Agama dan Masa Depan Manusia

Homo Deus: A Brief History of Tomorrow adalah sebuah buku karya Yuval Noah Harari, dosen Departemen Ilmu Sejarah di The Hebrew University of Jerusalem. Terbit pada tahun 2015 dalam bahasa Ibrani dan tahun 2016 sampai 2017 terbit dalam bahasa Inggris.

Buku ini merupakan seri lanjutan dari buku Harari sebelumnya, yakni Sapiens: A Brief History of Humankind. Dalam buku Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, Profesor Harari mengeksplorasi tentang keadaan masa depan dan bagaimana kekuatan global, yakni seleksi alam, yang menjadi kekuatan utma dalam suatu evolusi utama digantikan oleh Intel[l]igent Design, berupa teknologi baru yang ada pada masa depan demi menciptakan manusia yang lebih unggul yang disebutnya Homo deus.

Yuval Noah Harari (lahir 1976), courtesy of The Times of Israel

Agama atau dalam bahasa Inggris religion merupakan sesuatu yang sering dianggap orang muncul dari peradaban yang ada di Timur Tengah. Akan tetapi, suatu agama baru mungkin tidak muncul dari tempat yang sama seperti agama-agama yang kita sudah kenal, seperti Islam, Kristen, Katolik, dan Yahudi. Agama baru ini kelak akan muncul dalam laboratorium riset, di mana para profesor atau ahli teknologi menciptakannya dan menamakannya Tekno-Religi (Techno-Religion).

Tekno-Religi tak terkait sama sekali dengan keilahian, tetapi dengan teknologi yang menjanjikan banyak hal; seperti kemakmuran, kesehatan, perdamaian, kebahagiaan, dan keabadian. Tekno-Religi ini terbagi dalam dua aspek fundamental, yakni Agama Data dan Tekno-Humanisme. Agama Data menyatakan bahwa manusia telah menyelesaikan tugas kosmis mereka, sekarang manusia harus meneruskan “obor” yang berisi tugas tersebut ke jenis entitas yang baru. Lain halnya dengan Tekno-Humanisme yang merupakan kredo yang lebih konservatif dan setuju bahwa Homo sapiens telah menjalankan sejarahnya karena telah melewati Revolusi Kognitif yang pertama pada 70.000 tahun silam.

Revolusi itu telah mengubah pola pikir Homo sapiens menjadi meningkat dengan memiliki akses ke dunia intersubyektif yang disebabkan oleh beberapa perubahan kecil dalam DNA serta penataan ulang otak Homo sapiens dan mengakibatkan manusia menjadi penguasa bumi ini, dan hal ini tidak akan lagi relevan untuk masa depan.

Manusia (Homo sapiens) awal, courtesy of Sci.News

Namun, pernyataan ini menghasilkan kesimpulan bahwa jika kita ingin menghasilkan Homo deus atau jenis manusia yang lebih unggul daripada Homo sapiens secara fisik dan mental, kita harus menggunakan teknologi untuk membuat beberapa perubahan tambahan dalam gen dan penataan ulang “kabel” otak manusia atau Homo sapiens guna menciptakan Revolusi Kognitif yang kedua, yang mungkin akan memberikan Homo deus gerbang guna memiliki akses ke alam baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya serta membuatkan mereka berbagai tuhan atau dewa atas galaksi.

Baca Juga  Sekali Lagi tentang Humaniora

Revolusi Kogniif yang kedua ini, sebagaimana telah disebutkan di atas, memiliki tujuan guna menciptakan Homo deus atau jenis manusia yang lebih unggul dibandingkan dengan Homo sapiens. Ide atas Revolusi kognitif kedua ini didasarkan pada sebuah varian baru atas mimpi lama humanisme evolusioner, yakni penciptaan manusia super. Praktik penciptaan manusia super ini sendiri pernah dilakukan Adolf Hitler, pemimpin partai Nazi Jerman, dan sejenisnya dengan pembiakan selektif serta pembersihan etnis dengan cara pembunuhan massal atau genosida.

Namun, cara itu dipandang tak manusiawi dan tidak damai. Oleh karena itu, Tekno-Humanisme pada abad ke-21 ini berharap untuk menciptakan Revolusi Kognitif kedua dengan cara yang lebih manusiawi dan lebih damai dengan bantuan teknologi, seperti rekayasa genetika, nano-teknologi, serta kepintaran buatan (artificial intel[l]igence).

Sejarah “Homo sapiens”

Harari mengungkap empat alasan yang menyebabkan Sapiens bisa bertahan dan menjadi kelompok manusia yang kita kenal hari ini. Pertama, Sapiens mengalami apa yang disebut revolusi kognitif sekitar 70.000 hingga 30.000 tahun silam. Dengan revolusi kognitif, Sapiens bisa berpikir dengan cara baru dan berkomunikasi dengan jenis bahasa yang benar-benar mutakhir. Kemampuan berbahasa Sapiens membuat mereka menjadi istimewa. Mereka mampu berkomunikasi, menyebarkan informasi kepada sesamanya, dan berkoordinasi.

Satu hal yang menarik dari revolusi kognitif adalah kemampuan berimajinasi Sapiens. Kemampuan menciptakan realitas yang dikhayalkan—seperti dewi-dewi, bangsa-bangsa, korporasi-korporasi—memungkinkan banyak orang yang tidak saling mengenal bekerja sama secara efektif.

Ilustrasi sekelompok Homo sapiens sedang berladang dan mengembalakan hewan ternak, courtesy of organisasi.co.id

Kedua, perubahan besar terjadi sekitar 10.000 tahun silam, ketika Sapiens mampu menciptakan revolusi pertanian, yang diawali dengan kemampuan mereka mendomestikasi hewan dan tumbuhan. Teori ini telah disampaikan para cendekiawan sebelumnya, yang paling terkenal Jared Diamond dengan karyanya Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. Evolusi secara bertahap menghasilkan manusia yang semakin cerdas—mampu memecahkan rahasia alam—sehingga memungkinkan untuk menjinakkan gandum kira-kira 9.000 sebelum Masehi (SM).

Setelah keberhasilan itu, manusia meninggalkan kehidupan pemburu-pengumpul yang berbahaya, keras, dan berat untuk menikmati kehidupan petani. Namun, Harari berpendapat bahwa revolusi pertanian (agrikulturalisme) adalah “penipuan terbesar dalam sejarah”. Revolusi pertanian, menurut dia, tidak membuat manusia menuju era kehidupan yang nyaman, malah menjerumuskan petani ke dalam kehidupan yang lebih berat dibanding kehidupan pemburu-pengumpul. Kehidupan pemburu-pengumpul menghabiskan waktu dengan cara beraneka ragam dan menggugah, serta menghadapi bahaya kelaparan dan penyakit yang lebih sedikit.

Foto bangsawan Bali bersama pengikut-pengikutnya yang setia, sebagai simbol elite yang dimanja dalam ide revolusi pertanian Harari, courtesy of kintamani.id

Sebaliknya, revolusi pertanian menciptakan makanan berlebih yang berdampak pada ledakan populasi dan adanya elite yang dimanja. Tatanan hierarkis menindas yang diciptakan revolusi pertanian, menciptakan sistem di mana petani bekerja lebih keras dan memperoleh makanan yang sangat buruk.

Baca Juga  Kebangkitan Peradaban, Memperkuat Optimisme Muslim Asia Tenggara

Ketiga, pemersatuan global umat manusia yang didorong oleh “tatanan-tatanan universal”. Menurut Harari, milenium pertama SM memperlihatkan kemunculan tiga tatanan berpotensi universal, yang para pengikutnya dapat membayangkan seluruh dunia dan umat manusia sebagai satu kesatuan dalam aturan perangkat hukum tunggal. Tatanan universal pertama bersifat ekonomi, yaitu tatanan moneter. Kedua bersifat politik, yakni tatanan imperium. Ketiga bersifat religius, yakni tatanan agama-agama. uang, imperium, dan agama universal menyebar ke seluruh dunia dan meletakkan dasar dunia bersatu masa kini.

Perubahan mendasar terjadi dalam sejarah umat manusia sekitar 500 tahun yang lalu. Saat itu, manusia melakukan lompatan besar yang bernama revolusi sains. Revolusi sains, menurut Harari, bukanlah “revolusi pengetahuan”, melainkan “revolusi ketidaktahuan”. Penemuan besar dari revolusi sains adalah manusia tak mengetahui jawaban-jawaban bagi pertanyaan terpenting mereka. Manusia sejak revolusi kognitif telah berusaha mengerti alam semesta. Mereka telah mencoba untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur alam.

Robert Boyle (1621-1697), sebagai produk hasil revolusi sains 500 tahun yang lalu

Akan tetapi, sains modern berbeda dengan semua tradisi pengetahuan sebelumnya, yang mencakup dalam tiga cara teramat penting, yakni kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan, sentralitas pengamatan dan matematika, serta penguasaan kekuatan baru, terutama kekuatan teknologi. Meski begitu, lagi-lagi Harari memberikan pandangan kritisnya terhadap perkembangan sains. Menurut dia, sains bukanlah usaha yang dilangsungkan secara lugu demi kepentingan ilmu pengetahuan semata. Namun, layaknya semua bagian lain dari kebudayaan manusia, sains dibentuk oleh kepentingan ekonomi, politik, dan agama.

Manusia, agama, dan Tuhan

Homo sapiens, manusia yang bijak adalah satu-satunya hewan yang bisa menciptakan mitos bersama, menciptakan sesuatu yang tidak ada di alam material dan hanya eksis di alam pikiran kolektif (Harari, 2017). Meski mitos itu berbentuk abstrak, dipercayai keberadaannya dan kenyataannya sebagaimana kita memercayai akan kenyataan bahwa matahari itu terbit dari timur.

Banyak mitos yang telah diciptakan oleh manusia, mulai dari hantu-hantu, partai politik, hingga perusahaan seperti Samsung, semuanya imateriil, tetapi mereka diperlakukan selayaknya manusia, memiliki nama, asal-usul, bahkan bisa dituntut ke pengadilan. Salah satu mitos yang sama tuanya dengan sejarah umat manusia adalah tentang suatu eksistensi yang mahakuasa serta dapat menciptakan segala sesuatu dan hidup di luar jangkauan dan realitas manusia.

Baca Juga  “Rethinking” Jabatan Wakil Kepala Daerah

Selanjutnya konsep suatu entitas yang mahakuasa dan dapat menciptakan segala sesuatu itu kita kenal sebagai sosok dengan sebutan Tuhan atau dewa dalam perbendaharaan kata manusia. Akan tetapi, dalam sejarahnya konsep tuhan itu tidak tunggal dalam wujud nyatanya banyak konsep tentang tuhan-tuhan yang bertebaran di muka bumi dan berbeda, konsep tuhan suku Aztec kemudian sangat berbeda dengan konsep tuhan yang disembah oleh umat Kristen.

Ilustrasi pengorbanan manusia yang biasa dilakukan suku Aztec sebagai persembahan kepada dewa-dewa yang melindungi mereka, courtesy of Minews

Manusia adalah satu-satunya “hewan” yang menyembah sesuatu, dia berbeda dengan hewan-hewan lain yang seperti singa, simpanse, ataupun gorila. Singa dan gorila selama hidupnya hanya terbatas pada aktivitas, seperti makan, tidur, dan kawin.

Sementara manusia melakukan suatu prosesi ritual yang disebut ibadah, seperti meratapi tembok sambil melafalkan puji-pujian, bersujud lima kali sehari secara teratur, atau memakan roti dan meminum anggur sambil berimajinasi tentang kisah penebusan dosa.

Hubungan manusia dengan Tuhan dimulai setidaknya ketika munculnya revlusi pertanian (agrikulturalisme). Setelah manusia berhenti berpindah-pindah sebagai pemburu-pengumpul dan mulai melakukan cocok tanam serta mendomestikasi hewan, maka interaksi manusia dengan alam semesta digantikan dengan interaksi antara manusia dengan tuhan. Tuhan memberikan hujan untuk menyuburkan lahan-lahan pertanian serta peternakan, manusia melakukan penyembahan dan pengorbanan kepada tuhan-tuhan mereka yang telah menyuburkan lahan pertanian. Selanjutnya hubungan manusia dan Tuhan yang sudah terjalin sejak lama itu kemudian terinstitusionalisasikan dalam sesuatu yang kita sebut sebagai agama.

Seorang pemuda yang mengajarkan anaknya untuk membaca Alquran, mengenal Allah lebih dekat, courtesy of Islami.co

Bagaimana manusia muncul di muka bumi, bagaimana manusia diciptakan, dan untuk tujuan apa manusia turun ke bumi? Pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan itu berusaha dijawab oleh agama melalui narasi transenden yang diberikan Tuhan melalui perantara nabi-nabi. Agama-agama pada sejarah permulaannya itu bersifat lokal, eksklusif dalam artian hanya terbatas pada masyarakat tertentu, sedangkan agama universal dan dakwah muncul sekitar milenium pertama sebelum Masehi. Setiap suku atau kebudayaan memiliki agamanya sendiri yang memberikan makna berbeda antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain.

Sumber:
Eko Wijayanto. “Agama dan Masa Depan Manusia” dalam Kompas. 14 Februari 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *