Membingkai Gulai Ayam Minangkabau dari Sisi Gastronomi

“The histories of all peoples are influenced…by the physical environments they inhabit.”
– Colin Brown

Kutipan Brown di atas, yang dimuat dalam buku A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?, di atas, menempatkan lingkungan fisik sebagai suatu hal yang mempengaruhi riwayat suatu masyarakat. Ia dapat menentukan potensi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan potensi alam yang melimpah, dalam perkembangan berikutnya, pada umumnya mendorong suatu wilayah menjadi sebagai kawasan perniagaan yang ramai, hingga memungkinkan terjadinya akulturasi budaya di berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Sebagai salah satu kawasan yang memiliki potensi alam melimpah, Indonesia sempat menjadi kawasan perniagaan yang ramai sejak masa kerajaan klasik. Hal tersebut disebabkan oleh posisi Indonesia, secara bentang geografis, cukup strategis, memungkinkan terjadinya jalinan perniagaan dengan bangsa lain.

Selat Malaka pada masa penjelajahan Eropa, courtesy of Epic World History

Salah satunya, yakni Selat Malaka, merupakan salah satu kawasan strategis perniagaan selama ratusan tahun. Kenneth R. Hall dalam artikel berjudul Local and International Trade and Traders in the Straits of Melaka Region: 600-1500, mentasbihkan Selat Malaka sebagai kawasan perniagaan yang ramai didatangi oleh berbagai bangsa, terutama bangs India. Hal tersebut tidak hanya menghasilkan jaringan interaksi perniagaan global, tetapi juga melahirkan silang budaya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Meski begitu, pengaruh India di Indonesia seringkali dilihat hanya sebatas masuknya pengaruh agama Hindu dan Buddha. Padahal, pengaruhnya lebih dari itu. Pengaruh India juga turut merasuk ke berbagai hal yang sifatnya mikro nan lekat dengan kehidupan manusia, yakni makanan.

Kari dan Gulai

Salah satu pengaruh India dalam makanan Indonesia yang cukup populer adalah kari. Pengaruh kari dalam makanan Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari diperkenalkannya tanaman yang menjadi bahan baku kari.

Baca Juga  Seni Kepemimpinan Ala Khalifah Abu Bakar

Mengutip Fadly Rahman, dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, mengungkapkan bahwa bahan baku kari yang diperkenalkan melalui pengaruh India terdiri dari bawang/bakung, jahe, jintan, dan ketumbar. Bahan-bahan tersebut mendukung pengembangan kari di Indonesia, khususnya di kawasan Sumatera yang sempat menjadi persinggahan bangsa India dalam berniaga.

Kari, makanan khas India yang mempengaruhi perkembangan gulai di Indonesia, courtesy of The Spruce Eats

Kari, sedikit banyak, mempengaruhi olahan serupa yang berasal dari Sumatera Barat. Olahan tersebut adalah gulai.

Antara kari dengan gulai, mereka memiliki perbedaan satu sama lain. Perbedaan yang sangat mencolok terletak dari penggunaan santan yang lebih dominan digunakan dalam olahan gulai. Selain itu, penggunaan rempah-rempah, seperti kunyit, turut membedakan warna antara gulai dengan kari. Secara umum, penggunaan kunyit membuat gulai berwarna kuning atau oranye.

Meski begitu, kari dengan gulai memiliki kemiripan yang mencolok. Kemiripan tersebut dapat dipahami, mengingat secara konteks geografis dan historis, kawasan Sumatera sempat disinggahi oleh banyak saudagar yang berasal dari India.

Perjalanan Gulai Ayam Minangkabau

Gulai, menilik uraian yang dikemukakan oleh Indro Prastowo dkk. dalam Diversity of Indonesian Offal-based Dishes, kemungkinan dikembangkan selama abad ke-8 M. Gulai pada masa itu masih menggunakan daging kerbau nonhalal.

Saat pengaruh Islam meresap secara intensif ke Sumatera Barat sepanjang abad ke-17, olahan daging nonhalal mulai ditinggalkan. Praktis, hal tersebut mengubah pola konsumsi masyarakat terhadap daging. Mereka mulai menerapkan prinsip halal, sesuai dengan syariat Islam.

Gulai ayam Minangkabau, salah satu olahan gulai di Indonesia yang dipengaruhi kari, courtesy of Ruparupa

Perubahan pola konsumsi mempengaruhi keberagaman varian gulai. Salah satu gulai yang sangat populer di wilayah Sumatra Barat adalah gulai ayam Minangkabau, yang saat ini banyak ditemui di rumah makan padang, perjamuan, maupun dalam perayaan hari besar keagamaan, seperti Idulfitri.

