Lebih Senyap dari Bisikan: Sebuah Potret Dinamika Menjadi Orang Tua

Judul BukuLebih Senyap dari Bisikan
PenulisAndina Dwifatma
PenerbitGramedia Pustaka Utama
Kota TerbitJakarta
Tahun Terbit2021
Halaman164 halaman
ISBN978-602-065-420-1

Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.

Orangtua ibarat sebuah pabrik. Anak adalah produk dari “pabrik” orangtua. Bayangkan, kalau sebuah pabrik memproduksi sebuah produk hanya karena fear of missing out atau FOMO,  akankah pabrik itu sudah menyiapkan segala yang dibutuhkan dengan sebaik-baiknya?

Itulah perumpamaan yang bisa menggambarkan kepada kita bahwa menjadi orangtua itu tidak hanya diperlukan keinginan. Pasangan yang sudah menikah belum tentu harus memiliki anak dan menjadi orangtua. Kesiapan menikah dan kesiapan menjadi orang tua adalah dua hal yang berbeda.

Ingatlah, rumah tangga tidak akan selamanya bahagia. Akan ada masa pasang dan surutnya. Jika dalam kondisi surut, badai biasanya datang. Diperlukan kecakapan yang memadai dalam mengelola rumah tangga sebelum memutuskan untuk menjadi orang tua.

Ingatlah, anak tidak meminta dilahirkan. Anak tidak bisa memilih siapa orangtuanya. Begitu pula Yuki, anak dari pasangan Amara dan Baron, yang tidak bisa memilih dilahirkan dari orangtua siapa dan dalam kondisi seperti apa. Kisah Yuki tergambar dalam Lebih Senyap dari Bisikan tulisan Andina Dwifatma.

Lahir di Jakarta pada 1986, Andina Dwifatma, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan editor beberapa media daring, merupakan penulis Lebih Senyap dari Bisikan, telah melahirkan dua karya best seller. Buku debutnya berjudul Semusim, dan Semusim Lagi (Gramedia Pustaka Utama, 2013) telah memenangi Sayembara Mengarang Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2012, dan masuk dalam daftar buku terbaik pilihan Tempo pada 2014.

Selang setahun, Andina terpilih sebagai salah satu Emerging Writers dalam Ubud Writers and Readers Festival 2015. Andina telah aktif menulis sejak di bangku perkuliahan. Andina Dwifatma menulis aneka ragam jenis tulisan, mulai dari cerita pendek, esai, dan kolom di berbagai media serta blog pribadinya.

Lebih Senyap dari Bisikan merupakan kedua Andina. Buku ini menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Dalam buku ini, mata pembaca akan dibuka dengan suguhan cerita dramatis, sarkastis, realistis, dan ironis mengenai pahit manisnya kehidupan perempuan dalam rumah tangga serta dinamika menjadi orang tua.

Baca Juga  Kedatangan Penjelajah Eropa Memiliki Andil dalam Sejarah Perdagangan Indonesia

Diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, novel Lebih Senyap dari Bisikan merupakan kisah dalam dinamika rumah tangga pasangan Amara dan Baron. Kerumitan kisah mereka dimulai ketika Amara memutuskan menikah dengan Baron tanpa mengantongi restu ibu karena adanya perbedaan identitas.

Tahun demi tahun berlalu, hingga menginjak tahun pernikahan ke-8, memiliki anak hanya sekadar gagasan sambil lalu bagi keduanya. Pasangan Amara-Baron hanya hidup berdua dan sangat berkecukupan.

Namun, semakin tahun berganti, Amara mendapatkan lebih banyak undangan baby shower, ulang tahun, dan akikah. Keromantisan tidak lagi dirasakan pasangan Amara-Baron. Keduanya lebih sering menghabiskan waktu luang sendiri-sendiri. Rumah terasa semakin sepi.

Sampai suatu ketika, Amara bosan dengan pertanyaan mengapa belum punya anak, dan ia akhirnya memutuskan ingin memiliki anak. Amara mulai bertekad dengan mengikuti program hamil. Rutinitas yang dirasanya monoton, kini lebih bervariasi dengan segala macam usahanya untuk hamil.

