Dilema Mengajarkan Sejarah pada Era Teknologi dan Internet

Internet sudah tumbuh di Indonesia sejak tahun 1990-an dimulai dengan kemunculan modem dengan sambungan LAN. Kini, anak-anak kita sudah terbiasa menikmati hiburan lewat internet dan media sosial dengan cepat. Ini didukung dengan jumlah perangkat seluler yang mencapai 370,1 juta, melebihi jumlah populasi penduduk di Indonesia (dengan asumsi satu orang memiliki lebih dari satu ponsel).

Angka ini berbanding terbalik dengan tingkat literas masyarakat Indonesia. Berdasarkan publikasi yang diterbitkan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), Indonesia memiliki nilai 371 dari rata-rata 487 dalam membaca. Ini menempatkan Indonesia pada peringkat 74 dari 80 negara peserta PISA (Programme for International Student Assesment). Temuan ini diperkuat dengan hasil riset The World’s Most Literate Nations yang menempatkan Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara.. Dengan kepemilikan gawai yang tinggi, ternyata tidak sebanding dengan penguasaan literasi masyarakat Indonesia.

Dua orang anak yang sedang bermain gawai. Anak-anak di Indonesia dewasa ini lebih dekat dengan gawai dan internet dibandingkan dengan membaca buku, courtesy of The Asian Parent

Literasi rendah tersebut diperparah dengan keberadaan pandemi yang melanda Indonesia sejak Maret 2020. Kondisi ini membuat aktivitas masyarakat Indonesia, terutama siswa sekolah, menjadi serba terbatas. Minat baca yang sudah rendah harus dipukul lebih keras lagi dengan pembelajaran daring yang dipandang tidak efektif. Secara daring, guru sulit untuk memastikan siswa memahami bacaan yang diberikan.

Berbicara mengenai pembelajaran yang efektif, pembelajaran sejarah menghadapi tantangan besar. Pelajaran sejarah sudah dianggap membosankan dan tidak menarik. Ditambah lagi cara mengajar guru yang tidak persuasif. Terlebih, ketika media pembelajaran masih didominasi dengan sarana daring, menyulitkan guru untuk menyajikan mata pelajaran sejarah dengan cara yang menarik.

Peneliti dan pengamat pendidikan sejarah di Amerika Serikat, Sam Wineburg, dalam buku berjudul Why Learn History (When It’s Already on Your Phone) menggambarkan masalah tersebut secara gamblang. Menurutnya, pengajaran sejarah di Amerika Serikat juga masih mengabaikan mengenai penggunaan internet dan kemampuan siswa. Hasil uji membaca singkat arsip pidato Presiden Benjamin Harisson kepada satu kelas, hasilnya hanya satu anak yang bernama Jacob saja yang mampu berpikir kritis.

Sam Wineburg, sejarawan yang mengkhususkan dirinya kepada pengajaran sejarah di ruang ajar, courtesy of RNZ

Dengan menggunakan istilah berpikir menyejarah (historical thinking), pengajaran sejarah di sekolah diharapkan mampu mengajak siswa untuk berpikir mendalam, dengan menyertakan berbagai bukti sejarah untuk diamati dan didalami. Dengan metode belajar sejarah melalui proses analitis (penguraian data), sistentis (pengelompokan data), dan evaluasi (validasi hasil), siswa tidak hanya mengumpulkan data mentah, tetapi juga melakukan verifikasi dan mengolah data tersebut.

Baca Juga  Menertibkan Para Pendengung Politik

Hal senada juga dijelaskan oleh Mestika Zed, dalam artikel berjudul Tentang Konsep Berpikir Sejarah. Kemampuan berpikir menyejarah, menurutnya, membutuhkan “Lima C”, yaitu “Change over time” (berubah lintas waktu), “Causality” (penekanan sebab-akibat), “Context” (menempatkan peristiwa pada zamannya), “Complexity” (kerumitan), dan “Contigency” (kemungkinan). Seseorang yang mampu menguasai “Lima C” dapat melihat sejarah sebagai sebuah proses perjalanan manusia dari satu titik ke titik berikutnya, dan tidak hanya merupakan kumpulan fakta semata.

Mestika Zed, sejarawan Indonesia yang mengatakan pentingnya penguasaan “Lima C” dalam mengembangkan historical thinking, courtesy of Tirto

Internet, mungkin, dapat menjawab semua permasalahan yang dibahas di sekolah. Pertanyaan-pertanyaan seperti “pada tahun berapa terjadi perang Diponegoro?”, “siapa pencetus kerja rodi di Indonesia?”, atau “siapa nama gelar Hamengkubuwono I?”, termuat ketika ditelusuri melalui internet. Kemudahan ini membuat anak-anak memilih untuk mencari jawaban yang mereka ingin ketahui di internet. Kondisi ini membuat mereka tidak memiliki kemampuan berpikir menyejarah (historical thinking); hanya mampu menjawab soal pilihan ganda. Sementara, soal-soal berupa isian dan pengayaan tidak mampu mereka jawab.

Pada akhirnya, keberadaan internet di Indonesia seharusnya dapat memudahkan seseorang untuk mempelajari sejarah. Akan tetapi, dengan minat baca yang rendah, proses tersebut berhenti hanya pada tahap analitis. Perlu sebuah daya upaya agar dapat menghasilkan siswa yang mampu mencapai tahap evaluasi dalam memahami sejarah. Siswa seharusnya mempelajari sejarah layaknya seorang sejarawan profesional, tidak hanya memahami data dan fakta yang disajikan.

Bacaan lebih lanjut
[1] Sam Wineburg. 2018. Why Learn History (When It’s Already on Your Phone). Chicago: The University of Chicago Press.
[2] Mestika Zed. 2018. “Tentang Konsep Berfikir Sejarah” dalam Lensa Budaya. Vol. 13. No. 1.
[3] The Historical Thinking Project. https://historicalthinking.ca/resources. Diakses 14 Januari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *