Naskah Lama : Dokumentasi Budaya Masa Lampau

Telah dikatakan oleh A. Ikram [Perlunya Memelihara Sastra Lama (1980/81)], bahwa suatu bukti Indonesia pernah jaya pada masa silam kecuali terlihat adanya peninggalan-peninggalan seperti candi, istana, mesjid atau bangunan lainnya, juga adanya peninggalan kebudayaan yang berbentuk tulisan.

Pada umumnya peninggalan kebudayaan yang berbentuk tulisan tadi ditulis dengan tanan. Hal ini dapat kita maklumi karena teknologi pada saat itu belum seperti sekarang, sehingga tak khayal bila sejumlah karangan-karangan mereka harus ditulisnya dengan tangan, bukannya dengan cetakan.

Nah, karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya itulah yang oleh Poerwadarminta [Darusuprapta, Naskah-naskah Nusantara: Berbagai Gagasan Penangananya (1984)] disebut dengan naskah.

Keadaan Naskah Lama

Negara Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dengan adat-istiadat dan bahasa yang berbeda, memiliki banyak naskah dari berbagai daerah seperti Bali, Bugis, Makasar, Sunda, Jawa Melayu, Aceh, Batak dan Minangkabau [A. Ikram, Perlunya Memelihara Sastra Lama (1980/81)].

Ilustrasi naskah lontar, courtesy of d3ilpusuns14.wordpress.com

Naskah-naskah tersebut, kecuali dapat kita lihat di Museum Nasional, tentunya dapat kita lihat pula di perpustakaan-perpustakaa atau tempat-tempat menyimpan naskah-naskah di daerah yang bersangkutan. Di Jawa misalnya, di kota-kota yang dianggap sebagai pusat kebudayaan seperti di Surakarta, dapat kita lihat di Perpustakaan Sasanapustaka Kraton Surakarta, Museum Radyapustaka, Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunagara, sedang di Yogyakarta dapat kita lihat di Perpustakaan Tepas Kapujanggan Widyabudaya Kasultanan Yogyakarta, dan Museum Sanabudaya [lihat Darusuprapta, Naskah-naskah Nusantara: Berbagai Gagasan Penanganannya (1984)]. Sementara di Bali dapat kita lihat di Gedong Kertya Singaraja, Museum Bali, Pustaka Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana [I Made Suastika, Beberapa Cara Dalam Menentukan Tahun Penulisan Karya Sastra Jawa Kuno (1981/82)].

Tentu saja kecuali naskah-naskah yang disimpan di perpustakaan-perpustakaan atau di tempat-tempat penyimpanan naskah lainnya, juga tidak sedikit naskah-naskah yang disimpan di rumah-rumah perseorangan, artinya naskah tersebut adalah milik pribadi seseorang.

Kecuali itu, naskah-naskah kita juga banyak yang tersimpan di luar negeri seperti antara lain di Amerika Serikat, Australia, Nederland [Darusuprapta, “Keadaan dan Jenis Naskah Jawa” (1985)].

Ilustrasi naskah lontar, courtesy of Merdeka

Permasalahannya sekarang adalah, mengapa naskah-naskah kita sampai ke luar negeri? Hal ini tentu saja ada yang melatarbelakangi ber-“imigrasi”-nya naskah-naskah kita. Latar belakangnya apa? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah relatif, sebab suatu naskah kadang-kadang mempunyai riwayat yang berbeda dengan naskah lain dalam ber-“imigrasi”.

Baca Juga  Dalang Sebagai Monoaktor

Di daerah tertentu, cara orang-orang membuat naskah mempunyai kebiasaan menggunakan bahan yang berbeda dengan daerah lain. Adapun bahan-bahan yang diperlukan dalam pebuatan naskah yang dapat kita ketahui adalah :

  1. kertas, dipergunakan pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan Jawa
  2. lontar, banyak dpakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali; dan
  3. kulit kayu dan rotan, biasanya dipergunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak. [Edwar Djamaris, “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi” (1977)].

Oleh karena naskah terbuat dari bahan yang mudah rusak atau rapuh, maka naskah jelas tidak akan mempunyai umur yang panjang bila tidak dirawat dengan baik.

Pada sisi lain, naskah lama biasanya mengugnakan bahasa dan huruf daerah sehingga tidak setiap orang mampu memahami isi yang terkandung di dalamnya.

Untuk itu, agar hal-hal seperti di atas tidak musnah begitu saja atau menjadi penghalang bagi generasi berikutnya dan atau bagi orang dari daerah lain karena tidak faham akan huruf dan bahasanya, maka perlulah kiranya adanya penanganan secara khusus. Perlu diingat, bahwa penanganan ini bukan hanya untuk itu saja, tetapi di balik itu yang penting bagi kita adalah bahwa isi dari naskah tersebut sangatlah besar faedahnya bagi kita, baik untuk membantu ilmu-ilmu sosial lain maupun untuk membantu membangun mental spiritual bagi bangsa kita.

Masalah penanganan ini dapat dilakukan dengan jalan :

  1. mengadakan penyelamatan;
  2. mengadakan pelestarian;
  3. mengadakan penelitian;
  4. pendayagunaan naskah; dan
  5. penyebarluasan [Keterangan lebih lanjut dapat dibaca dalam Darusuprapta, “Keadaan dan Jenis Naskah Jawa” (1985)].

Kandungan Naskah

Kita sebagai bangsa Indonesia boleh berbangga bahwasanya leluhur kita banyak meninggalkan naskah seperti yang dapat kita lihat di perpustakaan-perpustakaan atau tempat-tempat yang disediakan untuk menyimpan naskah, walau perlu disayangkan juga karena tidak sedikit naskah kita yang hilang tanpa bekas. Mengapa kita boleh berbangga? Karena di samping kita bangga mempunyai nenek moyang yang pandai, juga karena naskah-nakah itu sendiri banyak mengandung hal-hal yang dapat kita ambil manfaatnya pada jaman sekarang.

Baca Juga  Agama dan Konflik Sosial

Sebagai titik tolak, kita ambil contoh naskah-naskah Jawa. Berdasarkan kronologis pemakaian bahasa, pada umumnya naskah-naskah Jawa dapat dibedakan menjadi tiga, yakni yang menggunakan bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan dan Jawa Baru.

Bagi seorang ahli agama Hindu misalnya, jika ingin mengadakan peneltiian tentang etika menurut ajaran agama Hindu, ia dapat menggunakan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuna seperti Wrhaspatitattwa, Sarasamuccaya, Slokantara dan sebagainya [Lebih jauh baca I Gede Sura, Sumber Acuan Ajaran Agama Hindu (1990)]. Dengan demikian berarti naskah-naskah tersebut sangaltah besar faedahnya bagi kita.

Ilustrasi naskah Jawa tentang hubungan seksual, courtesy of Historia

Kemudian, jika kita membaca naskah Pararaton sebagai salah satu karya sastra berbahasa Jawa Tengahan, kecuali di dalamnya berisi kisah Ken Arok, juga berisi tentang Kerajaan Singasari yang disambung dengan berdirinya negara Majapahit. Walau di dalam naskah tersebut banyak terdapat mitos, namun naskah tersebut juga dapat dipergunakan sebagai bahan penelitian sejarah.

Naskah-naskah berbahasa Jawa Baru seperti Wulangreh dan Wedhatama sebagai sastra wulang, tidak sedikit faedahnya bagi pembangunan mental bagi generasi muda saat ini, karena di dalamnya banyak ajaran yang dituliskan oleh pengarang bagi kaum muda, bahkan termasuk juga kaum tua. Ini tidak berarti bahwa mental anak muda jaman sekarang rusak, tidak. Akan tetapi yang dimaksudkan disini adalah bahwa naskah-naskah tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk bagi kaum muda terhadap hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan hal-hal yang seharusnya ditinggalkan.

Itulah beberapa contoh yang dapat ditampilkan di sini. Naskah-naskah di atas hanyalah merupakan sebagian dari naskah-naskah Jawa baik yang berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan maupun Jawa Baru. Di samping naskah-naskah yang mengandung hal-hal seperti di atas, naskah-naskah Jawa masih banyak yang mengandung masalah lain seperti kesenian, adat-istiadat, hukum, obat-obatan, filsafat, dan sebagainya.

Dokumentasi Budaya

Melihat kenyataan di atas, kiranya tidaklah salah jika kita katakan bahwa naskah lama merupakan dokumentasi budaya masa lampau. Dokumentasi budaya yang diwariskan oleh nenek moyang kepada kita semua.

Baca Juga  Wajah Tuhan Dimata Penyair

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah : Mampukah kita mendayagunakan naskah-naskah yang ada untuk kepentingan pembangunan bangsa dan negara saat ini?

Di sini yang memegang peranan utama adalah ahli filologi. Namun sayang, seperti umum diakui, bahwa filologi di Indonesia masih sangat langka. Kapankah kita mempunyai tenaga ahli filologi yang cukup banyak? Entahlah! Namun yang jelas apabila dari alumnus-alumnus yang mengambil bidang keahlian filologi mau bekerja untuk menyebarluaskan naskah-naskah yang dapat didayagunakan untuk kepentingan pembangunan saat ini, penulis yakin hasil kerja para filolog tadi sangat berguna bagi ahli-ahli ilmu sosial lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penutup.
Dari uraian yang serba ringkas di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan sebagai berikut.

  1. Negara Indonesia mempunyai banyak naskah dari berbagai daerah yang kecuali disimpan di Museum Nasional, juga disimpan di perpustakaan-perpustakaan di daerah-daerah. Adapun bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat naskah adalah bahan yang mudah rusak atau rapuh sehingga perlu adanya penanganan.
  2. Naskah, suatu warisan kebudayaan dari nenek moyang kita, mengandung berbagai hal seperti agama, mitologi, sejarah sastra wulang, kesenian, adat-istiadat, hukum, obat-obatan, filsafat dan sebagainya yang kesemuanya itu kadang-kadang dapat kita manfaatkan untuk kepentingan pembangunan bangsa dan negara.
  3. Dari keterangan nomor 2 kita dapat mengatakan bahwa naskah merupakan dokumentasi budaya masa lampau. Oleh karena itu, apabila filolog mau menyebarluaskan, hasilnya tentu dapat dipergunakan sebagai umpan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi ahli-ahli ilmu sosial lain.

Sumber:
Mulyono. “Naskah Lama : Dokumentasi Budaya Masa Lampau” dalam Warta Hindu Dharma. Edisi 300. Mei 1992. hlm. 40-42. Diterbitkan dengan penyesuaian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *