Orientasi Baru Pedagogik, Sebuah Upaya Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Pedagogik

Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita kita sebagai negara-bangsa yang bersatu, berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Cita-cita ini dicanangkan akan dicapai tepat pada peringatan 100 tahun kemerdekaan republik ini.

Visi besar ini tentu memerlukan fondasi yang kokoh, utamanya dalam aspek pendidikan, yang diposisikan sebagai pilar utama pembangunan sumber daya manusia (SDM). Untuk itu, sistem pendidikan kita perlu merefleksikan kembali kerangka konseptual yang menjadi landasan filosofis dan epistemologisnya. Dalam hal ini, kita sebut ia sebagai orientasi pedagogik.

Apakah orientasi pedagogik kita selama ini benar-benar sudah mempersiapkan generasi emas yang mampu bersaing di dunia global sekaligus tetap menjaga nilai-nilai humanitas? Atau, ia justru terjebak dalam pola-pola yang hanya melahirkan manusia-manusia mekanistis, yang semata-mata hanya untuk mengisi pasar tenaga kerja alias buruh pasar?

Sekilas tentang Orientasi Pedagogik dalam Pendidikan (Kita)

Istilah pedagogik, dalam konteks ini, dapat diartikan secara sederhana sebagai disiplin ilmu yang membahas tentang pendidikan dan pengajaran, terutama bagi anak-anak. Dalam situs Merriam-Webster, disebutkan bahwa istilah pedagogik (termasuk pedagogi dan pedagog) berasal dari bahasa Yunani yaitu paidagōgeō, yang memiliki arti literal yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran bagi anak.

J. F. Herbart (1776-1841), dalam buku Allgemeine Pädagogik aus dem Zweck der Erziehung abgeleitet, mengatakan bahwa pedagogik merupakan ilmu tentang pendidikan yang bertujuan untuk membentuk individu secara moral melalui pengembangan karakter dan intelektualnya. Filosofi pedagogik Herbart bertumpu pada gagasan bahwa pendidikan adalah proses berkelanjutan untuk membentuk kepribadian manusia, berdasarkan prinsip rasionalitas, etika, dan keinginan untuk kebaikan bersama.

Ilustrasi pendidikan sebagai mesin produksi tenaga kerja, melalui karikatur Selamat Hari Buruh dan Pendidikan, courtesy of Republika

Pendidikan di Indonesia, dalam beberapa dekade terakkhir, seringkali dipandang dan dijadikan sebagai mesin produksi tenaga kerja. Kurikulum pendidikan masih dirancang dengan fokus dan penekanan kepada keterampilan teknis dan akademik yang dapat diukur secara kuantitatif. Indikator keberhasilan pendidikan juga masih mengacu pada kemampuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri. Sementara itu, dimensi humanitas pendidikan, seperti penguatan kreativitas dan sensitivitas peserta didik atau pelajar, seringkali terabaikan.

Baca Juga  Antiperpustakaan dan Masa Depan Pembaca Buku

Ironisnya, alih-alih membentuk individu merdeka yang kritis, kreatif, dan apresiatif, sistem pendidikan (kita) malah menghasilkan generasi yang cenderung patuh pada instruksi, tanpa kemampuan reflektif yang memadai. Fenomena ini terlihat jelas dalam pengajaran yang masih didominasi oleh metode dan pendekatan tradisional, penghafalan sekumpulan fakta, dan evaluasi berbasis angka. Peserta didik menjadi produk yang dirancang untuk memenuhi standar tertentu, tanpa benar-benar memahami esensi dari pembelajaran itu sendiri.

Artinya, pendidikan (kita) di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir belum sepenuhnya berorientasi pada praktik pedagogi yang mengakomodasi dan mengembangkan seluruh potensi individu secara holistik dan komprehesif. Permasalahan ini tentu melanggengkan siklus ketertinggalan atau keterbelakangan, yang notabene berlawanan dengan harapan dan cita-cita Indonesia Emas 2045.

Hegemoni Positivisme

Salah satu akar dari permasalahan pedagogik kita di Indonesia adalah hegemoni positivisme, yang telah mengakar kuat dan masih bercokol dalam sistem pendidikan. Logika induktif positivisme, yang fokusnya pada pengukuran, efisiensi, dan hasil yang dapat diobservasi, telah mendegradasi pendidikan dari visinya yang lebih dalam.Akibatnya, orientasi pedagogik (kita) betul-betul kehilangan dimensi humanitas-nya.

Paradigma positivistik memandang peserta didik sebagai objek yang harus diisi dengan pengetahuan, bukan sebagai subjek yang memiliki potensi untuk berkembang secara kreatif dan mandiri sesuai kodrat alam dan zamannya. Pendidik, pada gilirannya, diposisikan sebagai pemindah ilmu, sementara interaksi yang mendalam antara pendidik dengan peserta didik seringkali diabaikan.

