Ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi” sudah tidak asing di telinga kita. Menurut Chef Wira Hardiansyah, dilansir dari Kompas.com, makan nasi sudah menjadi budaya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Meski kita sudah makan gorengan jagung atau lainnya, kita tetap “[belum] kenyang juga.”
Posisi nasi dalam budaya gastronomi masyarakat Indonesia telah mendominasi. Ia mendorong tumbuhnya industri penanaman padi dan pengolahan beras di negeri ini. Namun, melasir pemberitaan Kompas.com, nasib para petani masih jauh dari kata sejahtera. Di tengah kenaikan harga beras, yang mendorong lonjakan harga barang, harga gabah yang mereka produksi tergolong rendah. Ini memaksa mereka untuk membeli beras dengan harga yang cukup tinggi.
Kesejahteraan petani yang kurang diperhatikan menyebabkan sektor pertanian menjadi kurang produktif. Imbasnya, pemerinah seringkali gagal untuk memenuhi permintaan pasar terhadap beras yang terus meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia sangat ketergantungan akan beras.
Ketergantungan masyarakat akan beras tak dapat dilepaskan dari pengaruh kebijakan pemerintah yang sentralistik dan obsesif terhadap beras. Mengutip Awan Stya Dewanta dkk. dalam artikel Kebijakan Pertanian dan Tanaman Pangan, orientasi kebijakan pangan pemerintah yang telalu mendewakan beras telah berlangsung sejak masa pemerintahan Orde Lama, melalui program swasembada pangan yang dicanangkan Menteri Persediaan Makanan Rakyat, Kasimo. Inti program tersebut adalah memperbanyak bibit unggul padi, serta membuka lahan pesawahan di Sumatra.
Bagi Presiden Soekarno, indikator kesejahteraan dan sewasembada pangan pada masa pemerintahannya adalah beras. Hal ini mendorong obsesi pemerintah terhadap beras. Bahkan, Presiden Soekarno memasukkan beras dalam komponen gaji pegawai negeri dan militer.
Pada 1964, Presiden Soekarno membuat kebijakan Panca Usaha Tani dan Sentra Padi, yakni penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah, pemilihan pupuk, pengendalian hama dan penyakit tanaman, dan pengairan/irigasi yang baik. Disayangkan, kebijakan tersebut tidak membuahkan hasil dalam menyelesaikan masalah pangan nasional.
Mengutip Ahmad Arif dalam buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan, pada periode 1960-an, Presiden soekarno mulai menyadari bahwa beras tidak bisa menjadi solusi tunggal urusan pangan. Ia pun mulai mengubah haluan kebijakannya dengan menjadikan jagung sebagai substitusi padi. Disayangkan, rencana tersebut tak dapat berlangsung, karena Soekarno lengser dari kursi kepresidenan.
Di bawah rezim Orde Baru, ambisi swasembada beras semakin agresif dan represif dilaksanakan pemerintah. Mengutip Wahyu Budi Nugroho dalam artikel Konstruksi Sosial Revolusi Hijau di Era Orde Baru, pada 1974, Presiden soeharto menggaungkan gerakan Revolusi Hijau. Melalui program Bimas (Bimbingan Massal), pemerintah mendorong kembali kebijakan Panca Usaha Tani masa Orde Lama, untuk menggunakan bibit unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, hingga pengairan. Tindakan represif pun gencar dilakukan terhadap petani yang menolak program ini, hingga mereka dicap melawan pembangunan nasional.
Meski dilaksanakan secara represif, gerakan Revolusi Hijau tetap tidak mampu menyelesaikan masalah pangan Indonesia. Ia hanya membawa Indonesia pada swasembada beras pada 1984, tetapi tak bertahan lama pada tahun-tahun berikutnya. Sementara itu, sebagai akibat gerakan ini, masyarakat semakin ketergantungan untuk mengosumsi beras. Merujuk data Badan Pusat Statistik (dilansir melalui situs Kementerian Pertanian Republik Indonesia), angka komsumsi beras nasional melonjak pesat, dari sekitar 53,5 persen pada 1954 meningkat menjadi 81,1 persen pada 1981.
Memasuki era Reformasi, lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan tak lekas memadamkan “pemujaan” pemerintah terhadap beras. Mengutip Szu Ping Chan dalam artikel Indonesia pernah tukar pesawat dengan beras ketan dan sejumlah contoh barter di berbagai negara, pada era kepemimpinan B.J. Habibie, pemerintah pernah melakukan barter pesawat buatan dalam negeri dengan beras dari Thailand. Kemudian, pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputri, impor beras selalu menjadi solusi tunggal atas segala permasalahan krisis pangan yang terjadi.
Terkini, pemerintahan Presiden Joko Widodo menggagas cetak sawah baru pada 2015. Melalui program lumbung pangan alias food estate, diharapkan produksi pangan, terutama beras, dapat menciptakan swasembada serta memenuhi kebutuhan dalam negeri. Melansir dari Buku Pintar Pengembangan Food Estate yang disusun Kementerian Pertanian, food estate adalah program usaha budidaya tanaman berskala luas dengan konsep pertanian modern, dijalankan oleh organisasi, dan dikelola dengan manajemen modern.
Kini, masyarakat Indonesia telah disuapi nasi dari bayi hingga mati. Nyaris tak ada ruang lagi bagi pangan lokal nonberas dalam budaya gastronomi di negeri ini. Kebijakan pangan yang sentralistik, homogen, dan obsesif terhadap beras tidak hanya melemahkan kedaulatan pangan nasional, tetapi juga menjadikan pangan lokal selain beras terancam punah.