Judul Buku | Pandemi COVID-19 dan Dinamika Antropologi Multispesies di Kampung Laut |
Penulis | Prihandoko Sanjatmiko |
Penerbit | Nas Media Pustaka |
Kota Terbit | Makassar |
Tahun Terbit | 2020 |
Halaman | xi + 116 halaman |
ISBN | 9786236714065 |
Pandemi COVID-19 menimbulkan berbagai dampak, tidak hanya pada manusia, tetapi kepada seluruh ekosistem. Parahnya, pandemi hanya dimungkinkan dalam kondisi dunia yang sekarang, saat batas-batas antarmasyarakat sudah mulai melebur. Kaburnya batas-batas tersebut membuat COVID-19, sebagai penyakit yang penularannya amat bergantung pada interaksi antarmanusia, dapat dengan mudah menyebar.
Namun, penyebab pandemi sendiri terjadi karena interaksi antara manusia dengan ekosistemnya. Dalam kasus ini, melalui hewan penyebab COVID-19. Kedua poin ini membuat pandemi harus diperhatikan, tidak hanya sebagai gejala sosial atau gejala dalam relasi manusia, tetapi gejala dalam ekosistem (Wallace, 2020).
Prihandoko Sanjatmiko, seorang antropolog dari Universitas Indonesia, melihat pandemi COVID-19 menggunakan pendekatan etnografi multispesies. Sebagai cabang ilmu antropologi, etnografi multispesies memiliki kelebihan yang menghindarkan diri dari antroposentris.
Etnografi multispesies meleburkan batasan antara natur dan kultur. Manusia dilihat sebagai bagian dari ekosistem, yang tidak hanya mengubah ekosistem, tetapi juga turut diubah olehnya. Dalam kasus Kampung Laut, multispesies ini ditandai dengan relasi penduduk Kampung Laut dengan alam sekitarnya.
Batas lainnya yang turut ditembus dalam buku ini adalah batas antara global dan lokal. Dalam sebuah pandemi, globalisasi tidak hanya berarti sirkulasi manusia, tetapi juga virus. Sifat global dari pandemi ini akhirnya berbenturan dengan lokalitas masyarakat.
Mewabahnya pandemi juga menunjukkan bahwa lokalitas masyarakat perlu dipertanyakan, karena sebenarnya pandemi ini menunjukkan adanya penetrasi global terhadap lokalitas masyarakat. Masyarakat tidak bisa lagi disebut hanya dalam lokalitasnya, tetapi sebagai bagian dari masyarakat global. Sifat globalitas Kampung Laut ditandai dengan pekerja migran yang kembali ke Kampung Laut saat pandemi.
Relasi manusia dengan alam yang diamati dalam buku ini adalah relasi antara warga Kampung Laut dengan berbagai bentuk lingkungan alam di sekitar mereka. Pembagian berbagai relasi tersebut cenderung dilakukan berdasarkan pola penghidupan masyarakat Kampung Laut Segara Anakan. Walau hal ini tidak disebut secara eksplisit oleh Sanjatmiko, tetapi ia terlihat dari pembagian subbab yang membagi relasi manusia dengan alam menjadi relasi dalam bidang perikanan, pertanian, dan perkebunan, serta beragam mangrove yang dapat dilihat di Bagian III.
Pembagian tersebut berfungsi untuk memudahkan analisis mengenai relasi manusia dengan alam. Tiap pola penghidupan yang dikelompokkan tersebut memang merupakan pola penghidupan yang amat erat kaitannya dengan alam. Kontur alam dalam tiap bidang tersebut cenderung berbeda, dan ini juga menunjukkan keragaman dalam masyarakat Kampung Laut.
Sesuai dengan pandangan yang telah dikemukakan di awal, kontur alam yang berbeda tersebut, pada akhirnya, memengaruhi relasi manusia dengan alam. Manusia tidak lagi menjadi aktor tunggal yang mengubah alam, tetapi juga turut diubah oleh alam, termasuk pola penghidupan mereka.
Masalahnya, antropologi multispesies tidak hanya menekankan pada pengaruh alam pada manusia. Ini perlu dihindari, karena seperti yang dinyatakan Eduardo Kohn dalam How Forests Think: Toward an Anthropology Beyond the Human, antropologi yang melampaui manusia melihat manusia terpengaruh proses di luar konteks manusia tanpa terjebak pada determinisme lingkungan.
Persoalan lain yang timbul dari pengelompokkan relasi-relasi manusia dengan alam berdasarkan pola penghidupan masyarakat adalah kecenderungan pada antroposentris. Meski hasil analisisnya menunjukkan bahwa kontur alam yang berbeda amat berpengaruh pada masyarakat, namun pembagian yang dilakukan masih meletakkan manusia sebagai pusat.
Dalam anthropology of life yang diusungnya, Kohn memertanyakan keunggulan sistem simbolik manusia pada bentuk komunikasi nonverbal dalam relasi multispesies. Agensi dari spesies nonmanusia lain terhadap relasi antarmanusia bukannya tidak tercatat. Dalam analisis terhadap sabung ayam dan kegiatan petan (mencari kutu rambut), misalkan, ayam dan kutu menjadi agen yang membentuk relasi sosial antarmanusia. Tetapi, bentuk komunikasi nonverbal antarspesies tersebut masih belum terlihat.
Selain multispesies, pendekatan yang paling dominan adalah global-lokal yang ditandai dengan analisis tragedy of open society. Masyarakat terbuka yang dikonsepsikan oleh Karl Popper diadopsi untuk melihat masyarakat Kampung Laut, masyarakat pesisir yang jauh dari ibu kota, sebagai masyarakat yang terbuka.
Posisi geografis Segara Anakan tidak membuat masyarakat Kampung Laut menjadi masyarakat tertutup. Dalam konteks pandemi, kembalinya pekerja migran ke Kampung Laut menjadi fenomena yang paling menarik perhatian dan menunjukkan relasi Kampung Laut dengan dunia global yang terbuka.
Fenomena kembalinya pekerja migran ini sebenarnya menarik untuk diulas lebih dalam. Kasus ini tidak hanya terjadi di Kampung Laut. Di daerah lain, pekerja migran juga kembali datang ke kampung halaman mereka, yang terutama disebabkan menurunnya perekonomian di tempat mereka bekerja.. Dampak dari fenomena ini adalah timbulnya stigma pada pekerja migran sebagai “pembawa” virus.
Ketakutan pada pekerja migran yang baru datang juga timbul dalam masyarakat Kampung Laut. Namun, penduduk setempat menyebut penyebab ketakutan ini adalah ketidakpedulian pekerja migran.
Di sisi lain, wawancara dengan pekerja migran kurang menyoroti permasalahan ketidakpedulian tersebut. Wawancara dengan pekerja migran kurang menunjukkan bahwa mereka menyadari diri tidak peduli dengan protokol kesehatan, meski ada satu data dari wawancara terhadap Ki yang tidak memakai masker saat ke pasar.
Dalam buku ini, pekerja migran adalah bagian dari tragedy of open society. Namun, konsep masyarakat terbuka dari Popper tidak hanya menguraikan mengenai suatu masyarakat yang terbuka, tetapi juga interaksi terhadap kelompok-kelompok yang disebut sebagai musuh dari masyarakat terbuka.
Disayangkan, buku ini tidak menjelaskan kehadiran pekerja migran ini dalam kerangka pikir Open Society and Its Enemies. Sanjatmiko cenderung menghadirkan suatu konsep baru ketimbang menjawab persoalan dalam kerangka pikir yang diajukan Popper.
Padahal, Karl Popper, yang dalam buku tersebut, lebih berfokus pada toleransi. Ia juga menyatakan bahwa tindakan yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat terbuka pada musuh-musuhnya, dalam hal ini adalah kaum intoleran. Bagaimana posisi para pekerja migran dalam kerangka berpikir Popper ini? Pertanyaan tersebut belum dijawab dengan penuh oleh Sanjatmiko.
Menurut hemat saya, penggunaan konsep masyarakat terbuka dalam buku ini agak problematis, karena Popper cenderung berbicara dalam konteks yang jauh berbeda. Sanjatmiko tidak membicarakan konflik nilai antara pekerja migran dengan masyarakat setempat. Kondisi ini berada di luar skema pemikiran Popper.
Jadi, tragedy of open society seolah-olah membawa pengertian masyarakat terbuka yang jauh berbeda dengan yang dimaksudkan Popper. Hasil akhirnya, adalah kurang terlihatnya hubungan antara konsep masyarakat terbuka dengan tragedy of open society.
Masyarakat terbuka dalam buku ini cenderung diartikan harfiah, berbeda dari Popper yang mengartikan masyarakat terbuka sebagai terbuka dari segi etika, termasuk perbedaan nilai. Ini yang menyebabkan konsep masyarakat terbuka Karl Popper tidak dapat menjawab persoalan, karena permasalahan yang diajukan berada di tataran yang berbeda dari yang dijelaskan Popper.