Amara dan Baron mulai minum berbagai macam pil, vitamin, menjajal tusuk jarum, hingga bereksperimen dengan berbagai hal lain yang disarankan. Bahkan, Amara memutuskan untuk berhenti bekerja.

Usaha-usaha untuk hamil semakin ekstrem dilakukan oleh Amara. Peran Baron hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh istrinya tersebut. Amara mengikuti saran-saran dari sebuah forum daring ibu hamil. Amara mulai rajin menandai masa subur, mencatat berapa panjang siklus bulanan, berapa lama variasi jeda dari bulan ke bulan, membeli alat pendeteksi kesuburan yang menggunakan air liur.

Tahun kedua program hamil, Amara semakin stres dan tertekan karena belum kunjung hamil. Ia merasa menjadi perempuan yang gagal dan layak dihina, bukan malah lebih mendapatkan perhatian dari sekitar. Keduanya memutuskan untuk menjalani tes kesuburan. Begitu hasilnya keluar dan dinyatakan mereka sama-sama sehat, justru membuat Amara semakin bersedih.

Rumah tangga Amara dan Baron semakin hambar. Gairah Amara menurun, dan tidak lagi semangat untuk hamil, karena rasanya tawar dan percuma. Kerenggangan hubungan keduanya semakin terasa.

Amara terjebak dalam narasi peran utama perempuan yang sudah berumah tangga haruslah punya anak. Itu dilakukan untuk menggenapkan tugas tubuh perempuan yang dirancang melanjutkan kehidupan, agar ia tidak terus tersakiti dengan pertanyaan “kapan?” saat berkumpul di acara keluarga. Amara merasa inilah mengapa perjuangan untuk hamil sebagai saat-saat yang paling senyap dalam hidup, rasanya seolah sendirian mengejar ketidakpastian.

Baca Juga  Eksotisme Bali dalam “Kasta”

Memasuki tahun ketiga program hamil, Amara mulai pasrah menerima nasib. Di tahun inilah, ia mulai merasakan kopi rasa air selokan. Amara dan Baron memikirkan hal yang sama; Amara telah hamil. Namun, alih-alih bahagia, konflik mulai pecah antara mereka, karena pascamelahirkan, kehidupan rumah tangga Amara dan Baron terguncang.

Amara dihadapkan pada kenyataan rumah berantakan, jadwal tidur yang disela lengking tangis Yuki, nama anak Amara dan Baron, dihadapi oleh Amara sendirian. Baron hanya membantu sekadarnya.

Puncak konflik terjadi ketika Baron terkena sial karena salah perhitungan dalam hal finansial. Pasangan Amara dan Baron, yang semula sangat berkecukupan, mengalami kehidupan yang serba berbalik, menarik paksa keduanya untuk menghadapi realitas kehidupan yang serba sulit.

Baron berubah. Perannya dalam situasi tersebut seolah menjadi asing. Baron berubah menjadi seolah-olah ingin mengatur segalanya, menunjukkan kuasanya sebagai laki-laki yang bisa menyelesaikan masalah. Baron yang penyayang sudah tersingkirkan sejak ia ketiban sial. Sosoknya berubah jadi pecundang. Dibandingkan bertukar pikiran untuk bersama-sama menyelesaikan masalah, ia justru memilih berkelana, pergi dari rumah, meninggalkan Amara dan Yuki.

Baron seperti bapak-bapak pada umumnya, yang belum ada inisiatif. Ia baru bergerak hanya ketika disuruh. Amara tetaplah yang menjadi komando utama pengasuhan Yuki.

Memang, Baron bukanlah laki-laki abad pertengahan yang sama sekali tidak mau membantu urusan pengasuhan. Namun, apapun yang menyangkut Yuki, semisal tengah malam menangis untuk mengganti popok, selalu bertanya popok kain atau sekali pakai, dan lain-lain.

