Menyelami Kehidupan Soe Hok Gie, Intelektual Muda Indonesia

Judul BukuCatatan Seorang Demonstran
PenulisSoe Hok Gie
PenerbitLP3ES
Kota TerbitJakarta
Tahun Terbit2011
Halamanxxx + 385 halaman

Soe Hok Gie merupakan seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia. Ia tercatat kuliah di Fakultas Sastra—sekarang Fakultas Ilmu Budaya—Universitas Indonesia, jurusan ilmu sejarah. Tak heran, apabila di kemudian hari, ia menjadi sosok penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya mengenai pergerakan serta aksi-aksi mahasiswa dalam melawan tirani para penguasa yang bertindak sewenang-wenang.

Begitupun Soe Hok Gie, sebagai seorang mahasiswa sekaligus intelektual muda, ia pun turut dalam rangkaian aksi demonstrasi menurunkan kekuasaan Soekarno, yang saat itu dinilai sudah tidak kompeten lagi. Dalam salah satu catatannya tertanggal Minggu, 24 Februari 1963, Gie menuliskan “sebagai manusia saya kira senang pada Bung Karno, tetapi sebagai pemimpin tidak.”

Buku ini disematkan banyak kata pengantar. Salah satunya oleh dekan FSUI, Harsja W. Bachtiar. Ia mengatakan bahwa sosok Gie merupakan cendekiawan ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan yang terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannnya. Selain itu, berbagai tulisan milik Gie selalu menggugah hati para pembaca.

Catatan menarik lainnya mengenai Gie berasal dari kakak kandungnya, yang beberapa waktu lalu [23 April 2020], beliau pun turut mendampingi Gie di alam yang lebih tenang. Ia adalah Soe Hok Djin alias Arief Budiman. Arief mengakui bahwa ia sangat terlibat dalam kehidupan adiknya tersebut karena bagaimanapun juga, ia merupakan kakak kandungnya. Arief mengingat kata-kata Gie sebelum ia meninggal pada bulan Desember 1969 dengan getir, yaitu:

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenernya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.

Ketika Arief menjemput sosok Gie yang telah tak bernyawa karena “tercekik” oleh gas beracun kawah Mahameru, Arief merenungkan apakah hidup Gie sia-sia. Pertanyaan itu terjawab oleh seorang tukang peti mati serta pilot AURI yang mengenal sosok Soe Hok Gie sebagai seseorang yang berani membela nasib orang kecil.

Baca Juga  Kehidupan Politik Indonesia Modern Tak Lepas dari Akar-Akar Kekuasaan Tradisional

Secara garis besar, buku Catatan Seorang Demonstran dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu masa kecil Gie, masa remaja Gie, dan masa ketika ia menjadi seorang mahasiswa dan lulus dari FSUI.

Catatan-catatannya mulai ditulis semenjak ia duduk di bangku SMP. Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, yang menurutnya, saat perang tengah berkecamuk di Pasifik dalam bagian teater Perang Dunia II.

Dari catatan sejak masa kecilnya, kita dapat melihat kekritisan dan keberanian Gie dalam melawan berbagai bentuk ketidakadilan. Bahkan, ia sempat berdebat dengan guru sastranya. Dalam kritiknya tersebut, Gie menulis “guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” Dari sini, sudah terlihat bahwa Gie, di usia yang begitu muda, sudah mampu memberikan pandangan yang kritis ketika menghadapi suatu persoalan.

Di usia remaja, kekritisan Gie mulai terlihat semakin menonjol. Terlebih, ketika ia bertemu dengan seorang yang miskin kelaparan yang tengah memakan kulit mangga. Gie lalu memberikan uangnya, Rp 2,50, kepada orang tersebut. Yang membuat Gie geram, tepat 2,5 kilometer dari pemakan kulit mangga tersebut, terdapat istana tempat presiden tengah asik tertawa-tawa, makan dengan istri-istri cantiknya. Ia mengkritik ketidakadilan ini dengan menulis:

kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua…

Satu hal yang membuat saya kagum dan mulai menyadari situasi demokrasi tak seindah teorinya tatkala Gie menulis:

kita memuji demokrasi tetapi memotong lidah seseorang kalau berani menyatakan pendapat yang merugikan pemerintah.

Dalam catatan di usia remajanya, banyak sekali ia menulis berbagai macam puisi serta pergulatan intelektualnya, yang sebentar lagi akan menjadi seorang mahasiswa sekaligus seorang aktivis muda.

Ketika ia memasuki dunia perkuliahan, Gie, sebagai seorang idealis dan manusia merdeka, tidak mengikuti organisasi kampus manapun. Bahkan, ketika ia turun untuk berdemonstrasi, ia tidak tergabung dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Gie malah lebih tertarik untuk mendirikan organisasi Mapala UI, yang merupakan organisasi pencinta alam.

Secara cermat, kita dapat ikut terlarut dan membayangkan seperti apa situasi ketika demonstrasi tersebut berlangsung. Gie secara rinci menuliskan berbagai peristiwa tersebut. Sekalipun memang ada banyak kata-kata kasar dalam aksi demonstrasi tersebut, namun itulah sejarah bangsa kita yang tak perlu ditutup-tutupi. Bagi saya, seburuk apapun sejarah, meskipun dirahasiakan, suatu saat akan terbongkar juga. Seburuk apapun sejarah itu, ada banyak pelajaran yang dapat kita cermati, pahami, hayati, dan pelajari.

