Judul Buku | Sebelum Filsafat |
Penulis | Fahruddin Faiz |
Penerbit | MJS Press |
Kota Terbit | Yogyakarta |
Tahun Terbit | 2013 |
Halaman | 296 halaman |
ISBN | 978-602-74625-3-3 |
Sebagian orang merasa asing dengan istilah filsafat. Bagi mereka, kini, filsafat seakan-akan menjadi ilmu yang hanya dipelajari di kampus-kampus. Kondisi ini diperparah dengan adanya banyak stigma negatif yang dilekatkan pada filsafat, membuat banyak orang enggan untuk mempelajarinya.
Juga, terdapat pandangan bahwa filsafat adalah ilmu yang bersifat eksklusif. Kata eksklusif ini, berarti filsafat hanya dipelajari orang-orang tertentu saja.
Selain itu, filsafat juga sering dipandang sebagai ilmu teoritis. Ia penuh dengan bahasa akademis yang ndakik-ndakik, dan tidak memiliki relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
Oleh Fahruddin Faiz, pandangan dan stigma negatif terhadap filsafat berusaha digerus. Melalui buku Sebelum Filsafat, ia berusaha memperkenalkan filsafat kepada publik, dan menjawab berbagai tudingan dan kesalahpahaman yang kerap dilontarkan terhadap induk dari segala ilmu ini.
Keraguan sebagai Modal untuk Berfilsafat
Berfilsafat artinya menguji ulang sesuatu yang sudah dipahami dan diyakini sebagai yang pasti benar, baik oleh diri kita sendiri maupun mayoritas orang atau pemikiran kolektif. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sokrates, bahwa “hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani.” Oleh karena itu, dalam upaya memberikan kelayakan pada hidup, sikap meragu atau skeptis sangat diperlukan.
Filsafat menghindarkan seseorang dari perilaku ikut-ikutan, sebagaimana seekor ikan yang selalu mengikuti arus, tanpa tahu tujuannya ke mana. Ia juga membangkitkan sikap skeptis, sikap yang mendorong seseorang untuk tidak meyakini sesuatu sebelum tahu pasti kebenarannya. Selain itu, filsafat juga mendorong seseorang untuk mengajukan berbagai pertanyaan fundamental dalam hidup mereka, pertanyaan-pertanyaan seperti “siapakah aku?”, “dari mana asalku?” dan “apa tujuan hidupku?”
Namun, banyak orang seringkali enggan untuk mempertanyakan hal-hal yang dianggap remeh dan dipandang sudah memiliki nilai kebenaran. Bagi mereka, mempertanyakan hal tersebut adalah sesuatu yang sia-sia. Padahal, sikap keraguan tersebut justru merupakan upaya untuk mencari kebenaran yang sejati. Ia menjadi sarana untuk menggugat kebenaran semu yang dianggap sudah mutlak.
Jika seseorang mempelajari filsafat, ia akan menemukan bahwa semua filsuf adalah orang-orang skeptis yang memiliki keingintahuan tinggi akan segala sesuatu. Sebagai contoh, seorang filsuf yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes, mengatakan bahwa ia tidak hanya meragukan apa yang ada di sekelilingnya; ia juga meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Dapat dikatakan, keraguan atau sikap skeptis adalah sesuatu yang wajib dimiliki seseorang untuk berfilsafat. Ia tidak perlu takut untuk mempertanyakan kembali suatu hal yang memiliki jawaban yang tidak memuaskan. Tanpa adanya perasaan ragu, mustahil bagi seseorang untuk dapat mengetahui kebenaran atas apa yang diketahuinya.
Antara Mitos dan Logos
Filsafat memiliki peranan dalam menuntun masyarakat untuk berangkat dari mitos menuju logos. Dalam buku Sebelum Filsafat, Fahruddin Faiz menjelaskan bahwa dalam mitos berasal dari kosa kata Yunani Kuno “muthos”, yang berarti ucapan. Mitos dipandang sebagai penjelasan nonilmiah yang bersifat hiperbolik terkait suatu fenomena, yang sering dilawankan dengan logos, yang menjelaskan suatu fenomena berdasarkan penelitian empiris.
Pada zaman klasik, seperti pada zaman Yunani Kuno, mitos selalu berkaitan dengan keberadaan dewa-dewi dan makhluk mitologi lainnya. Setelah kemunculan filsafat, ia perlahan-lahan tersisihkan oleh berbagai pemikiran rasional, yang berusaha menjelaskan fenomena alam melalui hipotesa-hipotesa. Namun, keberadaan filsafat tidak serta merta menghapuskan mitos yang berkembang dalam masyarakat.
Pada masa sekarang, mitos mengalami perubahan bentuk. Mitos, pada abad ke-21, tidak lagi berkaitan dengan makhluk-makhluk mitologi, seperti yang sering kita temukan dalam novel fantasi. Mitos dalam kehidupan manusia saat ini adalah mitos yang berwujud seperangkat aturan yang disakralkan.
Perwujudan mitos sebagai seperangkat aturan yang sakral, seperti dalam masyarakat Jawa, terdapat mitos seorang anak yang tidak menghabiskan makananannya, maka ayam kepunyaannya akan mati. Menurut Faiz, mitos tersebut diciptakan oleh orang tua, dengan tujuan agar anaknya tidak menyia-nyiakan makanan atau menghindari kemubaziran. Dengan diancam bahwa ayamnya akan mati jika makanannya tidak habis, sang anak, mau tidak mau, akan mengikuti apa yang dikatakan oleh orang tuanya.
Meski mitos dapat digunakan untuk berbagai hal positif, seiring berjalannya waktu, selubung mitos tersebut akan tersingkap. Ketika satu mitos tidak lagi dipercayai suatu masyarakat, mitos-mitos baru akan bermunculan. Ia akan selalu ada dan tumbuh dalam masyarakat pada setiap zaman.
Dengan demikian, mitos sulit untuk dihilangkan dalam tubuh masyarakat. Ketika ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami perkembangan, maka mitos pun terus berevolusi. Bahkan, mitos bisa menyaru sebagai kebenaran. Berfilsafat dapat membantu manusia menyingkap selubung mitos satu demi satu, hingga mencapai sebuah kebenaran yang objektif.
Filsafat dan Agama Tidak Selalu Bertentangan
Masalah yang juga tak luput dari pembahasan buku Sebelum Filsafat adalah perihal pertemuan filsafat dan agama. Kedua hal ini kerapkali dipertentangkan. Kebanyakan orang menilai bahwa mempelajari filsafat sangatlah berbahaya, karena dianggap dapat membuat seseorang menjadi ateis. Ini membuat banyak orang menjauhi filsafat, yang mereka tuding dapat mengancam keimanan mereka, dan mampu menghalangi jalan mereka untuk mencapai surga.
Tentu saja, oleh Faiz, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut Faiz, filsafat justru mampu memperkuat keimanan seseorang. St. Agustinus, sebagai salah satu contoh menunjukkan kepada kita bahwa filsafat mampu menuntun seseorang kembali kepada Tuhan. Agustinus akhirnya kembali menemukan iman Kristen dalam dirinya, setelah sebelumnya menganut ajaran Manikheisme. Semua ini berkat dirinya yang mempelajari Neo-platonisme. Neo-platonisme telah berjasa membuat Kristianitas lebih rasional bagi Agustinus. Kini, ia dihormati sebagai orang suci dalam agama Katolik.
Selain itu, pada satu titik, filsafat dan agama dapat meyakini kebenaran yang sama. Filsafat meyakini kebenaran berdasarkan akal rasional manusia, sementara agama meyakini kebenaran berdasarkan wahyu yang berasal dari Tuhan. Keduanya tetap bermuara pada satu titik, yakni mencapai kebenaran yang utama.
Salah seorang filsuf yang mempertemukan filsafat dan agama adalah St. Thomas Aquinas. Ia berpandangan bahwa akal dapat digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu, seperti dalam hal mengenai eksistensi Tuhan. Aquinas terkenal dengan pandagannyanya, yang berhasil mengemukakan berbagai bukti untuk membuktikan eksistensi Tuhan, dengan mengadopsi beberapa bukti yang sudah dikemukakan Aristoteles.
Selain kedua filsuf tersebut, banyak filsuf sepanjang sejarah filsafat yang memegang teguh iman mereka sampai kematiannya. Di Indonesia sendiri, banyak sekali pengajar filsafat yang berasal dari kalangan agamawan, seperti Franz Magnis Suseno, A. Setyo Wibowo, dan tentunya juga Fahruddin Faiz, penulis buku ini.
Jika terdapat seseorang yang mempelajari filsafat dan menjadi seorang ateis, orang tersebut dipastikan hanya sekadar mencicipi filsafat di permukaan, atau keliru dalam mengimplementasikannya. Filsafat dan agama tidak selalu bertentangan, karena pada suatu titik, justru saling membangun dan menguatkan satu sama lain.
Terlepas dari banyaknya orang yang enggan mempelajari filsafat, seharusnya, setiap orang perlu dan butuh untuk berfilsafat. Sebagaimana yang ditulis dalam epilog buku ini, ketika seseorang berargumentasi bahwa filsafat itu menyesatkan dan merusak sendi-sendi kehidupan, maka sesungguhnya, orang itu sedang berfilsafat. Filsafat sebetulnya sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari, meski kini terasa sangat jauh dengan kehidupan, dan seringkali dianggap asing.
Buku Sebelum Filsafat sangat cocok untuk dibaca oleh mereka yang ingin memasuki gerbang filsafat. Buku ini dapat mengubah paradigma pembaca, menunjukkan kepada mereka bahwa filsafat merupakan sesuatu yang mengasyikkan, membawanya berpetulang ke dunia intelektual yang lebih kritis dan objektif.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di IBTimes.ID (ibtimes.id) dengan judul Setiap Orang Perlu Berfilsafat! pada 2 Februari 2024.