapa saat kemudian. Tahun 1598 menjadi akhir peperangan antara kedua wilayah, usai Hideyoshi meninggal dunia dan para petinggi Jepang membuat kesepakatan damai. Praktis, Jepang gagal dalam perang sepanjang tahun 1592–1598.
Kegagalan tersebut, jika dikaitkan dengan Exhuma, menjadi alasan Gitsune untuk menghukum jenderal Jepang yang dianggap gagal tersebut. Hukuman tersebut adalah dengan mengeksekusi jenderal tersebut, untuk kemudian menyimpan pasak besi di dalam tubuhnya. Tujuannya tidak hanya untuk menghukum sang jenderal, tapi juga sebagai kutukan kepada Korea. Agar kutukan tersebut tetap berjalan, Gitsune menyembunyikan pasak besi tersebut dengan menimbunnya menggunakan kuburan leluhur Park.
Leluhur Park sendiri merupakan kolaborator Jepang selama Perang Dunia II. Tidak mengherankan apabila dia cukup dekat dengan Gitsune. Selama Perang Dunia II, terdapat beberapa orang Korea yang pro dan menjadi kolaborator Jepang. Para kolaborator tersebut disebut dengan chilnipa—istilah olok-olokan yang diperkenalkan oleh Im Jong-guk dalam bukunya Chinilmunhangnon atau Comments on Pro-Japanese Literature (1966).
Terkait chilnipa, menurut Song Yeun-jee dalam artikel berjudul Historicizing the Discourse on Pro-Japanese Collaborators in Contemporary Korean History from the Late 1970s to the Late 2000s, sempat menjadi isu yang ramai diperdebatkan publik Korea Selatan. Pasalnya, hal ini berkaitan dengan isu demokratisasi di Korea Selatan, serta wacana dekolonisasi yang belum sepenuhnya usai.
Ungkapan “rubah melukai pinggang harimau” bukan hanya memperlihatkan silang sengkarut hubungan Korea-Jepang. Hingga batas tertentu, ia juga menunjukan bagaimana orang Korea memaknai satwa dalam konteks peristiwa sejarah yang mereka alami.
Saat Satwa Memiliki Makna Simbolis
Dalam film Exhuma, rubah dan harimau merupakan hewan yang sering disebut. Hal ini tidak lepas dari pemaknaan orang Korea terhadap kedua satwa tersebut.
Keberadaan harimau di Korea sebetulnya sudah cukup lama ada. Banyaknya populasi harimau menjadikan hewan ini memiliki makna tersendiri. Namun, pemaknaan harimau di Korea sedikit ambigu.
Ambiguitas tersebut, menurut Joseph Seeley & Aaron Skabelund dalam Tigers–Real and Imagined–in Korea’s Physical and Cultural Landscape, disebabkan harimau dianggap sebagai utusan roh gunung (San-sin) yang mencegah kejahatan dan melindungi kebaikan. Di sisi lain, harimau juga digambarkan sebagai hewan yang buas. Bahkan, sempat muncul istilah hohwan (bencana harimau) untuk menyebut periode banyaknya serangan harimau kepada manusia.
Meski begitu, pada abad ke-20, harimau pernah menjadi simbol nasionalisme Korea melawan Jepang. Cerita bermula pada 1908, dua tahun sebelum Jepang menguasai Korea, ketika seorang pemuda Korea bernama Choe Nam-seon mempublikasikan artikelnya berjudul Ponggiri chiri kongbu (Studi geografi Ponggiri) di majalah Sonyŏn.
Dalam artikelnya, Nam-seon mengkritik ahli geografi Jepang bernama Kotō Bunjirō yang menggambarkan peta Korea seperti seekor kelinci. Menurut Hyosook Kim, dkk dalam A Genealogy of Tiger Nationalism in Korea: Post-colonial Discourse, Ch’oe Namsŏn and the Seoul Olympics, Nam-seon tidak setuju, karena penggambaran tersebut dianggap menyepelekan dan merendahkan Korea.