Baron adalah gambaran bapak-bapak yang umum di masyarakat kita, yang merasa bahwa istrinya, yang telah menjadi seorang ibu karena melahirkan anak, selalu mengetahui yang terbaik untuk sang anak. Mereka seolah-olah membebankan kuasa pengasuhan semata-mata hanya kepada seorang ibu. Namun, tidakkah terlintas dipikiran para bapak-bapak tersebut, bahwa ibu tidak selalu memahami dan memiliki insting yang cukup untuk tanggung jawab sebesar itu? Mungkin seorang istri juga masih meraba perannya menjadi ibu.

Amara adalah kita semua. Ia adalah gambaran perempuan yang harus selalu memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai ibu. Ia seolah dianggap sudah mahir menjadi ibu hanya karena ia telah melahirkan. Ia sangatlah rentan.

Sebagai seorang ibu baru, ia menjadi sosok yang seolah harus mengerti akan tanggung jawabnya dan terikat penuh waktu akan pengasuhan Yuki. Meskipun menghadapi masalah yang sama dengan Baron, Amara yang harus menganggung beban lebih berat akibat bencana finansial rumah tangganya.

Baca Juga  Bali dalam Memori Putu Setia

Baron bisa memutuskan untuk pergi tanpa memikirkan dirinya dan Yuki. Tetapi, Amara harus tetap menghadapi pahitnya realitas. Baron bisa jadi pengecut. Tetapi, ia harus jadi kuat untuk memutar otak demi bertahan hidup.

Amara seperti sudah ada di ujung tanduk. Ketika terjadinya konflik, tentu batinnya bergejolak. Ia tertekan dan mentalnya terguncang. Di tengah kecamuk yang harus dihadapi rumah tangganya, kepergian Baron yang mengesankan pecundang menambah beban berat untuknya. Kebutuhan hidup semakin banyak. Yuki perlu banyak hal untuk menunjang perkembangannya tetap sehat dan optimal. Belum lagi sulitnya mencari pekerjaan untuk perempuan 33 tahun yang sudah memiliki anak.

Masalah demi masalah harus dihadapi. Pertemanannya dengan Macan, sang tetangga di hunian baru membuatnya sedikit terbantu. Ia juga sudah mulai bekerja sebagai penulis konten meskipun gajinya tidak banyak.

Namun, kejadian yang menimpa Yuki membuat segalanya semakin runyam. Lebih Senyap dari Bisikan memberikan twist-twist yang membuat pembaca geleng-geleng kepala. Sebagai pembaca, kita disajikan dinamika rumah tangga, yang semula lurus mulus, lalu kusut masai hingga bantuan datang, menjadi tempat Amara dan Yuki berpulang.

Terdapat beberapa hal krusial yang dapat dipetik dari kisah pasangan Amara dan Baron. Pertama, memiliki anak bukanlah sekadar keinginan demi pencapaian yang harus ditanjaki. Sehingga, pertanyaan ‘kapan’ sudah seharusnya berhenti untuk ditanyakan. Kedua, peran dalam pengasuhan ada beragam, dan sebagai orangtua, kedua pihak perlu mengetahui tugas-tugasnya dengan baik. Ketiga, saat genting badai rumah tangga terjadi, sikap terbuka dengan satu sama lain perlu diberdayakan, sehingga tidak menjadi egois dan mementingkan diri sendiri.

Andina Dwifatma, melalui Lebih Senyap dari Bisikan memberikan kisah bittersweet menjadi seorang perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Novel ini adalah sebuah renungan, seperti kisah nyata dalam leburan fiksi. Ia layak dibaca oleh siapa pun, karena akan membuka mata pembaca akan realitas kehidupan rumah tangga.

Lebih Senyap dari Bisikan merupakan kisah yang diceritakan dalam sunyi senyap, lebih sunyi dari bisikan seorang perempuan yang harus tetap kuat sendirian. Kesenyapan yang menyiksa perlahan, karena alpanya peran suami dan bapak, pahitnya realitas hingga semuanya telanjur jatuh ke jurang, perlahan merangkak naik untuk menemukan cahayanya kembali dengan bantuan dari sosok penting yang sengaja dilupakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *