Sebanyak lebih dari 30 kampus di Indonesia ramai-ramai memberikan kritik pada Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dianggap tidak mengambil posisi netral dalam pemilihan umum. Para akademisi kampus, yang turun ke lapangan menyuarakan kritik mereka, mengharapkan agenda pemilu 2024 dapat berjalan secara demokratis, jujur, adil, dan berkeadilan.
Nada kritik para akademisi bergema, tatkala Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan yang mengabulkan permohonan Almas Tsaqibbiru terkait syarat untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Putusan MK tersebut dinilai janggal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, karena disinyalir diterbitkan untuk melapangkan jalan Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi sekaligus keponakan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, sebagai calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto.
Para akademisi kampus, dengan cepat, menduga bahwa putusan MK tersebut sarat dengan kepentingan keluarga Jokowi. Ditambah dengan pernyataan Presiden Jokowi, yang menyatakan suara mendukung kandidat yang berkontestasi dalam pemilu 2024, membuat mereka semakin kecewa dan akhirnya turun gunung menyampaikan kritik.
Sikap para akademisi kampus didukung oleh banyak kalangan, yang sama-sama telah muak dengan sikap keberpihakan Presiden Joko Widodo. Sebagai masyarakat sipil, kita akan berterima kasih kepada mereka, yang telah peduli dengan kondisi Indonesia saat ini. Namun, sebuah pertanyaan terlintas, mengapa mereka baru turun ke publik serta peduli dengan kepentingan rakyat sekarang?
Mengapa Baru Sekarang?
Bagi saya, apa yang dilakukan para akademisi kampus ini merupakan sebuah anomali. Pasalnya, mereka seakan-akan baru turun dari menara gading untuk memperjuangkan demokrasi menunggu momentum. Padahal, jika kita cermati lebih dalam, banyak fenomena ketidakadilan di Indonesia yang terjadi sejak dulu hingga sekarang, dan mereka tidak pernah memberikan kritik atasnya.
Sebagai contoh, kita ambil kondisi ketimpangan di Indonesia. Melansir data Oxfam, harta kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan akumulasi kekayaan 100 juta penduduk termiskin negara ini, menunjukan tingkat ketimpangan kekayaan yang tinggi. Lebih lanjut, melansir Databoks Katadata, kekayaan 1% penduduk terkaya di Indonesia jauh di atas rata-rata penduduk nasional. Bahkan, kekayaan mereka terus meningkat, jika dibandinkan dengan rata-rata nasional yang cenderung stagnan.
Belum lagi, melihat fakta peningkatan uang kuliah di lembaga pendidikan tinggi yang terjadi setiap tahun, sebaagai dampak diterapkannya kebijakan PTN-BH di kampus-kampus besar Indonesia, ketidakadilan di negara ini menjadi semakin nyata. Selain itu, banyaknya persekusi serta kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat, baik kepolisian, tentara, hingga satpam kampus, ketika mahasiswa melakukan demonstrasi terhadap kebijakan negara dan kampus yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin, membuat realita ketidakadilan di negara ini tidak boleh diabaikan.
Fakta-fakta di atas seharusnya mempertegas pertanyaan kritis kita atas sikap para akademisi kampus, mengapa baru sekarang mereka peduli terhadap kondisi tragis yang terjadi di Indonesia? Apakah ini disebabkan mereka terlalu sibuk dengan beban Tri Dharma Perguruan Tinggi? Atau, jangan-jangan, mereka sudah nyaman untuk berpihak kepada kepentingan para penguasa? Apa pun alasan sebenarnya, satu hal yang pasti, bahwa respon akademisi kali ini sangat terlambat, terutama dalam menanggapi kondisi ketidakadilan di Indonesia.
Akademisi Harus Selalu Memperjuangkan Keadilan
Sebagai kaum intelektual, para akademisi seharusnya memiliki tanggung jawab yang besar dalam memperjuangkan keadilan sosial dan menjaga demokrasi di masyarakat. Mengambil konsep Ali Syariati dan Antonio Gramsci, mereka menekankan pentingnya peran intelektual dalam membangun kesadaran kritis dan melawan hegemoni yang hanya menguntungkan penguasa.
Namun, fakta di lapangan, kita melihat bahwa akademisi di Indonesia cenderung lamban dalam memberikan respon yang tegas terhadap berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi. Apa yang mereka lakukan saat ini, yakni ramai-ramai menyatakan kritik atas sikap Presiden Jokowi yang tidak demokratis, hanya tampil sebagai kegiatan seremonial belaka, tanpa sikap konsisten dan peduli terhadap kondisi masyarakat.
Jika kita mencermati konsep Ali Syari’ati, intelektual diharapkan tidak hanya menjadi penikmat kebenaran. Ia juga diharapkan menjadi pelopor perubahan sosial, yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Namun, realita yang terjadi, terdapat kecenderungan para akademisi yang terisolasi dalam lingkungan akademiknya, diam dalam menara gading, dan enggan terlibat secara aktif dalam perjuangan sosial di luar kampus.
Pandangan senada juga diungkapkan Antonio Gramsci. Menurutnya, intelektual memiliki peran penting sebagai bagian yang aktif melakukan counter-hegemony, mempengaruhi budaya dan melawan kondisi eksploitasi di masyarakat. Namun, di lapangan, para akademisi terjebak dalam hegemoni penguasa, menjadi bagian dari sistem yang mempertahankan ketidakadilan sosial.
Dari pandangan Syariati dan Gramsci, kita tentu berharap bahwa para akademisi dapat mengambil peran yang lebih aktif dalam melawan hegemoni, memperjuangkan keadlan sosial. Hal ini meliputi keterlibatan mereka dalam advokasi memperjuangkan reformasi kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, dukungan terhadap gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak rakyat, serta penggunaan pengetahuan dan kealian akademis untuk mendorong perubahan positif dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik.
Sebagai masyarakat sipil, kita perlu mengingatkan para akademisi untuk mengingat peran dan tanggung jawab mereka, sebagai kaum intelektual, dalam memperjuangkan keadilan sosial di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya keterlibatan aktif dalam perjuangan sosial di luar lingkungan akademik menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan demokratis.