Guru Supriyani akhirnya tidak lagi menjadi pesakitan. Setelah dilaporkan atas kasus kekerasan terhadap anak seorang anggota polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, ia akhirnya divonis bebas. Ia tidak terbukti melakukan hal tersebut, menurut hasil persidangan beberapa minggu yang lalu.
Meski begitu, kisah Supriyani membayang-bayangi seluruh guru di Indonesia. Mereka seolah berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka diharapkan dapat memberikan penerangan dan sikap yang baik kepada peserta didik. Di sisi lain, mereka tidak dapat bertindak banyak, yang mungkin dapat berujung kriminalisasi dan masalah hukum.
Kondisi ini memantik polemik besar. Di satu sisi, guru diharapkan tampil sebagai pahlawan pembawa pelita untuk menuntun jalan peserta didik menuju pencerahan. Di sisi lain, mereka dianggap tidak memiliki wibawa yang berarti.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Secara global, menurut sebuah penelitian berjudul Do Teacher Feel Valued in Society? Occupational Value of the Teaching Profession in OCED Countries, Motoko Akiba dkk. mengatakan bahwa sebagain besar guru di negara-negara OCED merasa diri mereka dihargai dalam masyarakat. Hanya satu dari empat guru, atau sebesar 24,5%, yang merasakan demikian.
Di Indonesia, penghargaan akan profesi guru tampil serupa dengan riset Motoko Akiba dkk. Mengutip pemberitaan Tribun Medan, misalkan, seorang guru curhat di media sosial X bahwa dirinya tidak dihargai oleh siswanya. Bahkan, sang siswa melawan ketika dimarahi karena tidak mengerjakan tugas yang sudah berminggu-minggu.
Kisah guru Indonesia masa kini tentu berbeda dengan kisah para guru pada masa silam. Dulu, mereka adalah sosok yang sangat dihargai. Menjadi seorang guru adalah menjadi seorang pahlawan, pemberi penerangan kepada peserta didik dan masyarakat. Kini, curhat Ridha M Haztil dalam Lancang Kuning, guru kerap menjadi sasaran perundungan, baik oleh peserta didik, orang tua, maupun masyarakat.
Apa yang menjadi penyebab semua ini? Sebagai seorang guru, saya hanya bisa mengatakan bahwa terdapat perubahan paradigma masyarakat dalam melihat seorang guru. Guru masa kini tidak dituntut menjadi seorang yang selalu membawa penggaris kayu dan memukul kepala siswa. Kini, guru diharapkan menjadi sahabat bagi peserta didik, teman curhat yang selalu mendengarkan keluh kesah peserta didik, serta menjadi penyambung antara peserta didik, orang tua, dan sekolah.
Namun, perubahan paradigma tersebut tidak dibarengi dengan dukungan dari masyarakat kepada para guru. Guru memang telah menjadi sahabat peserta didik, tetapi itu justru membuat mereka kehilangan kuasa. Kondisi ini, pada akhirnya, menjadikan guru kerap menjadi sasaran kemarahan orang tua, yang merasa diri mereka mengendalikan guru, dan bukan sebaliknya. Ini yang mendorong banyaknya kisah para guru Indonesia yang tidak dihargai, atau bahkan berujung kriminalisasi dan masalah hukum.
Masyarakat menuntut guru untuk berubah. Namun, mereka tidak memberikan dukungan lebih lanjut agar guru mampu tetap tampil sebagai pahlawan bagi peserta didik. Mereka hanya bisa menuntut, tanpa mengerahkan segala daya upaya agar para guru dapat memberdayakan perubahan paradigma yang ada.
Pada akhirnya, guru di Indonesia tidak lagi tampil sebagai pahlawan bagi peserta didik. Mereka justru tampil sebagai korban kekerasan orang tua yang merasa diri mereka berkuasa. Kondisi ini, pada akhirnya, memaksa guru untuk enggan mengambil tindakan serius untuk memberikan penerangan kepada siswa, karena takut terkena masalah lebih lanjut. Jika kondisi ini terus berlanjut, mungkin di masa depan, profesi guru di negeri ini akan dipandang semakin tidak berarti oleh negara dan masyarakat.