Ivan Illich dan Kritiknya atas Kurikulum Merdeka

Ivan Illich

Menyebut kata merdeka, sejatinya sudah merupakan perwujudan sikap tidak merdeka selama masih hidup di dunia. Bagaimana tidak, untuk lepas atau tidak bergantung manusia saja, kita tidak bisa. Sebagai manusia, yang merupakan makhluk sosial, eksistensinya terbelenggu oleh sistem sosial yang kompleks.

Pierre Bourdieu, dalam buku Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, menyebut bahwa belenggu yang mengikat manusia berkaitan dengan dominasi habitus, modal sosial, budaya, serta kekerasan simbolik. Dominasi ini tertanam kuat dalam sistem budaya dan sosial yang halus sehingga mereka yang terbelenggu cenderung, atau bahkan tidak menyadari, jika mereka terbelenggu oleh dominasi tersebut. Dalam bahasa Bourdieu, hal tersebut seolah-olah nampak alamiah.

Ivan Illich (1926-2002), courtesy of Oktana

Karenanya, kurang tepat untuk menyatakan diri kita merdeka atas suatu hal. Selama masih terdapat konsep-konsep yang membelenggu diri kita, kita belum dapat dikatakan merdeka.

Lantas, bagaimana dengan Kurikulum Merdeka? Bukankah ini berarti sekolah juga tidak merdeka?

Sekolah memaksa peserta didik untuk tunduk pada kepatuhan tertentu. Jika merujuk kepada kata kurikulum, yang sudah jelas mengandung makna tidak merdeka, terdapat di dalamnya perencanaan, program, dan bahkan berakhir pada tujuan tertentu.

Tulisan ini akan memperlihatkan kritik atas Kurikulum Merdeka melalui kacamata Ivan Illich. Kritik ini penting, untuk melihat bagaimana ide merdeka dalam kurikulum tersebut menggambarkan (dan tidak menggambarkan) esensi kemerdekaan.

Ivan Illich, sang Filsuf Pengkritik Institusi Modern

Ivan Illich lahir di Wina, Austria, pada 4 September 1926 dan meninggal pada tanggal 2 Desember tahun 2002 di Bremen, Jerman. Ia merupakan seorang filsuf yang dikenal karena kritik tajamnya atas institusi modern, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Berbagai kritik atas institusi modern tersebut membuat Ivan Illich semakin dikenal luas oleh banyak orang. Ia sangat jeli dalam melihat dan mempertanyakan efektivitas serta dampak jangka panjang dari institusi modern. Tidak hanya mengkritik, ia juga memberikan tawaran solusi berupa pemikiran yang radikal terkait kemandirian masyarakat supaya tidak bergantung pada struktur sosial yang kaku.

Sampul buku Deschooling Society (1972, edisi Amerika Serikat) tulisan Ivan Illich, courtesy of Wikipedia

Deschooling Society merupakan salah satu buku sekaligus kritik Ivan Illich pada lembaga pendidikan formal. Buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Spanyol, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang. Dalam buku ini, Ivan Illich menawarkan konsep pendidikan alternatif dan sistem pendidikan yang terbuka untuk menciptakan masyarakat yang lebih mandiri dan inklusif.

Kritik Ivan Illich atas Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum dengan paradigma baru yang diyakini memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru dalam mengembangkan sistem pendidikannya. Kurikulum ini menitikberatkan pada pendekatan pembelajaran yang responsif, inklusif, dan berpusat pada kebutuhan peserta didik.

Baca Juga  Aturan Rumah Ibadah, antara Solusi dan Penyebab Konflik Antaragama di Indonesia

Konsep merdeka menjadi kunci untuk memberikan keleluasaan terhadap pendidik dan peserta didik. Namun, setelah dicermati kembali, konsep-konsep merdeka yang dimaksud, dalam pandangan Ivan Illich, nampak beberapa kejanggalan di dalamnya.

Ilustrasi Sekolah Penggerak. Kurikulum Merdeka justru menciptakan pengkastaan dalam pendidikan Indonesia, courtesy of Direktorat Guru Pendidikan Dasar

Pertama, kritik Ivan Illich terletak pada sistem pendidikan Kurikulum Merdeka. Slogan belajar sepanjang hayat harus dipisahkan oleh kewajiban sekolah, pengelompokan manusia dari segi umur, dan kegiatan pembelajaran yang mengharuskan berlangsung di sekolah. Ia tidak dapat disebut sebagai belajar. Akhirnya, slogan belajar sepanjang hayat menjadi terputus karena persoalan tersebut.