Nam-seon berpendapat jika peta Korea lebih cocok diilustrasikan seperti seekor harimau, dengan cakar yang terangkat dan tengah berlari. Gambaran Nam-seon tersebut menjadi bukti bahwa satwa dapat menggambarkan semangat nasionalisme Korea. Disayangkan, simbolisasi Nam-seon tidak terlalu populer, oleh karena sensor pemerintah Jepang yang begitu ketat serta tingkat melek huruf penduduk Korea yang masih minim.
Antara penggambaran harimau yang digambarkan oleh Nam-seon dengan posisi pasak besi dalam Exhuma, kiranya dapat kita pahami bahwa keberadaan pasak besi tersebut betul-betul menusuk pinggang harimau. Interpretasi saya mengenai keberadaan pasak besi yang ada di perbatasan Korea Selatan dan Utara, bukan hanya mengutuk Korea agar tidak tentram saja. Secara simbolis, ia juga turut menegaskan bahwa pasak besi tersebut untuk melemahkan kedigdayaan sang harimau yang menjadi simbol Korea.
Selain harimau, rubah merupakan hewan lain yang kerap disebut dan diidentikan dengan Gitsune. Bahkan, sejak awal film pun, hewan ini digambarkan sebagai pembawa kesialan, terutama ketika Kim Sang-deok menyebut jika “seekor rubah di makam adalah pertanda buruk.”
Kepercayaan mengenai rubah di Korea merupakan pengaruh Tiongkok. Dalam teks Tiongkok Shanhai jing, yang pertama kali menyebut mitologi rubah, disebutkan bahwa wujudnya berekor sembilan, memiliki umur panjang dan dapat mengubah wujudnya menjadi perempuan. Mitologi ini lalu menyebar ke Jepang (disebut kitsune), dan Korea (disebut gumiho). Dalam mitologi Tiongkok dan Jepang, rubah digambarkan sebagai sosok yang jahat, baik, atau netral.
Namun, dalam mitologi Korea, rubah memiliki penggambaran berbeda. Dalam masyarakat Korea, pemaknaan gumiho selalu diasosiasikan sebagai pembawa petaka, serta sosok yang jahat karena kerap memangsa manusia.
Penggambaran negatif dalam kepercayaan Korea, ditepis oleh Kiyoshi Nozaki, ahli cerita rakyat Jepang. Dalam bukunya berjudul Kitsune: Japan’s Fox of Mystery, Romance & Humor, Nozaki menyebut jika penggambaran gumiho yang buruk di Korea dikarenakan hanya mengadopsi sifat jeleknya saja.
Dalam film Exhuma, gambaran rubah yang licik dan jahat ditampilkan melalui sosok Gitsune. Nama Gitsune pun senada dengan kitsune dalam mitologi Jepang. Umur Gitsune sangatlah panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa Gitsune pada dasarnya merupakan seorang jelmaan siluman rubah dalam kepercayaan Korea.
Penggambaran kedua satwa yang berbeda tersebut dalam film Exhuma, menunjukan jika simbolisasi satwa tidak pernah lepas dari konteks kebudayaan dan dinamika historis yang berkelindan di dalamnya.
Simbolisasi satwa dan pesan historis di atas menunjukan bahwa film Exhuma bukan hanya sebatas membawa kesan horor saja. Film ini berhasil mengemas aspek horor, yang berangkat dari persoalan budaya dan sejarah masyarakat, yang direpresentasikan melalui simbolisasi satwa.
Film seperti ini, menurut saya, bisa dipelajari oleh para sineas film horor Indonesia. Film ini dapat menjadi contoh bahwa film horor tidak hanya sekadar memberi kesan horor atau mengeksploitasi ajaran agama dan budaya saja, tetapi juga menonjolkan sisi lain yang lebih substantif dan bermakna.