Sebagai seorang presiden, Joko Widodo (Jokowi) sering kali dicirikan dengan gaya kepemimpinan yang berpendekatan sederhana dan langsung. Ia dikenal dengan gaya blusukan (kunjungan mendadak ke lapangan), yang telah menjadi ciri khasnya sejak ia menjabat sebagai wali kota Surakarta.
Oleh seorang Joko Widodo, blusukan dianggap sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan mendapatkan informasi langsung dari bawah. Namun, di balik gaya yang tampak sederhana ini, terdapat sebuah strategi komunikasi yang kompleks dan terukur.
Pada banyak kesempatan, Jokowi menggunakan retorika yang disederhanakan untuk menyampaikan kebijakan yang sebenarnya memiliki kompleksitas tinggi. Penyederhanaan ini, meskipun efektif dalam meraih simpati dan dukungan publik, sering kali mengaburkan substansi dari kebijakan yang diambil dan dapat menyesatkan pemahaman masyarakat.
Bagaimana dampak penyederhanaan bahasa seorang Joko Widodo ketika menyampaikan tentang kebijakan publik kepada masyarakat luas?
Penyederhanaan yang Menyesatkan
Dalam dunia komunikasi politik, istilah oversimplification (penyederhanaan berlebihan) merujuk pada kecenderungan untuk menyajikan masalah yang kompleks dalam bentuk yang lebih mudah dipahami, tetapi menghilangkan nuansa penting yang harusnya diperhatikan.
Terkait mengemas kebijakan publik, Presiden Jokowi kerap kali menggunakan retorika sederhana yang menarik perhatian publik luas, namun di sisi lain, ini berpotensi untuk menyesatkan. Sebagai contoh, ketika membahas proyek infrastruktur besar seperti pembangunan jalan tol atau bandara baru, Jokowi sering kali hanya menekankan manfaat ekonomis dan sosial secara umum, tanpa menyelami lebih dalam implikasi lingkungan, sosial, atau bahkan beban fiskal yang mungkin terjadi.
Penyederhanaan ini tampak menguntungkan dalam jangka pendek karena memberikan pemahaman yang instan kepada publik. Namun, di balik keuntungan komunikasi ini, terdapat risiko yang besar. Masyarakat yang hanya menerima informasi yang disederhanakan mungkin tidak menyadari konsekuensi penuh dari kebijakan tersebut, dan akibatnya, mereka tidak siap menghadapi dampak yang muncul. Dalam konteks ini, penyederhanaan menjadi alat manipulatif yang berfungsi untuk mendapatkan persetujuan publik tanpa memberikan ruang untuk diskusi yang lebih dalam dan kritis.
Lebih jauh lagi, ketika kebijakan yang disederhanakan ini gagal memenuhi harapan atau mengalami masalah di lapangan, pemerintah dapat dengan mudah mengalihkan kesalahan kepada faktor-faktor lain tanpa harus bertanggung jawab penuh. Fenomena ini dikenal dalam teori komunikasi sebagai plausible deniability (pengingkaran yang masuk akal), ketika pemimpin dapat menyatakan bahwa kebijakan mereka disalahpahami atau tidak dimaksudkan untuk beroperasi seperti yang dipersepsikan publik.
Pengalihan Perhatian dari Isu Sensitif
Selain menyederhanakan kebijakan, Presiden Jokowi juga sering menggunakan retorika sederhana sebagai alat untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu sensitif atau kontroversial. Dalam ilmu komunikasi politik, ini dikenal dengan istilah agenda-setting (pengaturan agenda), ketika pemimpin mengarahkan fokus publik pada isu-isu tertentu untuk menghindari sorotan pada topik yang lebih kompleks atau berpotensi merugikan posisi mereka.
Sebagai contoh, ketika membahas RUU Cipta Kerja yang kontroversial, Jokowi lebih banyak menyoroti potensi investasi dan penciptaan lapangan kerja yang dihasilkan oleh undang-undang tersebut, tanpa mengelaborasi secara mendalam kritik dari berbagai kalangan mengenai dampaknya terhadap hak-hak buruh dan lingkungan. Strategi ini memungkinkan Jokowi untuk membangun narasi yang positif terkait kebijakannya, sekaligus menekan diskusi publik mengenai aspek-aspek negatif yang perlu ditangani.
Sejalan dengan teori komunikasi politik, ini berkaitan erat dengan konsep priming (pemanasan), ketika pemimpin memilih aspek-aspek tertentu dari sebuah isu untuk ditekankan, sementara aspek lain yang kurang menguntungkan diabaikan atau diminimalkan. Dalam kasus RUU Cipta Kerja misalnya, dengan memfokuskan retorika pada manfaat ekonomi jangka panjang, Jokowi berhasil mengalihkan perhatian dari isu-isu sosial yang kontroversial.
Namun, pengalihan perhatian ini memiliki dampak jangka panjang yang berbahaya. Dengan tidak memberikan ruang yang cukup untuk diskusi kritis, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memahami kebijakan secara komprehensif. Hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan informasi, yang akhirnya mengarah pada polarisasi atau ketidakpercayaan terhadap pemerintah ketika dampak kebijakan yang sesungguhnya mulai dirasakan.
Membangun Citra Dekat dengan Rakyat
Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, dengan gaya komunikasi yang dekat dan mudah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat. Gaya ini, yang sering disebut sebagai populisme (pendekatan yang berfokus pada kepentingan rakyat jelata), telah menjadi ciri khas yang membedakan Jokowi dari pemimpin-pemimpin lainnya di Indonesia.
Melalui pendekatan tersebut, Jokowi berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang memahami kebutuhan rakyat dan berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti. Citra ini didukung oleh retorika yang sederhana serta blusukan yang sering ia lakukan untuk menunjukkan keterlibatannya secara langsung dengan masalah-masalah di lapangan.
Namun, citra merakyat ini tidak sepenuhnya mencerminkan realitas yang ada. Dalam banyak kasus, kebijakan yang diambil oleh Jokowi sering kali tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil, meskipun retorika Jokowi mengatakan sebaliknya. Proyek-proyek infrastruktur besar yang dicanangkan oleh pemerintah Jokowi, meskipun memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga seringkali berdampak negatif terhadap masyarakat yang paling rentan, seperti penggusuran lahan tanpa kompensasi yang memadai atau penghancuran lingkungan hidup.
Konsep ini, dalam sosiologi politik, dapat dijelaskan melalui teori hegemoni (dominasi ideologis), ketika kelompok penguasa menggunakan ide-ide tertentu untuk membentuk dan mengendalikan pandangan dunia masyarakat sehingga mereka menerima status quo sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan.
Reduksi Kompleksitas sebagai Alat Legitimasi
Reduksi kompleksitas (penyederhanaan masalah yang rumit) dalam komunikasi politik adalah sebuah teknik yang efektif untuk memperoleh dukungan publik. Jokowi secara konsisten menggunakan retorika sederhana untuk menyajikan kebijakan yang kompleks dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Misalnya, dalam konteks pembangunan infrastruktur, Jokowi seringkali hanya menyoroti manfaat ekonomis yang akan diperoleh, seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, tanpa menyentuh pada aspek-aspek yang lebih kompleks seperti biaya sosial dan lingkungan yang mungkin timbul.
Dalam kajian retorika, ini dikenal sebagai ethos (kredibilitas) dan logos (logika), ketika pemimpin membangun kepercayaan melalui kredibilitas pribadi dan menyajikan argumen yang tampaknya logis dan masuk akal. Namun, ketika kompleksitas masalah direduksi secara berlebihan, pemahaman masyarakat menjadi terbatas, dan kebijakan tersebut diterima tanpa penilaian kritis.
Reduksi ini menjadi alat untuk melegitimasi kebijakan di mata publik, karena tampaknya memberikan solusi yang jelas dan sederhana, meskipun kenyataannya jauh lebih kompleks dan memerlukan analisis yang lebih mendalam. Lebih jauh lagi, legitimasi yang diperoleh melalui reduksi kompleksitas ini juga membuat kebijakan tersebut lebih sulit untuk dikritisi.
Masyarakat yang sudah telanjur menerima narasi yang sederhana mungkin tidak akan mempertanyakan kebijakan tersebut secara mendalam, karena mereka tidak diberikan informasi yang cukup untuk melakukannya. Maka, retorika sederhana Jokowi berfungsi untuk memonopoli narasi dan membatasi ruang bagi diskusi publik yang lebih luas dan kritis.
Menghindari Akuntabilitas melalui Ambiguitas
Ambiguitas dalam retorika politik adalah strategi yang digunakan oleh pemimpin untuk menghindari akuntabilitas. Dalam kasus Jokowi, retorika yang sederhana seringkali meninggalkan ruang untuk berbagai interpretasi, yang memungkinkan pemerintah untuk menghindari tanggung jawab ketika kebijakan yang diambil tidak berjalan sesuai rencana.
Misalnya, ketika Jokowi berbicara mengenai target pembangunan atau reformasi, ia sering kali menggunakan istilah-istilah yang umum dan tidak spesifik, sehingga ketika terjadi kegagalan atau penyimpangan, pemerintah dapat mengklaim bahwa tujuan awal telah tercapai atau tidak pernah diartikulasikan secara spesifik.
Dalam analisis komunikasi, ini dikenal sebagai strategic ambiguity (ambiguitas strategis), ketika pesan disampaikan dengan sengaja tidak jelas untuk menjaga fleksibilitas dan menghindari komitmen yang tegas. Ambiguitas ini memungkinkan Jokowi untuk menyesuaikan narasi sesuai dengan perkembangan situasi, tanpa harus menghadapi konsekuensi dari janji atau pernyataan yang tidak terpenuhi.
Strategi ini efektif dalam mempertahankan citra positif di mata publik. Namun di sisi lain, strategi ini juga berarti bahwa masyarakat tidak memiliki patokan yang jelas untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pemerintah.
Ambiguitas dalam retorika juga berfungsi sebagai mekanisme perlindungan politik. Ketika kritik muncul, pemerintah dapat dengan mudah mengubah interpretasi kebijakan atau narasi yang disampaikan, sehingga mengurangi tekanan untuk bertanggung jawab atas hasil yang tidak diinginkan.
Pada akhirnya, retorika sederhana Jokowi adalah sebuah fenomena yang kompleks dan penuh dengan nuansa. Meskipun tampaknya mudah dicerna dan dimaksudkan untuk mendekatkan pemimpin kepada rakyat, di baliknya, terdapat strategi komunikasi yang canggih dan terukur.
Penyederhaan yang dilakukan Jokowi seringkali menyesatkan, mengalihkan perhatian publik dari isu-isu krusial, membangun citra merakyat yang tidak selalu sesuai dengan realitas, serta digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan dan menghindari akuntabilitas. Meskipun efektif dalam jangka pendek, strategi ini memiliki risiko jangka panjang yang berbahaya, terutama ketika kebijakan yang disederhanakan ini mulai menghadapi realitas yang lebih kompleksm