Lebih lanjut, Kurikulum Merdeka semakin mempersempit nilai-nilai kemanusiaan. Ia membagi peserta didik, pendidik, dan sekolah, pada kelas-kelas tertentu, seperti adanya sekolah penggerak dan bukan penggerak, guru penggerak dan bukan penggerak, serta anak belum berkembang dan sudah berkembang. konsep Kurikulum Merdeka membagi mereka dalam kasta-kasta tersebut.

Sistem Kurikulum Merdeka, dalam kacamata Ivan Illich, sangat mekanis dan administratif. Sebelum mengajar, guru meski menyelesaikan modul ajar, platform merdeka mengajar, dan mengikuti pelatihan. Pada saat mengajar, mereka mesti melewati tahap asesmen diagnostik, perencanaan. Baru, setelah semua itu, seorang guru kemudian mengajar.  

Kedua, konsep merdeka telah memonopoli keterampilan peserta didik dan pendidik dengan pemberian rapot bagi anak dan predikat guru penggerak, pengajar penggerak, serta sertifikat pelatihan tertentu. Padahal, kemampuan yang dimaksud belum tentu dimiliki.

Label tersebut menentukan keahlian seseorang. Masyarakat dipaksa untuk tunduk atasnya. Sepandai apa pun seorang guru mengajar, jika ia kehilangan predikatnya sebagai guru penggerak, ia dianggap tidak memiliki kompetensi lebih sebagai guru.

Ketiga, Kurikulum Merdeka telah membagi sekolah pada kasta-kasta tertentu. Seperti yang disebutkan di awal, adanya sekolah penggerak tentu sama halnya dengan pemberian peringkat pada sekolah yang dimaksud. Istilah ini tentu tidak jauh berbeda dengan konsep sekolah favorit dan sekolah bertaraf internasional di masa lalu.

Ilustrasi guru penggerak, salah satu wujud pengkastaan lain dalam Kurikulum Merdeka, courtesy of Sekolah Penggerak – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengkastaan ini akan berimbas pada banyak hal, terutama dalam pemberian dana yang berbeda antara sekolah kasta penggerak dan bukan. Ia berpengaruh juga pada sarana prasarana serta pengalaman yang diperoleh peserta didik. Padahal, belajar di mana pun mestinya memiliki porsi yang sama, meskipun tidak harus sama persis.

Baca Juga  M.H. Thamrin dalam Pusaran Pergerakan Nasional

Keempat, Kurikulum Merdeka telah menghilangkan substansi belajar. Meskipun memiliki prinsip pembelajaran berdiferensiasi, tetapi nyatanya peserta didik terlalu bergantung pada guru. Mereka hanya memercayai guru. Dengan penuh percaya diri, mereka akan menyebut diri telah belajar apabila telah memperoleh informasi darinya.

Jarang sekali peserta didik yang menganggap jika sekolah berarti belajar. Kebanyakan dari mereka beranggapan jika belajar itu untuk memenuhi tugas, supaya mencapai fase pembelajaran yang dimaksudkan atau supaya dapat lulus sekolah.

Kelima, terdapat kritik atas Kurikulum Merdeka yang di dalamnya muncul kurikulum yang tersembunyi. Adanya kurikulum ini diam-diam telah menanamkan pada peserta didiknya jika mereka tidak dapat belajar tanpa adanya sekolah. Tanpa sekolah, mereka tidak dapat menjalani hidup dengan baik. Selain itu, pengetahuan yang dipelajari di luar sekolah dianggap tidak layak atau tidak bernilai.

Kelima kritik tersebut, menjadikan Kurikulum Merdeka masih belum mewujudkan esensi merdeka seperti yang diharapkan. Ia memang menggunakan kata merdeka, tetapi tidak ada kemerdekaan nyata dalam sistem yang kini dikenal sebagai Kurikulum Merdeka ini.

Ditulis bersama Sunarto, guru besar Universitas Negeri Semarang dan pengajar musik serta filsafat seni di Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

One thought on “Ivan Illich dan Kritiknya atas Kurikulum Merdeka

  1. Konsep kurikulum merdeka yang dipertanyakan….?Tulisan Ivan Lllih Sang Filsuf pengkritik atas kurikulum merdeka. Betapa penting untuk melihat atau bisa dikatakan untuk memahami dahulu seperti apa itu ide merdeka.
    Merdeka yang bagaimana?
    Merdeka yang ternyata masih terdapat hal hal yang membelenggu… dan belum menyentuh substansi kemerdekaan……
    Monggo disimak tulisan yang bisa membuat kita lebih paham akan arti kemerdekaan yang sebenarnya.,…Salam literasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *