Reconquista, Terusirnya Islam dari Andalusia

Joesoef Sou’yb, dalam buku Daulat Umayah II di Cordova, mengungkapkan bahwa sepanjang dekade 1010-an hingga 1020-an M, kekuasaan Dinasti Umayyah II di Andalusia perlahan-lahan menuju keruntuhan. Ini membuat pemimpin Muslim di wilayah tersebut, yang semula berada dalam satu kepemimpinan, terpecah menjadi banyak kelompok kekuasaa. Periode ini dikenal dengan Periode Mulukul atThawaif.

Umat Islam di Andalusia pun ikut terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Andalusia. Kerajaan-kerajaan tersebut segera menjadi mangsa empuk bagi para kerajaan Kristen di utara Spanyol.

Para penguasa Kristen di wilayah utara menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam yang kecil tersebut dengan pendekatan frontal. Mereka mengetahui, jika mereka melakukan hal tersebut, mereka akan bersatu, membuat mereka dijadkan musuh bersama.

Raja Ferdinand II (1453-1516) dan Ratu Isabella I (1451-1504) , penguasa Kristen di Spanyol yang bersatu mendesak kekuasaan kerajaan-kerajaan muslim di wilayah tersebut, courtesy of Wikipedia

Untuk mewujudkan keinginan mereka, kerajaan-kerajaan Kristen membantu kerajaan Islam kecil yang hendak memerangi kerajaan Islam lainnya. Langkah ini sangat menguntungka para penguasa Kristen, karena selain mendapatkan “upah” berupa wilayah baru dan sejumlah harta, mereka juga mendapatkan suzernaity (pengakuan) dari kerajaan Islam yang meminta bantuan mereka.

Selama rentan waktu antara keruntuhan Dinasti Umayyah II hingga terusirnya umat Muslim dari Semenanjung Iberia, ada dua masa ketika kerajaan-kerajaan Islam yang terpecah itu berhasil disatukan sebelum Raja Ferdinand dan Ratu Isabella berhasil mewujudkan harapannya. Kedua masa tersebut dikenal sebagai periode Murabithun (1056-1147 M), dan Muwahhidun (1147-1238 M), yang ditandai dengan datangnya penguasa dari Afrika bagian utara untuk membantu para penguasa kecl dan menyatukan kekuatan Islam.

Namun, sama seperti gejala-gejala dinasti di mana pun, setelah melewati masa puncak, para raja Murabithun dan Muwahhidun akhirnya terlibat dalam perebutan kekuasaan. Hal ini berakhir ketika Paus Innocent II menyerukan Perang Salib di Spanyol, guna menghabisi kekuatan Muwahhidun.

Ilustrasi pemimpin muslim pada periode Muwahiddun, courtesy of Dakwah Islam

Pada tahun 1212 M, ksatria salib dari Inggris, Perancis, Portugal, dan Spanyol bahu-membahu menghadapi pasukan Muwahhidun dalam perang Las Navas de Tolosa. Menurut Firas Alkhateeb dalam buku Lost Islamic History: Merebut Kembali Kejayaan Peradaban Islam, perang tersebut memakan korban sejumlah 100.000 pasukan Muwahhidun.

Baca Juga  Apakah Pemakzulan Gus Dur Merupakan Sebuah Kudeta?

Akibat perang tersebut, hanya wilayah Granada yang tersisa. Wilayah tersebut menjadi satu-satunya wilayah Islam yang merdeka dari kekuatan Kristen. Selama lebih dari 200 tahun, Granada mampu bertahan dengan membayar upeti kepada Kerajaan Kastilia yang beragama Kristen.

Pada 1492, wilayah Granada, sebagai wilayah Islam terakhir di Andalusia, mengalami keruntuhan. Peristiwa ini terjadi karena Muhammad XII, penguasa Granada yang berkuasa setelah menggulingkan ayah dan pamannya, menyerahkan kunci kota kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.

Lukisan The Surrender of Granada (1882) oleh Francisco Pradilla y Ortiz, courtesy of Wikipedia

Pasca-kejatuhan Granada, Islam telah kalah secara politik. Namun, agama Islam masih belum berakhir di Spanyol. Masih terdapat sekitar 500.000 warga Muslim yang hidup di wilayah tersebut. Dengan jumlah sebanyak itu, mustahil bagi penguasa Kristen untuk mengusir mereka seluruhya keluar Spanyol. Terlebih, kegiatan ekonimi masyarakat masih ada yang menggantungkan kepada warga Muslim.

Otoritas Kristen tetap berusaha untuk memurtadkan umat Islam di Andalusia yang masih tersisa. Pada mulanya, mereka menggunakan pendekatan halus. Namun, atas perintah Archbishop (Uskup Agung) Francisco Jimenez de Cisneros, upaya kekerasan dan pemaksaan agama dilakukan.

Tekanan tersebut memantik api pemberontakan kaum Muslim di seluruh Andalusia. Pemberontakan tersebut menjadi alasan bagi otoritas Kristen untuk menawarkan dua pilihan kepada mereka: masuk Kristen atau mati mengeaskan. Sebagian dari mereka memutuskan untuk masuk Kristen, untuk menghindari persekusi dan pembunuhan.

Pasukan Muhammad IX, pemimpin Granada, pada Pertempuran La Higueruela (1431), courtesy of Wikipedia

Pada tahun 1502, peraturan yang lebih keras dikeluarkan oleh otoritas Kristen. Peraturan tersebut menyatakan untuk mengusir seluruh Muslim dari Andalusia. Sebagian besar dari mereka, terutama yang enggan untuk murtad dari agama yang telah mereka anut, hijrah ke Afrika utara.

Mereka hanya berbekal pakaian di tubuh, menaiki kapal-kapal rongsokan menuju wilayah yang lebih aman. Tidak jarang, kapal tersebut disusupi tikus, agar tenggelam dalam perjalanan. Anak-anak beragama Islam yang berusia di bawah 4 tahun dilarang untuk ikut hijarh. Mereka diambil gereja, dan dididik secara Kristen.

“Kaum Morisco di Granada” (1529) oleh Christoper Weiditz, courtesy of Wikipedia

Sebagian kecil kaum Muslim Andalusia, yang dinamai Morisco, tetap bertahan di Spanyol. Mereka berpura-pura masuk Kristen, tetapi tetap beribadah secara Islam dengan sembunyi-sembunyi.

Baca Juga  Siapakah Bangsa yang Kini Mendiami Tanah Israel?

Keberadaan kaum Morisco, yang masih meganut dan beribadah secara Islam, membuat otoritas Kristen Spanyol kian represif. Berbagai peraturan, seperti pelarangan niqab, penggunaan bahasa Arab, hingga pelarangan untuk menyembelih binatang sesuai syariat Islam, dilaksanakan guna menghapuskan Islam dari kaum tersebut.

Mereka yang tertangkap beribadah secara Islam, akan dijebloskan ke dalam rumah inkuisisi. Mereka aka disiksa secara kejam, memaksa mereka menghapuskan corak Islam dalam diri mereka. Akibat persekusi tersebut, kaum Muslim di seluruh Spanyol lenyap secara perlahan-lahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *