Judul buku | Chicago Whispers: A History of LGBT Chicago before Stonewall |
Penulis | St. Sukie de la Croix |
Penerbit | The University of Wisconsin Press |
Kota terbit | Wisconsin |
Tahun terbit | 2012 |
Halaman | 312 halaman |
Bagi orang Indonesia, LGBT merupakan musuh yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Mereka memandang bahwa “kaum pelangi”, nama yang disematkan kepada kelompok LGBT, merupakan simbol degenerasi, kemunduran akhlak dan mentalitas, serta penyakit yang melawan kodrat yang sudah dititahkan Tuhan. Pandangan ini menjadi legitimasi atas persekusi terhadap kelompok LGBT, baik yang dilakukan negara, aparat, maupun para pemegang kuasa.
Ketika kelompok LGBT di Indonesia menghadapi diskriminasi, hal berbeda justru dialami mereka yang tinggal di Amerika Serikat. Dewasa ini, kelompok LGBT di negara tersebut bergerak lebih leluasa; sebagian besar dari mereka telah memperoleh hak hidup yang jelas, terutama dalam dunia kerja dan hubungan relasi. Apakah kondisi tersebut diperoleh secara taken-for-granted? Atau, mereka mendapatkan kebebasan mereka berkat usaha dan perjuangan?
Kedua pertanyaan tersebut terjawab melalui buku Chicago Whispers: A History of LGBT Chicago before Stonewall. Buku ini, yang ditulis oleh St. Sukie de la Croix (nama lahir Darryl Michael Vincent), merupakan jawaban atas kegelisahan Croix yang gagal menemukan buku mengenai sejarah kelompok LGBT di Chicago. Dalam pengantarnya, ia mengatakan:
Saya masih ingat waktu ketika mengunjungi toko buku People Like Us—yang sekarang sudah tutup—dan bertanya, dengan sia-sia, mengenai buku yang membahas sejarah kelompok LGBT di Chicago. Well, buku ini, merupakan buku yang aku coba beli saat itu. Pada akhirnya, aku sendiri yang harus menulisnya.
Croix mengawali sejarah kelompok LGBT dari masa para penjelajah, ketika para pendatang meneliti beberapa kelompok masyarakat Indian (Native American) memiliki dua gender, laki-laki dan perempuan. Contoh yang disodorkan Croix adalah Hastiin Klah (1867-1937), anggota suku Navajo yang mengambil peran pengobat tradisional (medicine obat), pekerjaan kaum pria, dan penenun (weaver), yang identik dengan kaum wanita. Klah menjadi contoh bahwa lelaki feminim (effeminate male) telah ada di Amerika Serikat sejak lama.
Pada abad ke-19, homoseksual dipandang sebagai sebuah penyakit yang harus disembuhkan. Dalam bab The Chicago Doctors, Croix menunjukan bahwa seorang dokter, Denslow Lewis, menyatakan bahwa menaburi labia dengan kokain dapat menyembuhkan kaum lesbian. Dokter lainnya, G. Frank Lydston, mengungkapkan bahwa hubungan yang tidak harmonis antara anak dengan orangtua dapat membuat seseorang menjadi homoseksual.
Mendapat citra buruk, kaum homoseksual kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat kebanyakan. Wanita, yang didekte oleh masyarakat untuk menggunakan rok, akan dipanang aneh jika menggunakan celana panjang, pakaian yang identik dengan kaum laki-laki. Sementara laki-laki yang menggunakan pakaian feminim di ruang umum akan berurusan dengan polisi.
Menyiasati hal tersebut, kaum homoseksual Chicago memanfaatkan gay bar sebagai tempat untuk bersosialisasi dan mengenal satu sama lain. Dalam gay bar, lelaki feminim dan wanita maskulin dapat mengekspresikan diri dengan lebih leluasa. Meski begitu, mereka masih dihantui stigma masyarakat dan aparat, yang memandang mereka sebagai orang yang tak bermoral.
Memasuki abad ke-20, kehidupan kaum homoseksual menjadi sedikit lebih bebas. Gay bar, yang semula terbatas, kini menjamur di Chicago. Kondisi ini juga mendorong munculnya seniman-seniman homoseksual, yang menggunakan seni sebagai cara untuk menyuarakan diskriminasi terhadap kaum homoseksual di Amerika Serikat.
Meski begitu, pandangan miring terhadap mereka masih tetap hidup. Sebelum perang, kaum homoseksual Chicago dipandang sebagai kaum yang “melawan kodrat alam”. Aparat dan pejabat berusaha membersihkan mereka dengan melakukan penangkapan serta penggerebekan gay bar dan pemandian umum. Tak jarang, menurut Croix, polisi sengaja menjebak mereka dengan berbagai tipu muslihat, agar dapat ditangkap dan diperas.
Setelah perang dunia II berlalu, gerakan kampanye terhadap hak hidup kaum homoseksual tumbuh di Chicago, yang ditandai dengan kemunculan Mattachine Midwest. Mereka, secara aktif, menerbikan publikasi yang menyuarakan suara kebebasan dan pengakuan hak hidup atas kaum homoseksual. Pengakuan atas hak hidup menjadi sangat penting, karena banyak kaum homoseksual yang kesulitan berbaur dengan masyarakat serta mendapatkan pekerjaan karena orientasi seksual mereka.
Sebagai buku sejarah, Chicago Whispers minim kronologi. Buku ini dibagi berdasarkan tema, yang disusun dari masa penjelajahan hingga 1960-an. Baik pembaca awam maupun mereka yang memiliki pemahaman sejarah, termasuk saya, akan kesulitan menempatkan berbagai tema dalam buku ini secara kronologis.
Meski begitu, Croix, yang memiliki pengalaman menulis untuk berbagai media kelompok LGBT, menyajikan Chicago Whispers dengan bentuk yang sangat ringan. Kehidupan kelompok LGBT disusun secara tematik, dengan menekankan biografi singkat sosok sebagai tokoh penting dalam tema tersebut. Chicago Whispers, dapat dikatakan, merupakan kumpulan biografi pendek kaum homoseksual.
Bagi pembaca Indonesia, Chicago Whispers menegaskan bahwa perjuangan kelompok LGBT akan kesetaraan tidak lahir begitu saja. Ia lahir melalui proses sejarah yang panjang, penuh dengan diskriminasi, persekusi, dan penghinaan. Apa yang terjadi saat ini di Amerika Serikat merupakan hasil perjuangan yang melelahkan
Chicago Whispers dapat membantu masyarakat Indonesia untuk melihat kembali posisi mereka saat ini terhadap kelompok LGBT, bagaimana mereka menyembunyikan orientasi seksual mereka dan dipandang sebagai penjahat oleh negara dan aparat. Tentu sulit untuk menerima realita ini, mengingat bahwa pernyataan dukungan terhadap kelompok LGBT di Indonesia, baik secara langsung maupun secara daring, akan berbuah cibiran, penghinaan, hingga persekusi. Sebagai negara yang mengakui hak hidup masyarakatnya, pandangan miring yang selama ini muncul terhadap kelompok LGBT perlu dibedah kembali.