Bali adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan keragaman budaya dan tradisi yang menarik hati para wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Salah satunya adalah tradisi balapan kerbau, atau sering disebut makepung.
Tradisi makepung telah ada sejak zaman dahulu, dan kini tetap dilestarikan. Tradisi yang merupakan bentuk rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas hasil panen yang melimpah ini telah menjadi salah satu ikon kebudayaan Bali.
Menurut Trisna Putri Kusumawati dalam artikel The Makepung Buffalo Racing Tradition , makepung berarti mengejar sampai garis finis. Lebih lanjut, ia merupakan sebuah atraksi balap kerbau yang umum dilaksanakan di kabupaten Jembrana, sekitar 2,5 jam dari Kota Denpasar. Tradisi ini umumnya dilakukan oleh para petani di wilayah tersebut pada musim panen.
Dua ekor kerbau dipecut, oleh seorang joki atau penunggang. Ia duduk di atas lampit. Kerbau-kerbau tersebut berlari secepat mungkin di atas lintasan, yang umumnya berlumpur, sehingga membuat para penonton antusias dan bersorak. Disertai dengan semangat para penunggang yang beradu kecepatan, membuat suasana kompetisi semakin memanas.
Pada pertengahan kompetisi makepung, terkadang terdapat beragam hambatan dan rintangan yang dialami joki dan hewan tunggangannya. Para joki harus mengantisipasi jika insiden terjadi saat berlaga. Kuncinya para penunggang dan kerbau-kerbau memiliki semangat yang tinggi.
Menurut Trisna Putri, sapi tidak diperbolehkan untuk diikutkan dalam tradisi makepung, karena sapi dianggap hewan suci oleh sebagian besar masyarakat Bali yang menganut agama Hindu. Sebagai gantinya, hanya kerbau yang diperbolehkan untuk ikut. Dalam tradisi Bali, kerbau digambarkan sebagai hewan yang cerdas dan berguna bagi para petani.
Merujuk artikel yang ditulis Trisna Putri Kusumawati, kerbau yang mengikuti kompetisi makepung akan mengenakan mahkota bernama rumbing. Selain rumbing, kerbau juga akan dihias dengan berbagai aksesoris warna-warni, seperti menggunakan kain dan dikalungi gerondongan (gongseng besar), sehingga apabila kerbau tersebut berjalan menarik lampit, akan terdengar suara layaknya alunan musik.
Para joki pun tak mau kalah dengan kerbau. Mereka ikut serta mengenakan busana tradisional Bali, layaknya prajurit Kerajaan Bali. Mereka akan mengenakan ikat kepala, destar batik, baju tangan panjang, memakai kain poleng (hitam-putih) serta selempod (selendang), bercelana panjang, sepatu, dan menyelipkan pedang di pinggang.
Tradisi makepung tidak hanya mengukur kecepatan antarpeternak kerbau. Ia juga mengukur tingkat kesabaran dan ketelitian dalam mempersiapkan mental para kerbau dan joki yang akan mengendalikannya. Kerbau yang mengikuti makepung, tentu saja, adalah kerbau yang sudah terlatih.
Jika salah satu kerbau dapat memenangkan perlombaan ini, ia akan menjadi suatu kebanggaan bagi pemiliknya. Selain piala, pemenang juga berhak mengantongi uang puluhan juta rupiah, dan harga jual kerbau pemenang akan melambung berlipat-lipat.
Oleh gubernur Bali, makepung dijadikan sebagai kompetisi, festival, sekaligus pelestarian budaya. Melalui makepung, Bali berhasil memperoleh tempat istimewa di dunia pariwisata, baik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.
Makepung tidak hanya menjadi salah satu budaya Bali yang kaya simbol warisan. Ia juga merupakan teladan bagi tradisi lokal yang tetap relevan dan eksis berkembang dalam era modern, sehingga makepung menjadi daya tarik tak tergantikan bagi siapa pun yang ingin merasakan keindahan dan keunikan budaya Bali.