Ilustrasi pendidik di Indonesia, courtesy of Catatan Fakta

Visi pendidikan, yang seharusnya memerdekakan dan membebaskan individu, justru malah berubah menjadi alat untuk menciptakan buruh yang efisien bagi pasar. Sistem ini mendikte bahwa nilai individu terletak pada seberapa besar ia dapat memberikan kontribusi ekonomi, bukan pada kualitas moral spiritualnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pendekatan ini tidak hanya menciptakan individu yang kehilangan kedalaman makna dalam kehidupan, tetapi juga membatasi daya kritis, kreativitas dan sensivitasnya. Dalam konteks ini, pendidikan kehilangan posisi dan perannya sebagai proses pemerdekaan, sebagaimana digambarkan Ki Hadjar Dewantara dalam buku Menuju Manusia Merdeka, atau proses pembebasan seperti dilukiskan Paulo Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed. Ia telah berubah menjadi pendidikan depositori, yang mengikis dan menumpulkan dimensi humanitas.

Orientasi Baru Pedagogik untuk Indonesia Emas

Untuk menyikapi problematika ini, kita memerlukan orientasi baru pedagogik, yakni pedagogik yang humanis, transformatif, dan kontekstual dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia. Orientasi baru pedagogik ini harus memuat sekurang-kurangnya empat hal esensial.

Baca Juga  Indonesia, Ndoroisme, dan Kemerdekaan yang Belum Tuntas

Pertama,mengembalikan semangat humanisme dengan memandang peserta didik sebagai individu yang unik dan memiliki hak untuk mengembangkan cipta, rasa, dan karsanya secara holistik dan komprehensif.

Humanisme yang dimaksud di sini bukan humanisme ala konstruktivistime idealis, sebagaimana juga ditekankan Bambang Sugiharto dalam artikel Humanisme dan Pendidikan bagi Masa Depan, melainkan konstruktivisme yang memberi peluang bagi subjektivitas individu sebagai pusat aksi sekaligus mengakui dan menghargai kehadiran yang lain sebagai pusat refleksi. D. C. Phillips, dalam artikel The Good, The Bad, and The Ugly: The Many Faces of Constructivism, menyebutnya sebagai konstruktivisme yang meyakini bahwa “manusia sebagai pencipta, alam sebagai pengajar … manusia mengusulkan, alam menentukan.”

Ilustrasi guru mengajar di kelas, courtesy of Blitar Kawentar

Kedua, berorientasi penuh pada pembebasan dan pemerdekaan individu peserta didik, bukan sekadar mencetak buruh pasar. Dalam hal ini, pendekatan pedagogik harus memberikan ruang bagi peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif, berdialog, dan mengeksplorasi identitas dan potensi mereka secara komprehensif. Praktik pedagogi harus mendorong peserta didik untuk memahami kodrat alam dan zamanya secara mendalam, sekaligus mempersiapkan mereka untuk mentransformasikannya ke dalam dunia kehidupan atau life world secara bebas dan merdeka.

Ketiga, kontekstualisasi pendidikan dengan menekankan pada praktik pedagogi yangrelevan dengan konteks lokal dan global. Ini berarti mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal ke dalam proses pendidikan dan atau pembelajaran.

Kontekstualisasi tentunya bukan hanya sekadar romantisme budaya, melainkan harus sekaligus mampu beradaptasi dengan kebutuhan dunia global, termasuk di dalamnya transformasi digital. Sepertinya, di sini kita perlu mengimplementasikan secara serius konsep Trikon Ki Hadjar Dewantara, yang merupakan asas pengembangan kebudayaan nasional melalui pendidikan.

Keempat, menyeimbangkan antara geisteswissenchaften dannaturwissenchaften dalam kurikulum pendidikan nasional. Mata pelajaran bidang ilmu sosial-humaniora, seperti seni dan budaya yang merupakan basis pendidikan humanis, perlu diberikan ruang yang seimbang dengan mata pelajaran bidang ilmu eksakta, yang selama ini terlau mendominasi kurikulum pendidikan nasional.

Baca Juga  Mengapa Masyarakat Indonesia Alergi terhadap Filsafat?

Orientasi baru pedagogik ini memerlukan komitmen kolektif dari berbagai pihak, terutama dalam hal ini pemerintah. Melalui Kemendikdasmen, dengan visi Pendidikan Bermutu Untuk Semua, perlu mendukung orientasi baru pedagogik ini melalui kebijakan pendidikan yang berkeadilan dan berkesetaraan, demokratis, humanis, dan berkesinambungan, di samping memaksimalkan peningkatan kualitas dan kompetensi pendidik (pedagog). Tentunya, projyek ini juga mesti didukung oleh pendanaan yang memadai, baik dari pihak negeri maupun swasta.

Dengan menerapkan paradigma pedagogik yang humanis, transformatif, dan kontekstual ini, suatu keniscayaan Indonesia dapat mempersiapkan generasi emas yang tidak hanya kompeten di bidang ekonomi industri, tetapi juga memiliki kreativitas dan sensivitas yang berakar pada nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia yang Adiluhung. Indonesia Emas 2045 bukan hanya sekadar utopia, tetapi sebuah kenyataan yang dapat diwujudkan bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *