Saya telah membaca tulisan opini dari Indra Nanda Awalludin mengenai pemaknaan penjajahan. Dengan menjawab sebuah kalimat sederhana yang dilontarkan seseorang bahwa masa Jepang “lebih baik” daripada masa Belanda, Indra mengatakan bahwa semua penjajahan dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Masa Jepang dan masa Belanda sama saja, tidak ada baik-baiknya sama sekali. Yang ada adalah eksploitasi, kekejaman, dan proses penindasan. Jika mudah membayangkan, masyarakat Bumiputera di Indonesia dipecuti oleh Belanda dan Jepang.
Pertama, kita kupas sedikit mengenai pemaknaan definisi dari “penjajahan”. Saya melihat ia menggunakan definisi dari Wikipedia untuk memaknai kolonialisme. Definisi Wikipedia yang ia kutip tidak salah, tetapi meleset agak jauh dari sasaran.
Penjajahan, yang dalam bagian berikutnya akan saya ganti menjadi kolonialisme, merupakan sebuah proses replikasi birokrasi negara pengkoloni di tanah koloni mereka. Dominasi ekonomi, yang menjadi akar eksploitasi pengkoloni atas tanah dan masyarakat koloni, adalah satu aspek yang dapat terjadi. Meski, perlu digarisbawahi, bahwa aspek ini tidak melulu terjadi dalam sebuah negara koloni.
Proses kolonialisme di Indonesia juga menghasilkan eksploitasi ekonomi, terlebih dalam proyek besar seperti preangerstelsel, cultuurstelsel, hingga pembangunan bisnis perkebunan oleh Deli Maatschapij. Tetapi, kondisi ini tidak langsung mengarah ke suatu tahapan dominasi yang menyebabkan rakyat dipecuti. Meski, untuk contoh terakhir, muncul beberapa kisah kekerasan yang dialami pekerja, dan kisah mereka yang kabur dari perkebunan. Sebagai pengimbang, kisah mengenai para pekerja lepas yang sukses membangun kebun karet dan tembakau di Sumatra juga terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Kapan proses replikasi birokrasi Kerajaan Belanda terjadi di Indonesia? Menurut pembacaan saya, ia tidak terjadi ketika VOC datang. VOC, meskipun terlihat seperti negara dalam negara (state within a state), dan bertingkah laku seperti negara, kegiatan utama mereka di Indonesia masih sebatas membangun koloni. Replikasi birokrasi baru terjadi pada 1800-an, ketika VOC bubar dan koloni VOC diambil alih Kerajaan Belanda.
Lalu, apakah proses kolonisasi dan kolonialisasi ini hanya bisa kita lihat dengan pandangan negatif? Tidak selamanya!
Kedua proses tersebut, yakni kolonisasi dan kolonialisasi, juga memberikan berbagai hal yang bisa dikatakan baik bagi pembangunan sebuah negara setelah lepas dari kolonisasi. Dalam bidang bahasa, misalkan, Indonesia mengadopsi berbagai bahasa masyarakat yang pernah hidup dalam koloni Belanda dan Jepang di Indonesia. Dalam bidang arsitektur, masyarakat koloni di Indonesia mengembangkan sebuah gaya bangunan yang bersifat Indis. Dalam aspek sejarah dan literatur, para Indolog membangun sebuah paradigma yang membantu akademisi Indonesia berikutnya berkembang. Banyak contoh lain yang bisa saya utarakan, tetapi tiga ini sudah cukup bagi saya.
In the nutshell, penjajahan atau kolonisasi dan kolonialisasi tidak serta-merta berakhir sebagai sesuatu yang negatif. Ia merupakan sebuah tahapan kehidupan yang memungkinkan masyarakat, terutama rakyat koloni, untuk terus berkembang, tumbuh, dan memberdayakan pemikiran yang lebih objektif.
*Tulisan ini pernah diterbitkan dalam grup Facebook “SEJARAH INDONESIA DAN DUNIA (SID)” pada 22 September 2021. Diterbitkan kembali dengan sedikit penyesuaian.
Tautan tulisan