Eksistensi gulai ayam sempat tercatat dalam buku masak pada masa kolonial berjudul. Dalam buku Kokki Bitja ataoe Kitab Masak Masakan India jang Bahroe dan Semporna yang disusun Nonna Cornelia pada 1857, terdapat resep masakan dengan nama “Goelei Ajam atau Daging.” Meski begitu, makanan tersebut tidak secara spesifik merujuk pada gulai ayam yang berasal dari Minangkabau. Dapat dikatakan, gulai ayam Minangkabau pada waktu itu belum terlalu populer.

Baca Juga  Rijsttafel: Menu Lokal, Selera Internasional

Popularitas gulai ayam Minangkabau kemungkinan besar sejalan dengan diaspora rumah makan padang ke seantero Indonesia, sebagai akibat migrasi orang-orang Minangkabau. Selain itu, gulai ayam Minangkabau pun relatif mudah dibuat, sehingga bisa populer.

Fakta-Fakta Gulai Ayam Minangkabau

Cara pembuatan gulai ayam Minangkabau biasanya dengan mencampurkan santan, bumbu-bumbu yang berasal dari rempah-rempah, dan potongan ayam ke dalam sebuah wadah yang dipanaskan. Rasa rempah-rempah yang otentik membuat harum dan menggugah selera, selain juga menambah cita rasa lezat dari olahan tersebut. Selain penggunaan rempah-rempah yang cukup dominan, hal menarik lainnya dari gulai ayam Minangkabau adalah  penggunaan santan kelapa dan jeruk purut sebagai tambahan.

Jeruk purut, salah satu bumbu khas Asia Tenggara yang mempengaruhi cita rasa gulai ayam Minangkabau, courtesy of Halodoc

Pada dasarnya, penggunaan jeruk purut dalam gulai ayam Minangkabau memiliki konteks historis dan geografis. Jeruk purut, yang jamak ditemui di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, seringkali digunakan sebagai penyedap masakan, termasuk dalam kari yang sedikit banyak mempengaruhi gulai. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa jeruk purut umum digunakan dalam olahan gulai ayam Minangkabau.

Menariknya lagi, menurut Madhur Jaffrey dalam buku Madhur Jaffrey’s Ultimate Curry Bible, inovasi dalam kari tidak hanya sekadar menambahkan jeruk purut, tetapi juga bahan lain, seperti bawang, lengkuas, jintan, kayu manis, hingga kunyit. Penjelasan Jaffrey dapat menjelaskan mengapa bahan baku kari turut meresap dalam olahan gulai ayam Minangkabau.

Gulai Ayam Minangkabau dan Inovasi Gastronomi

Menarik untuk menilik posisi gulai ayam Minangkabau secara lebih luas. Bukan hanya menampilkan citra sajian makanan yang hanya sebatas persoalan identitas etnis Minangkabau, tetapi juga memahami bagaimana inovasi yang terjadi dalam olahan tersebut. Inovasi merupakan aspek yang sangat penting, karena ia mendorong olahan makanan dapat tetap eksis dan dinikmati masyarakat.

Baca Juga  Pedagang atau Ulama? Membaca Kembali Proses Islamisasi di Nusantara

Hal tersebut sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Ian Cook & Philip Chang dalam tulisan berjudul The World on a Plate: Culinary Culture, Displacement and Geographical.  Menurut Cook dan Chang, proses‘evolusi’ makanan akan terus bergeser dan berubah. Perubahan tersebut akan membuat sajian makanan menjadi lebih inovatif dan menarik untuk dihidangkan dan disantap.

Jika berbicara dalam konteks gastronomi Indonesia, kekayaan rempah-rempah sudah menjadi ciri khas masakan Indonesia. Oleh karenanya, jangan sampai inovasi yang dilakukan untuk tujuan ‘memberdayakan’ gulai ayam Minangkabau malah menghilangkan kandungan bumbu rempah-rempah, yang telah menjadi ciri khasnya.

Gulai ayam Minangkabau. Inovasi dibutuhkan untuk membuat cita rasa olahan ini tetap dapat dinikmati lintas zaman, courtesy of cookpad.com

Menghilangkan bumbu rempah-rempah, untuk kemudian digantikan dengan bumbu cepat saji, hanya akan melupakan cita rasa oriental yang telah khas. Selain itu, ia juga telah melupakan kenikmatan dalam mengolah dan mengulek bumbu-bumbu tadi.

Kondisi tersebut menjadi lebih ironi, ketika gulai ayam Minangkabau masuk sebagai menu di salah satu restoran cepat saji. Jika terus dilakukan, hal ini akan mendistorsi esensi masakan tradisional yang kaya akan nilai historis dan kultural.

Restoran cepat saji relatif umumnya tidak memperdulikan hal-hal intangible seperti itu. Kiranya, penting untuk meninjau bagaimana posisi gulai ayam Minangkabau di tengah menjamurnya restoran cepat saji, serta penyeragaman cita rasa masakan yang sering dilakukan oleh mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *