Judul Buku | Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX |
Penulis | Soemarsaid Moertono |
Penerbit | Kepustakaan Populer Gramedia |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2017 |
Halaman | xxv + 248 halaman |
Pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2024-2029 telah berakhir. Ketiga kandidat, yakni Anies-Imin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud, saling bersaing dalam kontestasi tersebut. Ketiga pasang calon menjadi simbol perwujudan demokrasi Indonesia yang modern.
Meski begitu, ketiga pasang kandidat tidak dapat dilepaskan dari berbagai elemen tradisional. Terpilihnya Gibran sebagai wakil Prabowo, oleh banyak kalangan, dianggap sebagai simbol adanya dinasti politik. Di Indonesia, dinasti politik tidak dapat dilepaskan dari kultur feodalisme, yang telah mengakar kuat sejak zaman kepemimpinan para raja pada masa klasik.
Di sisi lain, posisi Anies-Imin, yang lebih dikenal sebagai pasangan AMIN, tidak bisa lepas dari upaya untuk menggembosi kemajuan yang dicapai oleh kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Melalui jargon Perubahan, AMIN menegaskan bahwa Indonesia butuh transformasi menyeluruh. Hal ini, seolah-olah, menegaskan bahwa AMIN berusaha memimpin sebuah “kudeta” terhadap kekuasaan Jokowi.
Mengapa mentalitas tradisional masih membekas dalam kontestasi politik Indonesia masa kini, meski negara ini telah mengalami westernisasi yang cepat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu kembali kepada sebuah buku. Buku tersebut, yang menjadi buku klasik untuk mengkaji sejarah politik tradisional Jawa, berjudul Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX.
Buku Negara dan Kekuasaan di Jawa merupakan tesis Soemarsaid Moertono, seorang sejarawan sekaligus pakar politik Indonesia, untuk meraih gelar MA di Universitas Cornell. Buku ini, yang diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan diberi pengantar baru oleh sejarawan Peter Carey, merupakan pengenalan kembali sejarah kepada masyarakat Indonesia dengan pendekatan yang lebih populer.
Secara umum, buku Negara dan Kekuasaan di Jawa memberi penekanan pada raja dan kekuasaannya pada masa Mataram II (abad XVI hingga abad XIX). Menurut Moertono, pada masa sebelumnya, raja Jawa merupakan titisan dewa di kahyangan untuk memimpin negeri. Sebagai inkarnasi dewa, seluruh rakyat diharapkan patuh sekaligus menyatu dengan sang raja. Ini sesuai dengan adagium terkenal Jawa, yakni manunggaling kawula Gusti.
Ketika Islam masuk dan menyebar di Jawa, kekuasaan raja sebagai titisan dewa dikikis. Sebagai gantinya, raja berubah peran, menjadi wakil Tuhan di dunia. Kekuasaan raja menjadi jembatan antara abdi dan surga, yang diwujudkan dengan kedekatan alim ulama dengan raja. Bisa dikatakan, alim ulama membantu menjaga kekuasaan sang raja, dan raja mengekalkan kekuasaannya dengan menjaga kelangsungan hidup para alim ulama.
Sebagai seorang wakil Tuhan di dunia, raja Jawa diharapkan untuk menjaga keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos, atau alam besar, wajib seirama dengan mikrokosmos, atau alam kecil. Untuk menyeimbangkan kedua alam tersebut, seorang raja diharapkan dapat berkuasa mengikuti sifat suci para dewa. Jika hal ini tidak dapat dicapai, kekacauan, seperti protes rakyat, kelaparan, dan pemberontakan, dapat terjadi, mengikis kekuasaan sang raja.
Untuk menjaga kedua alam tersebut, raja tidak turun secara langsung. Ia berkuasa melalui wakil-wakilnya, mulai dari menteri hingga pejabat rendahan. Mereka, sebagai wakil raja, mereplikasi pola kekuasaan raja. Replikasi ini menyebabkan fungsi para wakil tampil sebagai wakil raja, yang merupakan wakil Tuhan, untuk menjaga kedua alam tetap stabil. Proses ini terus diulangi hingga ke tingkat paling bawah.
Melalui para wakil, raja mengumpulkan pendapatan negara. Melalui pajak, baik berupa tanah, uang, produk, maupun tenaga, kesejahteraan kerajaan diharapkan dapat terjamin. Kerajaan yang sejahtera, menurut Moertono, akan menjauhkan kekuasaan raja dari cemar yang dapat merusaknya.
Terakhir, mengenai pewarisan kekuasaan, seorang pewaris raja diharapkan dapat meneruskan simbol-simbol kuasa raja terdahulu. Dengan melakukan hal ini, diharapkan rakyat dan abdi dapat tetap setia menjaga alam besar dan alam kecil. Tanpa adanya penerusan simbol, proses peralihan kekuasaan dapat berubah menjadi konflik berdarah yang merusak kestabilan alam besar dan alam kecil.
Membaca buku Negara dan Kekuasaan di Jawa, segera mengingatkan saya dengan ketiga kandidat capres-cawapres yang bertarung dalam pemilu tahun ini. Mereka, bisa dikatakan, merupakan cerminan proses pemindahan kekuasaan di Jawa pada masa Mataram II.
Kandidat Anies-Imin, memposisikan diri sebagai seorang “pemberontak”, mungkin dapat dakatakan sebagai Ratu Adil, mencoba membawa angin perubahan kepada negara. Pasangan ini berusaha menciptakan sebuah pemerintahan yang baru, yang bebas dari pengaruh kekuasaan sebelumnya.
Kandidat lain, Prabowo-Gibran, melalui simbol kekuasaan raja terdahulu yang berhasil dikuasai, mencoba tampil sebagai “penerus” kekuasaan “raja” Jokowi, melalui upaya untuk melanjutkan program-program pemimpin sebelumnya.
Kandidat terakhir, Ganjar-Mahfud, meski masih satu “keturunan” (baca: partai) dengan “raja” Jokowi, gejolak politik yang terjadi beberapa bulan menjelang pemilu membuatnya harus mengambil jarak, dan tampil sebagai pengkritik kekuasaan raja.
Melihat informasi di atas, dapat dikatakan, proses pemilihan presiden-wakil presiden pada 2024, Indonesia tidak sedang memilih pemimpin. Justru, Indonesia saat ini sedang mencari raja baru yang dapat menggantikan kekuasaan dan simbol-simbol kuasa Joko Widodo.
Buku ini, yang hanya setebal 250-an halaman, benar-benar tampil memikat. KPG berhasil menerbitkan buku ini dengan pendekatan yang lebih segar, dan lebih menarik bagi masyarakat Indonesia. Bagi pembaca awam yang melihat buku ini di toko buku, mereka pasti akan mengira Negara dan Kekuasaan di Jawa merupakan buku baru. Padahal, buku ini sudah pernah terbit pada 1985!
Buku Negara dan Kekuasaan di Jawa, tidak hanya berhasil menyajikan dengan terang kepemimpinan raja dan kekuasaannya pada masa Mataram II. Ia juga menjadi refleksi, bahwa kehidupan politik Indonesia dewasa ini tidak lepas dari pengaruh-pengaruh tradisional masa kerajaan yang telah mengakar kuat sejak ratusan tahun lalu. Bisa dikatakan, politik Indonesia dewasa ini merupakan kelanjutan dari kehidupan politik kerajaan pada masa klasik.