Baca Juga  Mengikuti Petualangan Evangeline dan Jacks Membuka Pelengkung Valory dalam The Ballad of Never After

Membicarakan catatan-catatannya ini, ada banyak hal yang terkait mengenai sosok Gie, mengingat ia sangat rajin mencatat hampir setiap hari kejadian apa saja yang menimpanya pada hari tersebut. Hal menarik dari Gie, disamping sebagai sosok intelektual muda, adalah kisah cintanya yang tragis. Ketika ia sangat kesulitan dalam mendapatkan seorang perempuan untuk dijadikan pacarnya, terkadang ia tidak diizinkan oleh orang tua dari perempuan yang ia dambakan, sekalipun orang tua dari perempuannya itu mengagumi Gie. Namun, ketika Gie ingin masuk dalam in group mereka, mereka menolaknya. Alasannya, diakui oleh Gie, ia tak ingin pacarnya tersebut ikut terlibat dalam kehidupan yang berbahaya.

Satu hal yang menyadarkan saya, ketika ia ditolak oleh perempuan, bahkan sering, ia tak pernah mengeluh atau patah semangat. Hal ini yang membuat saya terkagum-kagum dengan sosok Gie. Kalaupun patah hati, Gie lebih tertarik untuk menulis catatan atau hal lain yang lebih positif.

Gie pernah menulis kepada sosok perempuan yang ia cintai, Maria namanya. Ia menulis:

I feel very lonely after “emotional trouble with Maria”, sometimes I do feel that I want to put my hand in her shoulder, but I know these means something for her. So I try to be fair. I do not want to make any difficulties, but when somebody feels lonely he needs a girl whom be can love and beloved.

Menjelang kematiaannya, seperti yang sudah ia ramalkan, Gie selalu ingat dengan kematian. Tragisnya, ia harus meninggal satu hari sebelum ulang tahunnya, yaitu 17 Desember (Gie meninggal tanggal 16 Desember 1969). Meskipun ia mati muda, mungkin baginya itu merupakan suatu nasib terbaik, sebab dalam catatannya tanggal 22 Januari 1962 ia menulis “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”

Sebagai seorang idealis dan manusia merdeka, seperti yang telah dituliskan di atas, Gie merupakan sosok yang tidak tertarik kepada godaan kekuasaan. Ketika kawan-kawan seperjuangannya malah ikut duduk di kursi parlemen, Gie memberikan mereka hadiah berupa alat-alat kecantikan. Ia memberikan pesan kepada kawan-kawannya yang duduk di parlemen agar bisa tampil cantik di depan para penguasa.

Baca Juga  Menciptakan Masyarakat Madani yang Paham Konstitusi

Gie, bagi saya, merupakan representasi anak muda yang peduli terhadap nasib bangsanya, anak muda yang berani menyuarakan gagasan-gagasannya sekalipun konsekuensinya ia harus terlempar jauh dan dijauhi oleh kawan-kawannya. Sejarah telah mencatat nama Soe Hok Gie sebagai seorang “pahlawan”.

Gie, bagi saya, memberikan banyak pengaruh. Ia merupakan guru saya, sebab saya banyak belajar darinya. Saya tidak bermaksud mengagung-agungkan sosoknya. Meskipun ada beberapa hal yang tidak saya setujui darinya, bagaimanapun juga, Gie adalah sosok yang memberikan pengaruh besar dalam hidup saya.

Catatan Seorang Demonstran merupakan kekayaan intelektual, merupakan bacaan wajib bagi semua kalangan yang peduli kepada nasib bangsanya. Terlebih lagi, buku ini agaknya menjadi buku pegangan wajib bagi para mahasiswa dan remaja di abad ke-21 ini, karena dalam buku ini, banyak sekali tersimpan pelajaran-pelajaran berhaga yang diberikan oleh Soe Hok Gie kepada para penerusnya.

Kelebihan dari buku ini, yang membuat saya tidak bosan membacanya, yaitu ada pada kekuatan kata-kata Gie yang mampu menghipnotis para pembacanya. Ia berbicara sesuai realita, jujur, serta berani. Meskipun ia pernah diteror, dengan dikirim surat kaleng, ia tetap menyuarakan dan membela rakyat kecil.

Selain itu, catatan yang memuat secara rinci kondisi politik Indonesia tahun 1966, menjadi bahan rujukan utama untuk memahami dinamika perpolitikan di Indonesia. Periode tersebut menjadi periode transisi kekuasaan dari Soekarno menuju Soeharto.

Adapun, kekurangan dari buku ini, yaitu ada beberapa kalimat bahasa Inggris yang tidak disertai dengan terjemahan oleh penyuntingnya.. Selain itu, ada beberapa kata-kata kasar, yang mungkin bagi sebagian orang, akan kurang nyaman saat dibaca. Akan tetapi, ini tidak terlalu bermasalah, dan tidak mengurangi esensi dari buku ini. Bagaimanapun juga, buku ini merupakan salah satu magnum opus Soe Hok Gie.

Terakhir, untuk menutup resensi ini, saya kutip beberapa patah kata Soe Hok Gie yang menarik bagi saya, yaitu:

Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang kotor tapi indah. Mungkin karena itulah saya telah jatuh cinta dengan kehidupan. Dan saya akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan membius diri saya dalam segala-galanya. Semua dengan kesadaran. Setelah itu hati rasanya menjadi lega.

Soe Hok Gie (Jum’at, 20 Juni 1969)

*Tulisan ini pernah diterbitkan dalam grup Facebook Kelompok Diskusi Bulu Burung pada 2 Mei 2021. Diterbitkan kembali dengan penyuntingan seperlunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *