Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Politik Negara-negara Levant dan Timur Tengah pada Era Perang Salib

Tentara Salib

Pada akhir abad ke-11 hingga awal abad ke-12, bendera Islam selalu berkibar di sebagian tanah Anatolia dan Timur Tengah. Pasukan Islam, yang memakai baju zirah dengan bendera terpasang di ujung tombak mereka, berkibar di tanah Manzikert, mengakibatkan adanya kekuatan baru yang mengancam eksistensi Kekaisaran Bizantium.

Kaisar Bizantium saat itu, Romanos IV, tertangkap dan dipermalukan oleh Alp Arslan, sultan Seljuk. Penangkapan sang pemimpin dan tidak kompetennya pasukan Bizantium membuat rakyat kekaisaran mengalami gonjang-ganjing dan keterpurukan.

Seiring berjalannya waktu, Alexios I, kaisar Bizantium berikutnya, meminta pertolongan kepada Paus Urbanus II. Mengutip Lisa Byaldes dan Christopher Paik dalam artikel The Impact of Holy Land Crusades on State Formation: War Mobilization, Trade Integration, and Political Development, hal tersebut terkait dengan ekspansi kesultanan muslim dan tindakan kekerasan terhadap agama Kristen di tanah Levant dan Anatolia.

Paus Urbanus II (1042-1099), courtesy of Wikipedia

Atas ancaman tersebut, mengutip Sophia Menache melalui artikel The Crusades from a Historial Perspective: Communication, Culture, and Religion, mengumandangkan semangat perang salib agar dosa yang tertanam dalam diri semua rakyat Eropa dapat dicabut dan dihapuskan. Dengan pasukan yang berbaju zirah, kuda yang tangguh, bendera salib, dan lambang salib di setiap pasukan dan kesatria, pasukan salib melakukan ekspedisi ke Anatolia dan Yerusalem pada 15 Agustus 1096. Ini menandakan dimulainya Perang Salib Pertama, pintu masuk Kristen Eropa untuk melakukan serangan balik terhadap kekuatan muslim.

Pertempuran perdana dimulai di kota Nicaea, sebuah kota strategis yang memiliki arti penting dalam perang salib jilid berikutnya. Kota tersebut menjadi basis untuk menaklukkan tanah Anatolia dan Levant. Setelah beberapa lama. kota Nicaea berhasil ditaklukkan.

Keberhasilan tersebut membuat pasukan salib menjalankan politik adu domba, penaklukan, dan penjarahan di kota-kota lain, seperti Edessa, Antiokhia, Tripoli, dan Yerusalem. Setelah kota-kota tersebut berhasil ditaklukkan, pasukan salib yang menguasai keempat kota tersebut mendirikan kerajaan, yakni County Edessa, Kepangeranan Antiokhia, County Tripoli, dan Kerajaan Yerusalem.

Perang Salib yang terjadi di tanah Anatolia dan Levan memang memberikan persepsi akan adanya rivalitas Islam dan Kristen yang semakin meningkat. Namum, perang tersebut juga memiliki sisi yang lain, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Bagaimana kisahnya?

Mobilitas Sosial yang Lebih Baik dan Percampuran Antarras

Selama abad pertengahan di Eropa, sistem sosial masyarakat terbagi menjadi empat kelas. Keempat kelas tersebut adalah petani (peasant), ksatria (knight), bangsawan (noble atau lord), dan raja.

Baca Juga  Andil Besar Guru BK dalam Penanganan Tindak Kekerasan di Sekolah

Sistem sosial masyarakat tersebut membuat kelas petani dijajah dan ditindas oleh masyarakat kelas lainnya. Selain itu, petani juga banyak terlilit utang akibat kekurangan ekonomi dan pembayaran beban pajak yang tinggi.

Saat Paus Urbanus II mendeklarasikan perang salib, masyarakat kelas bawah memiliki kesempatan tinggi untuk meningkatkan posisi kelas mereka, agar dapat dipandang lebih tinggi oleh kelas lainnya. Juga, perang salim mendorong tumbuhnya kelas pedagang (merchant) dan tukang atau perajin (artisan).

Ilustrasi masyarakat kebanyakan pada era perang salib, courtesy of History Skills

Di sisi lain, kelas kesatria, yang sebelumnya kekurangan tanah dan tidak diakui, berkesempatan untuk memperoleh kesepatan yang besar untuk terlibat dalam perang salib. Ini penting, karena dari perang tersebut, mereka dapat memiliki jabatan yang lebih tinggi, harta yang lebih banyak, serta memiliki tanah. Jika beruntung, mereka bahkan dapat menjadi seorang raja.

Contoh dari hal ini adalah Baldwin I, Count of Verdun. Saat Baldwin I mengikuti kampanye militer ke tanah Levant, ia mendengar kabar bahwa istrinya, Godehilde of Tosny, meninggal dunia. Ini membuat hak atas tanah hilang dari tangan Baldwin I.

Oleh penguasa Edessa, Thoross of Edessa, Baldwin I diangkat sebagai anak angkat. Namun, pengangkatan anak angkat ini berubah menjadi malapetaka, yang ditandai dengan adanya pemberontakan rakyat Edessa terhadap Thoross. Pemberontakan ini berhasil diatasi oleh Baldwin I, membuatnya menjadi count di tanah tersebut.

Selain kesempatan mobilitas yang lebih baik, serangan pasukan salib ke tanah Levant dan Timur Tengah mendorong adanya percampuran ras antarsuku. Pasukan salib, yang tergabung dalam perang suci tersebut, sebagian besar memiliki latar belakang dari kaum Frank. Latar belakang tersebut tercampur dengan suku-suku di tanah yang mereka taklukkan, berujung dengan terlahirnya keturunan-keturunan yang beragam, baik dalam kelas bangsawan maupun rakyat. Menurut Susandi dkk. dan Yuhani dalam artikel The Crusades: Causes and Impact, serta Siti Fauziyah dalam artikel Perang Salib: Interaksi Timur dan Barat, percampuran tersebut membuat karakteristik fisik keturunan di tanah tersebut menjadi beragam.

Perubahan Perekonomian secara Mendasar

Sebelum Perang Salib terjadi, kelas petani mengalami tekanan ekonomi yang hebat sebagai akibat politik perpajakan yang tidak adil, penindasan oleh kaum bangsawan, serta beberapa kewajiban kerajaan dan gereja. Akibatnya, kelas ini seringkali disiksa, ditindas, dan diperlakukan semena-mena oleh penguasa lokal (warlord).

Di sisi lain, mengutip Wahdaniya dan Nurhidaya M. dalam artikel Sejarah Perang Salib dan Dampaknya terhadap Perkembangan Islam, perdagangan di tanah konflik dikuasai oleh para saudagar Islam yang menguasai Timur Tengah dan Laut Mediterania. Dominasi Islam tersebut, mengutip Ajat Sudrajat dalam tulisan Rekonstruksi Interaksi Islam dan Barat: Perang Salib dan Kebangkitan Kembali Ekonomi Eropa, memberikan masalah kepada masyarakat Eropa, terutama dalam hal komoditas eksotik, seperti rempah-rempah dan kain sutra.

Ilustrasi tentara pada era Perang Salib, courtesy of Knights Templar

Saat Perang Salib pertama dikobarkan, rakyat kelas bawah dan kesatria yang kehilangan tanahnya berpartisipasi dalam perang suci tersebut. Melalui perang, saudagar-saudagar Eropa dapat membuka akses untuk menghidupkan kembali berbagai bisnis. Kesempatan bisnis tersebut mempermudah komoditas barang mewah untuk disalurkan ke daratan Eropa, mengutip Rezki Akbar Norrahman dalam artikel Aspek Ekonomi dalam Hubungan Dunia Islam dengan Eropa Sejak Masa Perang Salib.

Selain itu, perang suci tersebut juga memberikan dampak besar bagi Laut Mediterania. Perdagangan mengalami peningkatan pesat, membuat Eropa mengalami pertumbuhan ekonomi. Ini memunculkan beberapa faksi krusial dalam dunia perdagangan Eropa, yakni Republik Genoa, Republik Venesia, dan Republik Pisa.

Baca Juga  Membaca, Perintah Tuhan yang Pertama kepada Umat Islam

Selain muncunya faksi dalam perdagangan, dampak lain yang signifikan adalah terjadinya perubahan aturan perpajakan. Sebelum perang salib, perpajakan pada umumnya bersifat feodal. Rakyat kelas bawah membayar pajak kepada tuan tanah.

Setelah perang salib, menurut Lisa Blaydes dan Christopher Paik, perpajakam mulai berubah menjadi lebih tersentralisasi. Semua perpajakan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah secara penuh. Semua pungutan pajak dipungut oleh otoritas pemerintah.

Juga, dampak lain yang esensial saat terjadinya perang salib adalah menggiatnya penggunaan koin emas dan perbangkan. Pada masa tersebut, pemakaian koin emas dan perbankan dipegang oleh otoritas kesatria templar (templar knights), salah satu ordo kesatria perang salib yang memiliki kemampuan berperang dan finansial yang tinggi. Pada masa itu, menurut Muhammad Yassen Gada dalam artikel Rethinking the Impact of the Crusades on the Muslim-Christian Thought and Development, kesatria templar menggunakan surat kredit dan menjalankan fungsi sebuah bank, seperti penerimaan uang deposito dan pinjaman dengan bunga.

Selain itu, penggunaan koin emas mulai diterapkan di tanah Palestina oleh para saudagar Venesia. Koin yang digunakan adalah koin emas bertuliskan tulisan Arab.

Menguatnya Gesekan antara Raja dan Paus

Pada dasarnya, kerajaan-kerajaan abad pertengahan pada era Perang Salib bersaing ketat antarkerajaan dan dengan paus. Politik ini, oleh Dana Vasiliu dalam Church vs State: The Investiture Controversy in the High Middle Ages, dikenal sebagai investiture controversy.

Persaingan ini, sebelum terjadinya perang salib, memposisikan paus sebagai pemegang kekuasaan tertinggi agama Kristen. Ia selalu berselisih dengan raja, yang memegang kekuasaan seluruh sektor, termasuk militer. Perselisihan pendapat dan pengaruh ini terjadi karena raja dapat dengan mudah memegang kendali secara langsung dalam merebut atau menaklukkan suatu wilayah, sedangkan paus hanya dapat melakukan pengucilan bagi raja yang tidak taat terhadap agama Katolik.

Baca Juga  Tiga Kebijakan Kontroversial Anwar Sadat ketika Memimpin Mesir

Saat terjadi penganiayaan di Yerusalem, paus melihat tindakan tersebut merupakan suatu kesempatan yang baik untuk membuktikan kepada para raja di setiap kerajaan, bahwa dirinya juga mempunyai kuasa dalam memegang kendali militer.

Ilustrasi Paus Urbanus II memerintahkan Perang Salib di Timur Tengah dan Levant, courtesy of History.com

Di sisi lain, menurut Thomas Asbridge dalam The First Crusade: A New History, persaingan antarraja terjadi pada awal mula ekspedisi pasukan salib ke Konstatinopel (sekarang Istanbul). Kaisar Alexios I memberikan isyarat kepada para raja yang datang dari Eropa Barat, bahwa apabila pasukan salib berhasil menaklukkan kota-kota krusial, mereka akan menjadi milik Kekaisaran Bizantium. Namun, dalam praktiknya, mereka justru membuat kerajaan-kerajaan sendiri, membuat hubungan mereka dengan Kaisar Alexios I menjadi renggang.

Ketegangan politik saat Perang Salib Pertama terus berlanjut hingga Perang Salib jilid terakhir. Pada dasarnya, ketegangan yang terjadi memiliki tiga bentuk utama, yaitu pengambilan kekuasaan atas suatu wilayah, pernikahan politik, serta faktor ekonomi.

Salah satu lembar hitam terkait hal tersebut terjadi pada Perang Salib Keempat. Dalam perang tersebut, mengutip Alya Dwi Kinanti dalam Perang Salib: Dari Motivasi Religius hingga Ambisi Kekuasaan – Sebuah Telaah Historis, Paus Innocent III melancarkan perang salib sebagai akibat kegagalan pasukan salib dalam melancarkan invasi ke Yerusalem dalam Perang Salib Ketiga.

Namun, alih-alih menyerang Yerusalem, pasukan salib justru menginvasi Konstatinopel, dengan tujuan untuk memenuhi permintaan Kaisar Alexios IV Angelos dan Enrico Dandolo, penguasa Venesia. Menurut A. A. S. Sulayman dalam Fourth Crusade on Constantinople in 1204 AD and Its Effects on Relations between the Church of Constantinople and Rome, mereka bermaksud untuk menunjukkan dominasi gereja Katolik Roma dan supremasi Paus. Akibat invasi tersebut, Konstatinopel dijarah, dikuasai, dan dirampas harta bendanya.

Dapat dikatakan, meski terjadi transformasi dalam bidang sosial dan ekonomi, kondisi dalam masa perang salib menggambarkan persaingan kuat dan intensif antara raja dan paus. Di balik perubahan perpajakan dan kesempatan mobilitas sosial yang tinggi, kelas rakyat jelata hingga raja terlibat gesekan dengan paus dan kekuatan gereja. Namun, di balik semua itu, perang salib memberikan kesempatan baru bagi masyarakat Eropa, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *